,

Sertifikasi Kehutanan International PEFC Diluncurkan Di Indonesia

Setelah pemerintah melalui Kementerian Kehutanan mengeluarkan peraturan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk produk kayu dari hutan, Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) meluncurkan Skema Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari yang  mendapatkan dukungan dari sistem sertifikasi internasional untuk kehutanan yang terbesar dan terpercaya di dunia yaitu Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).

Chairman IFCC, Dradjad Wibowo mengatakan IFCC yang didirikan pada 2011, telah mendapatkan dukungan skema sertifkasi dari PEFC. Dukungan PEFC ini berlaku selama lima tahun mulai hingga 1 Oktober 2019 dan dapat diperpanjang. PEFC merupakan organisasi global yang berpusat di Jenewa dan telah memberikan sertifikasi lebih dari 264 juta hektar hutan dan 15.804 perusahaan.

“Beberapa pihak tidak jarang mempertentangkan kelestarian hutan dengan pembangunan ekonomi. Sertifikasi berdasarkan standar IFCC, yang sudah di-endorsed oleh PEFC, bisa menjadi alat efektif untuk mendorong pengelolaan hutan lestari dan sekaligus menjaga ekspor, lapangan kerja dan pembangunan ekonomi,” kata Dradjad dalam acara peluncuran sertifikasi IFCC di Jakarta, pada Kamis (11/12/2014).

Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari PEFC/IFCC merupakan alat pasar yang bersifat sukarela, sehingga tidak ada pertentangan apapun dengan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang diwajibkan oleh pemerintah.

Dradjad mengatakan banyak perusahaan dan konsumen dunia yang mengakui sertifikat dan logo PEFC sebagai bukti bahwa mereka hanya membeli produk kayu, pulp, kertas dan turunannya yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Sehingga produk-produk yang mendapat sertifikasi dan logo PEFC, karena sudah lulus standar IFCC, bisa terus dipasarkan kepada perusahaan dan konsumen dunia.

Sedangkan CEO PEFC internasional,  Ben Gunneberg mengatakan dukungan PEFC kepada skema IFCC menjadi titik balik bagi Indonesia, sebagai negara yang dipandang masih berjuang menanggulangi laju deforestasi. Sertifikasi hutan merupakan mekanisme penting untuk memverifikasi sekaligus mempromosikan pengelolaan hutan lestari yang mempertimbangkan kemanfaatan lingkungan, sosial dan ekonomi hutan.

“Kami mendorong perusahaan dan konsumen secara bersama-sama untuk memilih produk yang tersertifikasi PEFC sebagai bentuk dukungan kepada pemilik hutan di Indonesia yang telah mengelola hutan mereka secara lestari,” katanya.

Ben menjelaskan PEFC merupakan skema sertifikasi hutan yang terbesar di dunia, dengan sistem yang komplit. Dimana setiap hektar hutan, setiap investasi dan setiap rantai suplai kayu, bisa disertifikasi oleh sistem yang independen dari PEFC.

Ben mengutip data Regeneration Consumer Survey 2012 yang menyebutkan 40 persen konsumen percaya dengan logo sertifikasi sebagai sumber informasi terpercaya terhadap produk yang bertanggungjawab secara sosial dan lingkungan. 80 persen konsumen di dunia akan memilih produk yang mempunyai label sertifikasi. Dan 71 persen konsumen secara aktif akan mencari logo sertifikasi dalam produk yang mereka cari.

Tumpukan kayu yang baru ditebang secara liar di Suaka Margasatwa Kerumutan, Pelalawan, Riau pada Minggu (12/07/2014) ditumpuk dan siap untuk diangkut melalui sungai menuju Desa Kapau, Indragiri Hulu, Foto: Zamzami
Tumpukan kayu yang baru ditebang secara liar di Suaka Margasatwa Kerumutan, Pelalawan, Riau pada Minggu (12/07/2014) ditumpuk dan siap untuk diangkut melalui sungai menuju Desa Kapau, Indragiri Hulu, Foto: Zamzami

Sedangkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengatakan sertifikasi yang telah lama dinanti pemegang ijin pemanfaatan hutan ini akan mendorong penerimaan produk-produk hutan Indonesia di perdagangan internasional.

Endorsement PEFC ini menandai era baru pengembangan skema sertifikasi hutan lestari secara sukarela,” katanya,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida mengatakan standar kriteria IFCC telah melibatkan multistakeholder dan memenuhi aspek ekologi pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar sehingga dapat mendorong tata kelola hutan di Indonesia yang lebih baik.

Sedangkan Kusnan Rahim dari RAPP mengatakan Indonesia mempunyai skema SLVK dan PHBL, tetapi belum diakui oleh masyarakat internasional. Dengan skema dari IFCC/PEFC akan menghilangkan hambatan produk hutan Indonesia dipasarkan ke luar negeri. “Kita bisa berkompetisi sejajar di dunia internasional,” katanya.

Sedangkan Aida Greenbury dari  APP mengatakan dengan skema IFCC/PEFC akan mendorong perusahaan swasta untuk memajukan managemen hutan yang berkelanjutan.

Dradjat Wibowo mengatakan sertifikasi pengelolaan hutan lestari IFCC bertujuan untuk melindungi hutan dan masyarakat secara seimbang. Oleh karena itu, penyusunan standar IFCC dilakukan secara terbuka dan melibatkan pemangku kepentingan yang mencakup sembilan elemen berdasarkan agenda 21 tahun 1992 dari Konferensi PBB (UNCED) yaitu pelibatan pemerintah nasional/regional dan lokal, kalangan industri, LSM, komunitas ilmiah dan teknologi, perempuan, pekerja/serikat pekerja, anak-anak dan remaja, pemilik hutan, masyarakat adat dan lokal.

Selama tahun 2015, IFCC menargetkan dapat mengeluarkan 10 sertifikasi untuk perusahaan-perusahaan besar di Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,