,

Kearifan Lokal Selamatkan Warga Simeulue dari Amukan Tsunami (bagian 1)

Tsunami menghantam daerah-daerah di pinggiran Samudera Hindia, salah satu Aceh, Indonesia, pada Desember 2004. Ratusan ribu orang tewas, bangunan luluh lantak. Aceh menjadi bak kuburan massal. Namun, ada satu kabupaten di Aceh, yang berada di tengah-tengah samudera, punya cerita lain. Bangunan-bangunan memang hancur, tetapi korban jiwa hanya enam orang. Kearifan lokal menyelamatkan mereka. 

Cuaca gelap. Gerimis mulai turun di pulau nan indah di kelilingi laut. Dari udara, biru air laut dan hijau hutan terpampang luas, menambah keindahan nan luar biasa. Begitulah suasana kala saya berkunjung ke Pulau Simeulue, pada November 2014.

Sejak 1999,  pulau ini menjadi kabupaten tersendiri, pemekaran dari Aceh Barat. Ia berada sekitar 150 km dari lepas pantai barat Aceh, berada di kelilingi laut Samudera Indonesia.

Gugusan pulau ini berada di atas persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yaitu pertemuan lempeng Asia dengan Asutralia dan Samudra Hindia. Namun, kala gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, korban jiwa sangat minim. Enam warga Simeulue meninggal dunia. Di bagian Aceh yang lain, ratusan ribu jiwa melayang.

Mengapa demikian? Ternyata, di pulau ini, memiliki cerita tersendiri soal tsunami. Menurut sejumlah tokoh adat dan budaya masyarakat Simeulue, serta para orang tua, peristiwa tsunami itu sudah mereka prediksi akan datang lagi ke daerah itu.

Pada 1907, sekitar seabad lalu, tsunami pernah menghantam Simeulue. Korban jiwa cukup banyak. Rumah hancur, harta benda lenyap, dan banyak yang kehilangan sanak saudara.

Tsunami yang diambil dri bahasa Jepang ini, punya nama sendiri di pulau ini. Namanya, smong.

Smong, menjadi pelajaran hidup sendiri bagi masyarakat Simeulue. Masyarakat Simeulue, tidak ingin bencana dahsyat 1907 itu, terulang kembali dan memakan korban jiwa.

Melalui adat tutur, keariban lokal dan cerita turun menurun, membuat masyarakat Simeulue selalu siap siaga jika sewaktu-waktu smong datang. Kesiapan itu terbukti ketika minggu terakhir Desember 2004 sekitar pukul 09.00, gempa dahsyat dan smong, menyapa pulau ini.  Ribuan rumah penduduk hancur dan rata dengan tanah. Namun, korban jiwa hanya enam orang.

SD di Teupah Barat hancur dihantam gempa dan  smong pada 2004 tersisa plang nama. Foto: Ayat S Karokaro
SD di Teupah Barat hancur dihantam gempa dan smong pada 2004 tersisa plang nama. Foto: Ayat S Karokaro

Kearipan lokal dan melalui budaya tutur, serta cerita budaya dan seni, membuat ratusan ribu masyarakat yang tinggal beberapa meter dari tepi laut, langsung menyelamatkan diri. Mereka berhamburan ke gunung, sambil membawa anak-anak, orang tua, perempuan dan sanak saudara.

“Smong…smong…smong. Smong datang, ayo lari….” Itulah teriakan para pemuda desa, yang lari menyelamatkan diri ke atas gunung.

Guna mengingatkan, ancaman tsunami ini tak hanya lewat budaya tutur, juga ada syair (lagu) bercerita tentang smong ini. Entah siapa yang menciptakan, namun mereka mendapatkan syair ini turun temurun hingga dikenal se antero pulau ini.

Bait syair ini, dilantunkan para budayawan, tokoh adat dan seniman dari Simeulue. Tokoh adat dan budaya Simeulue Mohd. Riswan. R, atau dikenal dengan Pak Moris, membawakan syair ini begitu menyentuh hati. 

Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)

Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)

Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)

Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)

Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)

Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)

Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)

 Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja) 

Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)

Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)

 Maheya mihawali…(Segeralah cari)

Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)

Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)

Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)

Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)

Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).

Simelue, kabupaten  terdampak gempa  dan tsunami 2004  di kelilingi laut namun korban jiwa hanya enam orang. Foto:  Ayat S Karokaro
Simelue, kabupaten terdampak gempa dan tsunami 2004 di kelilingi laut namun korban jiwa hanya enam orang. Foto: Ayat S Karokaro

Pak Moris, menceritakan, kearifan lokal masyarakat Simeulue yang disampaikan lewat tutur mengenai tsunami hingga daerah kepulauan ini bisa menekan jumlah korban jiwa. Pria 67 tahun ini, dalam peristiwa memilukan itu kehilangan tiga orang anak, terkena smong di Banda Aceh.

Peristiwa 1907, menjadi pembelajaran dan pengalaman berharga bagi generasi mereka agar berhati-hati dan waspada. Melalui kakek nenek dan orang tua mereka, terus menerus bercerita kisah memilukan satu abad lalu itu. Ini menjadi bekal berharga bagi masyarakat Simeulue.

Ketika tsunami pada 2004, masyarakat sudah mengetahui langkah apa yang harus dilakukan kala tsunami datang.

Menurut dia, pesan leluhur dari syair itu menyebutkan, andai ada gempa kuat, disusul air laut surut, jangan ke tepi pantai memungut ikan yang bermunculan di tepi pantai, karena sebentar lagi akan datang smong. Jika itu terjadi, berlarilah ke gunung menyelamatkan diri. Bawalah anak-anak, orang tua, dan perempuan berlari menjauhi pantai. Berteriaklah, smong… smong…smong…. Hal itu berlanjut hingga kini.

“Ketika smong datang, kerbau-kerbau yang biasa di tepi pantai, berlarian ke gunung. Itu menjadi salah satu tanda alam lain. Saat gempa dahsyat, anak muda terlebih dahulu berlari ke tepi pantai guna melihat apakah air laut surut. Ketika itu terjadi, mereka mendengarkan suara gemuruh seperti daun kering terbakar, barulah mereka yakin smong akan datang.”

 Mesjid  yang terkena gempa  dan smong  2004  di Simeulue. Dia tetap kokoh meskipun ada sebagian bangunan rusak. Foto:  Ayat S Karokaro
Mesjid yang terkena gempa dan smong 2004 di Simeulue. Dia tetap kokoh meskipun ada sebagian bangunan rusak. Foto: Ayat S Karokaro

Tugas selanjutlah, meneriakkan alarm alami melalui mulut ke mulut. Berteriak, smong…smong…smong. Teriakan itu berlanjut ke seluruh penjuru desa. “Saling bersahutan.”

Dia mengatakan, media penyampaian dari orang tua kepada anak-anak, dengan beberapa cara. Ketika di meja makan, atau setelah makan, atau di ruang keluarga, bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang.

Pak Moris bercerita, dulu, Simeulue terkenal dengan kebun cengkih. Cerita itu disampaikan para orang tua ketika memetik cengkih, dimana anak-anak dan sanak saudara turut membantu memanen.

“Cerita itu sudah melekat di hati generasi penerus masyarakat Simeulue, untuk menyampaikan pesan leluhur soal smong.” Mata Pak Moris, berkaca-kaca. Dia hampir menangis teringat ketiga anak, yang saat kejadian menuntut ilmu di Banda Aceh.

Ketika smong datang, anak-anaknya tidak bisa menyelamatkan diri. Hilang ditelan ombak. Hingga kini,  mereka tak tahu dimana jenazah ketiga anak itu. Ketika rindu, keluarga Pak Moris datang ke Banda Aceh, buat berziarah ke kuburan massal disana.

Dia berharap, kearifan lokal masyarakat Simeulue, harus terus dilestarikan. Baik melalui kesenian, sampai muatan lokal di sekolah-sekolah.

Gempa berkekuatan sembilan SR terjadi 26 Desember 2014, sekitar pukul 7:58:53, berpusat pada bujur 3.316° N 95.854° E,  sekitar 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Guncangan dasyat ini memicu gelombang panas mencapai 30 meter ke daratan.

Ia tercatat sebagai gempa terdahsyat dalam 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh,  Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan Pantai Timur Afrika. Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India, sebagai negara terparah yang terdampak tsunami.

Di Aceh, Indonesia, korban jatuh paling besar. Ratusan ribu nyawa melayang, bangun hancur. Aceh bak menjadi kuburan massal. Mayat-mayat  bergelimpangan. Ribuan orang juga hilang ditelan amukan gelombang panas.

Data Departemen Sosial pada Januari 2005, korban tewas di Aceh dan Sumatera Utara mencapai 105.262 orang. Dari kejadian gempa dan tsunami itu, sekitar 500-an ribu jiwa melayang di seluruh dunia yang berbatasan dengan Samudra Hindia. (Bersambung)

Laut yang mengelilingi Pulau S. Kala tsunami menghantam, berkat kearifan lokal yang dikabarkan turun menurun, sebagian besar warga berhasil menyelamatkan diri, meskipun ada jatuh enam korban jiwa. Foto: Ayat S Karokaro
Laut yang mengelilingi Pulau S. Kala tsunami menghantam, berkat kearifan lokal yang dikabarkan turun menurun, sebagian besar warga berhasil menyelamatkan diri, meskipun ada jatuh enam korban jiwa. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,