,

Indonesia Perlu Buat Roadmap Riset Kelautan

Isu kelautan menjadi salah satu topik perundingan dalam Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-20 yang berlangsung di Kota Lima, Peru pada 1 – 12 Desember 2014.

Salah satu kesimpulan perundingan pada  jalur perundingan  Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) COP20 menyebutkan upaya para pihak untuk secara aktif terlibat dalam penelaahan terhadap laporan status dan untuk mendukung pengembangan rencana pelaksanaan baru, termasuk pada aspek yang berhubungan dengan pengamatan kondisi laut, termasuk pengasaman.

“Indonesia di era maritim perlu membuat peta jalan (roadmap) dan rencana aksi terkait pengamatan laut dan pengasaman,” kata  Agus Supangat, Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sekaligus juru runding Delegasi RI, melalui surat elektronik kepada Mongabay.

Peta jalan pengukuran dan riset di laut Indonesia menjadi penting karena  akan membantu pemahaman mengenai variasi dari permukaan sampai dasar laut Indonesia dalam mempengaruhi sistem iklim atmosfer-lautan, dan akan berguna untuk menilai pentingnya nilai ekonomi perubahan ekosistem regional.

“Peta jalan pengukuran dan riset laut akan mampu memberikan pertimbangan penting untuk memandu upaya konservasi laut yang sedang berlangsung di Indonesia dan negara-negara tetangganya. Sifat arus laut memiliki pengaruh langsung terhadap jumlah nutrisi yang dibawa ke organisme laut di wilayah tersebut,” kata mantan peneliti laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu.

Pemahaman tentang laut di Indonesia akan dapat membantu untuk membuat prakiraan tentang dampak global perubahan iklim yang terjadi. “Lautan di Indonesia bagi kami merupakan tempat terbaik untuk melakukan pengamatan secara berkelanjutan untuk memantau situasi dan potensi perubahan di seluruh samudera dunia akibat dampak perubahan iklim,” katanya.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim sekaligus Ketua Delegasi Republik Indonesia, Rachmat Witoelar mengatakan Indonesia berfokus memperjuangkan lima sektor penting terkait penanggulangan perubahan iklim yakni, adaptasi, mitigasi, transfer teknologi, pengembangan kapasitas, dan pendanaan dengan memasukkan perspektif kemaritiman.

“Di era pemerintahan yang baru, sektor kemaritiman perlu mendapat perhatian khusus karena sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Masyarakat yang hidup di daerah pesisir menjadi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim,”ujar Rachmat dalam High Level Session: Towards a Low Carbon Society di Indonesia Pavilion dari booth Delegasi RI pada COP20 yang digelar Rabu (09/12/2014) waktu setempat.

Indonesia sebagai negara kepulauan sangat bergantung pada maritim yang sangat dipengaruhi oleh iklim. Karenanya, diperlukan aksi adaptasi dan mitigasi dalam perkembangan sektor kemaritiman.

2014 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah

Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization /WMO) mencatat tahun 2014 adalah tahun terpanas . Hal ini terutama disebabkan karena suhu permukaan laut global yang tinggi, yang sangat mungkin akan tetap berada di atas normal sampai akhir tahun. Suhu laut yang tinggi, bersama-sama dengan faktor-faktor lain, berkontribusi menimbulkan hujan yang sangat deras deras dan banjir di banyak negara dan kekeringan ekstrim di beberapa  negara.

Dalam laporan Status Iklim Global pada 2014, WMO menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata global atas permukaan darat dan laut untuk Januari-Oktober sekitar 0.57 ° Celsius (1,03 Fahrenheit) di atas rata-rata 14,00 ° C (57,2 ° F) untuk periode referensi 1961-1990 referensi, 0,09 ° C (0,16 ° F) di atas rata-rata selama sepuluh tahun terakhir (2004-2013).

Bila temperatur bulan November dan Desember cenderung sama, maka 2014 kemungkinan akan menjadi rekor terpanas, setelah pernah terjadi pada 2010, 2005 dan 1998. Hal ini menegaskan jangka panjang tren pemanasan yang mendasari.

Tingginya suhu Januari – Oktober 2014 terjadi karena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) tidak terjadi secara penuh. ENSO terjadi ketika hangat daripada rata-rata suhu permukaan laut di bagian timur Pasifik tropis menggabungkan, dalam pusaran memperkuat diri, dengan sistem tekanan atmosfer, sehingga mempengaruhi pola cuaca global.

Selama tahun ini, suhu permukaan laut meningkat hampir ke ambang El Niño tetapi ini tidak dibarengi dengan respon atmosfer. Namun, banyak pola cuaca dan iklim biasanya terkait dengan El Nino / Southern Oscillation (ENSO) yang diamati di banyak bagian dunia.

“Informasi sementara untuk 2014 berarti bahwa empat belas dari lima belas tahun terpanas semuanya terjadi pada abad ke-21,” kata Sekretaris Jenderal WMO Michel Jarraud dalam siaran pers WMO.

“Apa yang kita lihat pada tahun 2014 sesuai dengan apa yang kita duga dari perubahan iklim. Rekor panas pecah dengan kombinas dengan hujan deras dan banjir yang menghancurkan pemukiman dan dan kehidupan. Apa yang sangat tidak biasa dan mengkhawatirkan tahun ini adalah suhu tinggi wilayah luas permukaan laut, termasuk di belahan bumi utara, “katanya.

“Tingginya emisi gas rumah kaca dan konsentrasi atmosfer terkait membuat masa depan planet ini tidak pasti dan tidak ramah. WMO dan anggotanya akan terus meningkatkan perkiraan dan layanan untuk membantu orang mengatasi kondisi cuaca dan iklim yang lebih sering dan merusak ekstrim, “kata Jarraud

Perubahan Iklim Nyata

Laporan Kajian ke-5 (AssessmentReport/AR5) yang dirilis Kelompok Kerja Basis Ilmiah dari IPCC  (Intergovermental Panel on Climate Change) menyebutkan adanya perubahan iklim yang nyata yaitu suhu udara di permukaan daratan dan lautan lebih tinggi dari 100 tahun lalu; air permukaan samudera jauh lebih hangat dibandingkan 100 tahun yang lalu.

Juga banyak kejadian cuaca dan iklim ekstrim dalam 50 tahun terakhir, gletser di seluruh dunia menyusut, menurunnya luas dan ketebalan es Kutub Utara selama tiga dekade terakhir, serta permafrost (daerah yang tertutup oleh salju permanen) di belahan bumi utara tiap tahun menyusut selama 50 tahun terakhir.

AR5 juga menyebutkan Laut Artik secara substansial telah menghangat selama 50 tahun terakhir, permukaan laut global naik 0,19 m selama periode 1901-2010, tingkat keberadaan di atmosfer dari gas rumah kaca utama telah meningkat sejak awal era industri (~1750), dan lautan telah menyerap sekitar 3% dari karbon dioksida yang dipancarkan oleh manusia kegiatan sampai saat ini.

AR5 memproyeksikan pemanasan lebih besar terjadi di permukaan tanah daripada laut. Pada akhir abad ke-21 akan lebih banyak “hari-hari sangat panas” dan lebih sedikit “hari dingin”. Daerah kering akan menjadi lebih kering dan daerah basah menjadi lebih basah.

Sekitar 90 persen lapisan es Kutub Utara terus menyusut dan menipis, volume gletser diperkirakan turun. Permafrost di belahan bumi utara, daerah yang tertutup salju diproyeksikan akan terus menyusut. Tinggi muka laut global diproyeksikan akan terus meningkat abad ini. Dan penyerapan karbon oleh laut akan meningkatkan pengasaman laut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,