,

Inilah Tanggapan Walhi Sulteng dan Sawit Watch Terkait Perusahaan Sawit Tak Boleh Masuk Kabupaten Buol

Kebijakan Bupati Buol, Amiruddin Rauf, yang menolak perusahaan sawit berinvestasi di wilayahnya mendapat respon baik dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng dan Sawit Watch. Akan tetapi, kedua organisasi non-pemerintah tersebut tetap memberikan catatan kepada Pemerintah Daerah Buol.

“Memang betul di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, saat ini hanya ada dua perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dan kami mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah Kabupaten Buol untuk tidak memberikan izin baru kepada perusahaan sawit,” kata Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng, kepada Mongabay, Jumat (12/12/2014).

Namun terkait dengan plasma, kata Ahmad, apa yang disampaikan bupati belum benar-benar terwujud. Terbukti, perusahaan PT. Hardaya Inti Plantation yang memiliki areal hak guna usaha (HGU) sekitar 22 ribu hektar baru mengalokasikan kebun plasma sekitar 500 hektar. Seharusnya, perusahaan menyediakan kebun plasma sekitar 2.200 hektar bila berdasarkan ketentuan bahwa alokasi kebun plasma sebesar 20 persen.

“Itu artinya sangat kurang,” kata Ahmad.

Selain itu, menurut Walhi Sulteng, pemerintah Kabupaten Buol harusnya melakukan identifikasi lapangan. Ada ribuan hektar kelebihan areal perkebunan yang dimanfaatkan atau ditanami oleh perusahaan PT. Hardaya Inti Plantation yang merupakan pelanggaran hukum.

“Mestinya, pemerintah daerah Buol juga mendorong proses hukum terhadap masalah-masalah seperti ini.”

Sementara itu, Bondan Andrinayu dari Sawit Watch, mengatakan bahwa program kebun sawit tanah untuk rakyat di Kabupaten Buol tetap merupakan sistem kebun plasma. Artinya, para petani yang diberikan tanah dua hektar tersebut tetap bergantung pada perusahaan perkebunan sawit skala besar.

“Meskipun namanya tanah untuk rakyat, tetapi dikuasai oleh perusahaan besar,” kata Bondan.

Menurutnya, pendekatan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah setempat adalah model petani mandiri. Para petani yang diberikan tanah harusnya membuat pabrik sendiri, dan untuk modalnya harus melakukan pendekatan ke bank. Selain itu, para petani juga membuat koperasi untuk mereka sendiri dengan membentuk serikat pekerja.

“Pilihannya ada pada masyarakat. Begitu pun dengan kontrol. Masyarakatnya harus kuat.”

Bondan mengaku belum lama ini melakukan riset di Kabupaten Buol terkait pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Dari hasil pantauannya di lapangan, tanah-tanah banyak yang kering dan tidak cocok ditanami sawit, apalagi ia melihat kebun sawit milik perusahaan kurang dirawat.

“Kalau bicara tanah untuk rakyat, apakah tanahnya yang diberikan dua hektar itu subur atau tidak. Dan kalau skemanya kebun plasma, itu namanya masih ada kaitannya dengan perusahaan sawit di sana,” ungkap Bondan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Bupati Kabupaten Buol, Amiruddin Rauf, mengaku telah menerapkan kebijakan menolak perusahaan sawit masuk daerahnya. Menurutnya, pemerintah daerah hanya mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang sedikit dari perusahaan sawit yang beroperasi di Kabupaten Buol. Kontribusi perusahaan sawit ke kas daerah hanyalah Rp 200-300 juta pertahun. Sementara dalam sebulan, perusahaan sawit itu bisa menghasilkan uang hingga Rp 60 miliar.

“Untuk itu kami tidak lagi menerima investor perkebunan sawit,” katanya.

Amiruddin mengatakan, saat ini yang ia kembangkan di Kabupaten Buol adalah pengembangan plasma kelapa sawit dengan nama “Tanah untuk Rakyat”, yang ia singkat Taurat. Sasarannya adalah rumah tangga miskin yang tidak mempunyai lahan.

Di Kabupaten Buol sendiri, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.869/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014, tentang kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Sulawesi Tengah, daerah yang sebelah utaranya berhadapan dengan Filipina itu memiliki luas hutan sekitar 381.638,54 hektar.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,