DAS Batang Arau Padang Tercemar

Jika anda sempat jalan-jalan di kota Padang, jangan lupa singgah menikmati jagung bakar di jembatan Siti Nurbaya. Anda akan disuguhi deretan kapal-kapal penangkap ikan dan kapal pesiar yang bersandar di dermaga. Namun coba perhatikan aliran sungainya, sesekali akan terlihat sampah plastik yang mengapung dan terbawa hanyut. Sampah-sampah itu berjejer, terombang-ambing dihempas riak kapal yang setiap waktu melintas. Mungkin saja sampah ini berasal dari hulu sungai dan terbawa arus hingga ke muara atau memang sengaja dibuang oleh masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran Sungai Batang Arau.

Sungai Batang Arau merupakan daerah aliran sungai (DAS). Perbedaan antara DAS dan sungai adalah terletak pada fungsinya saja. Sungai hanya terfokus pada aliran air semata, sementara DAS lebih menekankan pada siklus hidrologinya. Ruang lingkup DAS terdiri atas daratan  yang merupakan kesatuan ekosistem termasuk sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

DAS Batang Arau terdiri dari beberapa anak sungai dan sungai utamanya adalah Sungai Batang Arau. Sumber air DAS Batang Arau berasal dari hulu DAS pada kawasan pegunungan Bukit Barisan di sebelah timur kota Padang dan bermuara di Samudera Indonesia. Hulu DAS Batang Arau dimulai dari sungai Lubuk Paraku yang berada di timur laut kota Padang, dengan daerah tangkapan air seluas 2.504 hektar yang merupakan Taman Hutan Raya Dr. Muhammad Hatta, Kawasan Suaka Alam Barisan I dan Arau Hilir.

Citra satelit dari sempadan sungai dipadati oleh pemukiman masyarakat dan berbagai kegiatan industri, akibatnya beban sungai Batang Arau Kota Padang meningkat. Foto : Google
Citra satelit dari sempadan sungai dipadati oleh pemukiman masyarakat dan berbagai kegiatan industri, akibatnya beban sungai Batang Arau Kota Padang meningkat. Foto : Google

Dari Status Lingkungan Hidup (SLHD) Kota Padang tahun 2013, disebutkan DAS Batang Arau memiliki luas 17.467 hektar yang terbagi kedalam; hutan primer 572,14 ha, hutan sekunder 4.944,46 ha, pemukiman 3,425,05 ha, pertanian campuran 3.660,23 ha, sawah 3.405,86 ha, tambang 342,43 ha, tanah terbuka 32,49 ha, tubuh air (sungai) 91,61 ha.

Permasalahan utama tercemarnya DAS Batang Arau adalah tingginya sedimentasi setiap tahunnya, ekosistem air  sungai  dan kualitas air Batang  Arau menurun,  terjadi konflik dan alih fungsi lahan untuk perumahan serta degradasi hutan dan lahan. Menurunnya kualitas air di Batang Arau disebabkan oleh limbah pabrik dan limbah domestik dari hulu hingga hilir. Di bagian hulu terdapat arel pertambangan untuk bahan baku semen, bagian tengah terdapat pabrik karet dan industri crude palm oil (CPO). Sedangkan dibagian hilir terdapat rumah sakit, usaha perbengkelan, hotel, pasar dan tempat bersandarnya kapal.

Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Padang, Mairizon, saat ditemui Mongabay (08/12/2014) mengatakan, jika merujuk pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 82/2001 tentang pengendalian dan pencemaran air, Batang Arau tidak masuk dalam sungai kelas IV. Artinya air sungai ini sudah tidak layak digunakan oleh manusia bahkan untuk pertanian sekalipun.

Kualitas air Batang Arau diatas ambang batas baku mutu, dari 12 titik lokasi sampling yang dilakukan, paling parah kualitas airnya dilokasi jembatan Siti Nurbaya di mana untuk parameter TSS mencapai 130 mg/l, BOD mencapai 10,00 mg/l dan COD mendapai 72,00 mg/l.

Pabrik karet yang lokasinya tidak jauh dari bibir sungai Batang Arau di kelurahan Lubuk Begalung, kota Padang. Foto: Riko Coubut
Pabrik karet yang lokasinya tidak jauh dari bibir sungai Batang Arau di kelurahan Lubuk Begalung, kota Padang. Foto: Riko Coubut

Bapedalda setiap tahunnya telah melakukan uji sampling atas kualitas air Batang Arau. Perusahaan-perusahaan yang berada tidak jauh dari bantaran sungai telah dihimbau untuk tidak membuang limbah ke aliran sungai dan bahkan telah memberikan teguran kepada perusahaan yang mangkir terhadap himbauan tersebut. Tercemarnya Batang Arau akibat akumulasi limbah mulai dari hulu hingga hilir, tambahnya.

Darman (57) salah seorang nelayan di kawasan Muaro Padang mengaku pasrah melihat sampah-sampah berserakan di sungai. “Ya, bagaimana lagi pak, kawasan muara memang seperti ini, sampah-sampah berserakan, jika pasang air laut surut, sampah-sampah itu baunya menyengat, busuk tidak tanggung-tanggung,” katanya.

Sampah-sampah itu umumnya berasal dari hulu sungai. Seluruh sampah akan bermuara disini. “Beginilah nasib kami yang tinggal dimuara, setiap hari menikmati pemandangan sampah, terutama saat pasang surut,” kata Darman.

Hanya terdapat dua bak sampah di sepanjang bantaran sungai antara kelurahan Pangalangan (arah muara) hingga kelurahan Seberang Palinggam yang berjarak sekitar 2 kilometer. Bak sampah yang disediakan pemerintah ini dalam pengakuan warga sekitar Seberang Palinggam diangkut 3 hari sekali. Walaupun begitu karena minimnya pengetahuan masyarakat dan kesadarannya dalam menjaga lingkungan tetap saja masih ada yang membuang sampah langsung ke sungai.

Perbandingan rasio debit maksimum dan minimum Sungai Batang Arau yaitu 144,00 m3/detik pada saat musim hujan dan 1,12 m3/detik pada saat musim kemarau. Artinya saat musim hujan Batang Arau akan mengalami luapan aliran air permukaan sehingga berpotensi menyebabkan kebanjiran sementara di musim kemarau mengalami kekeringan. Maka tidak salah jika terjadi hujan lebat, kelurahan Seberang Palinggam, Batang Arau dan Pangalangan mengalami kebanjiran.

Nina (49), seorang ibu rumah tangga, mengatakan daerahnya menjadi langganan banjir saat musim hujan, tidak hanya air yang mengenangi rumahnya tapi juga sampah-sampah yang terbawa dari hulu. Sampah itu berserakan saat air sungai surut setelah banjir. Dia tidak menampik dirinya pernah membuang sampah ke Batang Arau. Disisi lain dia juga menyayangkan keberadaan bak sampah yang tidak memadai di daerahnya, hanya berukuran 1,5 x 1 meter dan sudah pecah pula.

Tumpukan sampah berserakan di bibir sungai Batang Arau, namun petugas sering lalai memungutnya. Foto : Riko Coubut
Tumpukan sampah berserakan di bibir sungai Batang Arau, namun petugas sering lalai memungutnya. Foto : Riko Coubut

Banyak kapal-kapal bersandar di kawasan Muaro Padang, dilokasi ini mereka juga melakukan kegiatan perbaikan kapal, bongkar mesin, ganti oli, pengecatan dan lain-lain sebagainya. Jika pasang surut, kita dapat saksikan bangkai-bangkai kapal karam di kawasan ini. Bangkai kapal itu dibiarkan begitu saja. Keberadaan kafe-kafe di sepanjang kawasan Muaro juga berkontribusi sebagai penyumbang pencemaran di Batang Arau, walau hanya beroperasi dari jam 20.00 – 24.00, kebanyakan dari kafe ini langsung membuang limbahnya ke sungai.

Perubahan penggunaan lahan di DAS Batang Arau adalah faktor yang dapat merusak fungsi hidrologis DAS yang diindikasikan oleh seringnya terjadi banjir di kawasan hilir DAS Batang Arau. Diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang serius untuk menyelamatkan Batang Arau. Diantaranya perlu didorong pembangunan yang berwawasan lingkungan agar dapat mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam sesuai dengan daya dukung dan daya tampung yang dimiliki. Dengan pertimbangan itu maka perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang muncul akibat suatu kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan termasuk akibat pembangunan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,