,

Parah, Dosen Ini Unggah Satwa Dilindungi Hasil Buruan

“Hasil berburu kemarin, para kembaranku, Natalan bersama..” Begitu status Facebook Devy Sondakh, sekaligus mengunggah foto seorang pria bertelanjang dada seraya memegang dua yaki (Macaca nigra),  hasil buruan. Yaki adalah satwa endemik Sulawesi Utara (Sulut) yang nyaris punah dan berstatus dilindungi. Di bagian bawah, tergeletak kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis). Devy, dalam akun facebook itu, menyatakan sebagai dosen fakultas hukum di salah satu universitas terkemuka di Sulut.

Tanggapan dan kecaman langsung datang.  Status itupun di-share ke mana-mana. Diapun menjawab dengan berbagai teori dan pembelaan atas apa yang dia lakukan.

“Apakah binatang itu hendak di santap ? Masih ada bahan santap yg memang layak untuk disantap…… Alangkah baiknya dan bijak jika kita memilih mana yg layak untuk disantap dan mana yg tidak patut untuk disantap oleh manusia,” kata akun Ruth Daisy, pada 20 Desember.

Devy menjawab. “Ruth, minta maaf, aku sendiri dosen Filsafat dan Logika, ttp aku tdk cukup bijak utk hal ini…”

Dia tahu yaki dilindungi. Sebagai alasan perburuan yaki, dia menghubungkan berbagai faktor seperti tradisi, agama, ekonomi dan hama bagi petani. Faktor tadi dijadikan legitimasi memburu satwa endemik itu.  “Mungkin, aku ini hanya seorang yang ‘rakus’ atas hewan-hewan di hutan, sebagaimana kebanyakan orang Minahasa.” Begitu antara lain tanggapan dia.

Dia menilai yaki termasuk hama. Penilaian itu berdasarkan pengalaman menjelajah sebagian besar hutan di Sulut. Devy mengaku pernah diserang monyet yang harus survive dan turun ke pertanian warga karena ada illegal logging. Interaksi antara satwa dengan pertanian warga tadi menjadikan hama pantas dibasmi. “Kalau ada UU perlindungan terhadap satwa monyet yang habitatnya jutaan, dan merusak pertanian warga itu artinya UU itu salah dan harus dicabut.”

Devy turut membandingkan yaki dengan sapi. Menurut dia, yaki adalah common enemy of farmers, khusus petani di pedalaman yang berdekatan dengan hutan. Sedang sapi memiliki nilai ekonomis karena membantu manusia dalam membajak dan mengangkut barang. “Dari sisi kuantitas, yang kami buru itu cuma tiga, sementara yang disembelih di Natalan dan kurban itu ratusan ribu. Tahukah anda bahwa para maling hutan pemegang HPH datang mencuri, membakar sekaligus menghancurkan habitat hewan?

John Tasirin, pakar Biodiversitas Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, menilai, argumentasi Devy sama sekali tidak bisa dibenarkan. Klaim memakan satwa liar, terutama yaki, bagian dari tradisi sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Konsumsi protein dari satwa hutan bisa digantikan dengan ternak. Apalagi yang diburu dan satwa dilindungi.

“Satwa yang tergeletak di lantai adalah kuskus kerdil juga dilindungi. Jika satwa-satwa itu sudah dilindungi UU harusnya tidak ada interpretasi lain. Sudah ada kekuatan hukum. Seharusnya orang hukum tahu itu,” katanya kepada Mongabay, Senin (22/12/14).

Dia mempertanyakan pula argumentasi yaki adalah hama. Kata John, dalam caption foto tertulis “hasil berburu kemarin: para kembaranku, natalan bersama”, yang jelas karena karena faktor perburuan untuk Natal. Bukan soal hama. Hingga tindakan Devy lebih upaya pemenuhan kepuasan pribadi. Jika itu hama, seharusnya diperlakukan sebagai hama. “Kuskus kerdil jelas bukan hama. Satwa ini masuk kategori rentan, lebih langka ketimbang kuskus beruang.”

John menambahkan, membandingkan yaki dengan sapi merupakan kesalahan. Yaki satwa liar yang dilindungi karena status keterancaman. Sapi adalah ternak. Dari sisi ekonomis, satwa liar termasuk yaki memiliki kontribusi besar bagi manusia. Penyebaran biji berperan dalam pembentukan hutan secara alami. Yaki berguna bagi alam dalam menjaga keseimbangan.

Dia mencontohkan, pemerintah harus mengeluarkan banyak anggaran membayar orang untuk penghijauan, dan belum tentu tumbuh. Ada begitu banyak satwa liar menyebarkan benih lalu menciptakan hutan begitu lebat. Satwa liar membantu alam bertumbuh alami. Salah satu unsur alam itu yaki.

John meragukan pernyataan Devy yang pernah melihat populasi yaki hingga ribuan. Tak sebanyak yang perkiraan Devy, dalam kelompok, yaki hanya sekitar 40 individu. Di Tangkoko, misal, populasi diperkirakan hanya 500 yaki.

Yaki, satwa endemik Sulut yang ramah dan kerab menjadi sasaran perburuan dan konsumsi. Foto: Sapariah Saturi

Meski dilindungi UU, John menilai, upaya penegakan hukum terkait perlindungan satwa terbilang lemah. Indonesia sebagai negara belum memprioritaskan perlindungan satwa. “Padahal, menurut Pangeran Charles, dalam pidato di hari anti korupsi internasional, penghilangan salah satu keragaman hayati merupakan tindak korupsi.”

Tegakkan hukum

Pemerintah, katanya,  harus lebih berani menegakkan hukum dan peraturan. Sebab, pelanggaran hukum tetaplah pelanggaran, termasuk berburu yaki. “Kita makhluk paling bijaksana, punya akal budi. Tindakan itu justru mendatangkan neraka, sebab membunuh yaki adalah membunuh masa depan.”

Saroyo, primatolog Unsrat menilai, tindakan berburu satwa liar identik dengan peningkatan status sosial. Makin mahal, makin bergengsi. Penilaian ini membuat yaki menjadi pesona di acara-acara tertentu, sekaligus menjadi faktor penurunan populasi yaki.

Saroyo pernah riset berjudul “Konsumsi Mamalia, Burung, dan Reptil Liar Pada Masyarakat Sulawesi Utara dan Aspek Konservasi”. Dalam penelitian itu, Indonesia merupakan biodiversitas tertinggi nomor dua dunia, berarti makhluk hidup, termasuk flora dan fauna, mikroba dan jamur sangat tinggi. Walaupun demikian, keterancaman satwa liar sangat tinggi.

Di Sulut, katanya, ada dua faktor yang mengancam eksistensi satwa liar, yaitu, perusakan habitat dan perburuan untuk konsumsi. Yaki dan kuskus kerdil,  termasuk satwa dilindungi yang diperdagangkan dan dikonsumsi.

“Yaki satwa yang tidak boleh diburu dan dikonsumsi. Pemerintah lewat UU dan sejumlah peraturan telah melindungi satwa ini. IUCN red list, bahkan, memasukkan yaki dalam kategori kritis.”

Sudiyono, kepala BKSDA Sulut, mengatakan, mengetahui perdebatan soal foto ini. Dalam waktu dekat, segera memanggil Devy dimintai keterangan.

Namun, dia menilai, kesulitan memproses kasus-kasus seperti ini. Hingga kini, setidaknya tiga kasus perburuan yaki diunggah di Facebook dan tidak bisa diproses hukum. Bukti foto dinilai lemah, apalagi dengan tidak ada barang bukti. Sudah pasti, daging yaki dan kuskus kerdil tidak bisa ditemukan. “Kami akan panggil dulu yang bersangkutan untuk dimintai keterangan.”

Kuskus kerdil merupakan satwa dilindungi di Indonesia masuk daftar Apendix II. Ia satu dari tiga jenis kuskus Sulawesi, selain kuskus beruang (Aulirops ursinus) dan kuskus talaud (Aulirops melanotis). Satwa lucu ini terancam karena dipelihara dan dikonsumsi.

Sedang yaki,  sejumlah penelitian menyebut, dalam 30 tahun terakhir, populasi terus menurun hingga 80% atau kurang dari 5.000. Penyebabnya, perusakan hutan dan perburuan.

Akun Facebook itu  pada November 2014, mengampload foto yang merperlihatkan orang baru selesai berburu dengan beberapa yaki, sudah tewas di depannya. Foto: dari Facebook pengunggah
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,