,

Sekarang, Perusahaan Sawit Tak Boleh Masuk Kabupaten Buol

Juli 2012, nama Kabupaten Buol di Provinsi Sulawesi Tengah, tiba-tiba dikenal banyak orang di Indonesia. Penyebabnya adalah, bupati yang berkuasa saat itu, Amran Batalipu, ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena kasus suap terkait perusahaan sawit PT. Hardaya Inti Plantation, milik pengusaha Hartati Murdaya. Penangkapan bupati yang heboh itu membuat kabupaten yang wilayah utaranya berhadapan dengan Filipina ini mendadak terkenal.

Kini, Kabupaten Buol yang berbatasan langsung dengan Provinsi Gorontalo itu berbenah. Meski dua perusahaan sawit, yaitu PT. Hardaya Inti Plantation milik Hartati Murdaya dan PT. Sonokeling Buana milik Artalita Suryani, masih bercokol di sana, namun kebijakan terbaru yang diterapkan adalah menolak perusahaan sawit masuk Kabupaten Buol.

“Sekarang perusahaan sawit tidak saya izinkan masuk ke wilayah kami. Stop perusahaan sawit masuk Buol,” tandas Bupati Buol, Amiruddin Rauf ketika diwawancarai Mongabay, Selasa (9/12/2014).

Amiruddin yang mengaku memiliki latar belakang sebagai pekerja sosial ini, mengatakan pemerintah daerah hanya mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang sedikit dari perusahaan sawit yang beroperasi di Kabupaten Buol. Kontribusi perusahaan sawit ke kas daerah hanyalah Rp 200-300 juta pertahun. Sementara dalam sebulan, perusahaan sawit itu bisa menghasilkan uang Rp 60 miliar.

“Untuk itu kami tidak lagi menerima investor perkebunan sawit,” katanya.

Di Kabupaten Buol sendiri masih banyak perusahaan sawit yang ingin berinvestasi. Bahkan belum lama ini, kata sang bupati, ada tiga map di meja kerjanya yang berisi izin usaha perkebunan sawit yang tinggal ia tanda tangani. Namun semua itu ia tolak mentah-mentah.

Tanah untuk rakyat

Amiruddin mengatakan, saat ini yang ia kembangkan di Kabupaten Buol adalah pengembangan plasma kelapa sawit dengan nama “Tanah untuk Rakyat”, yang ia singkat Taurat. Sasarannya adalah rumah tangga miskin yang tidak mempunyai lahan.

Lahan yang diberikan seluas dua hektar itu memiliki ketentuan misalkan di lahan areal penggunan lain (APL), lahan tidur yang berada dalam penguasaan masyarakat atau badan usaha, serta lahan negara yang berasal dari kawasan hutan konversi.

“Lahan dua hektar ini kami berikan kepada 18.000 kepala keluarga. Karena yang paling penting adalah warga itu bukanlah buruh, melainkan pemilik lahan,” tegas Amiruddin.

Saat ini, kata dia, warga yang bekerja di perusahaan sawit berkisar 1.500-2.000 tenaga kerja dengan upah sekitar Rp 2 juta per orang. Itu artinya, uang yang beredar sekitar Rp 4 miliar. Akan tetapi, jika warga yang jumlahnya 18.000 orang bekerja di lahan sendiri seluas dua hektar, maka hitung-hitungannya dalam satu hektar warga mendapat Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta. Hasilnya akan melebihi kerja di perusahaan sawit ketika menjadi buruh. Dan uang yang beredar lebih banyak.

Menurut Amiruddin, program ini  merupakan pelaksanaan dari konsep revitalisasi perkebunan dan land reform yang sesuai dengan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, berupa pemberian dan pensertifikasian lahan pertanian bagi masyarakat miskin. Tujuannya demi meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat miskin melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk rakyat.

“Kemiskinan itu ada karena negara absen di tengah-tengah rakyatnya. Malah lebih mengedepankan investasi dalam skala besar serta berorientasi pertumbuhan, bukan pemerataan. Akhirnya, menjadi katalisator para pemilik modal. Implementasinya tidak menyentuh masalah yang akhirnya menjadi kebijakan salah kaprah,” kata Bupati Buol itu.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,