,

Saat Kelapa Melawan Sawit

Terik matahari di Kota Pekanbaru siang itu terasa cukup menyengat kulit. Namun tak menyurutkan semangat Sri Dharmawati (51) untuk menyelesaikan masakannya. Ia bersama rekannya dari Kecamatan Tenayan Raya sedang memasak Patin Pucuk Rebung dan Laksa Kuah.

Kali ini dua makanan khas Melayu itu dimasaknya berbeda. Sri tidak menggunakan minyak goreng dari sawit yang biasa dipakainya sehari-hari, melainkan minyak dari kelapa yang diolahnya sendiri. Menu utama dan pendamping itu pun menjadi lengkap dengan sajian dessert cirik barandang atau kerak minyak kelapa, sebuah panganan lokal yang kini jarang sekali ditemui di meja-meja makan. Dan hmm… aroma harum pun sangat menggoda selera.

Makanan spesial Sri itu diperlombakan dalam Green Food Festival yang ditaja oleh LSM Sawit Watch, WALHI Riau dan Green Radio Pekanbaru di bawah Jembatan Siak III. Lomba itu diikuti belasan ibu-ibu perwakilan dari seluruh kecamatan di Pekanbaru pada Kamis (18/12/2014) pekan lalu.

Green Food Festival adalah program tahunan Sawit Watch yang pada tahun ke tiga ini diselenggarakan di tiga kota, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Pekanbaru, Riau dan Majene, Sulawesi Barat. Pemilihan daerah ini didasari atas luasan kebun sawit yang kini terkonsentrasi di provinsi tersebut.

Melalui kegiatan ini, panitia ingin kembali memperkenalkan panganan lokal dan cara memasak dengan merebus, mengkukus dan membakar. Boleh menggoreng, tetapi harus menggunakan minyak kelapa atau minyak non sawit lainnya. “Ini adalah kampanye pendidikan publik dengan menyasar kaum ibu. Ini kampanye dari dapur rumah,” kata Bondan Andriyanu, Kepala Kampanye dan Edukasi Publik Sawit Watch kepada Mongabay.

Menurut dia, masyarakat saat ini seperti tidak ada pilihan untuk mengolah makanan kecuali dengan menggoreng dan itu menggunakan minyak sawit. Padahal ada cara lain yang mungkin lebih ramah lingkungan dan murah. Dan ada banyak alternatif minyak goreng selain sawit.

“Ini bukan kampanye melawan sawit. Tidak ada masalah dengan minyak sawit itu sendiri, yang masalah itu bagaimana produk itu ditanam dan dikembangkan. Ada banyak konflik sosial antara pekebun sawit skala besar dengan masyarakat hutan tempatan. Ada banyak perusahaan sawit yang membabat hutan untuk ditanami sawit. Hutan dibuka dengan dibakar yang menyebabkan bencana asap di Sumatra dan Kalimantan,” kata Bondan.

Satu dekade terakhir sejumlah LSM menyoroti dampak lingkungan dan sosial atas pembangunan perkebunan sawit. Di antaranya maraknya konflik lahan antara perusahaan pengelola dengan masyarakat adat dan tempatan, meningkatnya ancaman kepunahan satwa langka, hilangnya tutupan hutan, keanekaragaman hayati serta daerah serapan air, pencemaran sungai serta emisi gas rumah kaca Indonesia dari sektor kehutanan yang menduduki peringkat ketiga terbesar setelah Amerika dan China.

“Lagian sawit bukan tanaman asli Indonesia. Bibitnya dari Afrika yang dibawa oleh Belanda. Jadi ini bukan produk lokal,” lanjut Bondan.

Di wikipedia dijabarkan biji sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848 yang ditanam di Kebun Raya Bogor dan menjadi tanaman hias di pinggiran jalan di Deli, Sumatra Utara. Tanaman ini kemudian dikembangkan secara komersial pada 1911 untuk memenuhi permintaan dunia. Sektor ini sempat surut pada masa jajahan Jepang tapi kemudian berkembang pesat di masa orde baru yang memperluas lahan kebun dengan menggalakkan skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan pembukaan hutan pun secara masif tak terelakkan.

Masih menurut Wikipedia, guna memenuhi permintaan minyak nabati global waktu itu, dibangunlah kebun sawit pertama kali dengan luas hanya 5.123 hektar di pesisir pantai timur Sumatra yakni Deli dan Aceh. Bandingkan dengan satu abad setelahnya, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 10,5 juta hektar pada 2013. Namun angka sebenarnya jauh lebih tinggi dibandingkan data pemerintah. Pesatnya perluasan kebun sawit dikarenakan hampir setengah dari produk yang dikonsumsi manusia setiap harinya mengandung sawit. Ia ada dalam produk perawatan tubuh, kecantikan, makanan hingga minuman. Sawit juga ada dalam sektor transportasi.

Dalam rangka membendung ekspansi berlebihan sawit yang meningkatkan laju deforestasi serta mengkritisi masalah sosialnya, Sawit Watch mulai kampanye penggunaan minyak non sawit seperti kelapa seperti Green Food Festival ini.

Minyak kelapa olahan yang belum memperoleh hak label dari pemerintah. Foto : Zamzami
Minyak kelapa olahan yang belum memperoleh hak label dari pemerintah. Foto : Zamzami

Di lokasi acara, tampak Juari (40), warga Kelurahan Sapat, Indragiri Hilir, Riau berdiri di meja tendanya. Di atas meja itu terdapat delapan botol plastik ukuran 600 ml berisi minyak kelapa. Warnanya kuning keemasan seperti halnya warna minyak sawit. Sementara dua botol lainnya yang agak lebih besar berisi minyak berwarna lebih bening dan satu botol kecil  ukuran 250 ml bertuliskan VCO atau virgin coconut oil. Tiga jenis minyak itu tidak berlabel.

“Kami sudah memasukkan produk ini ke dinas perindustrian dan BP POM untuk didaftarkan. Kalau sudah terdaftar dan ada label baru bisa dijual di pasar,” katanya kepada Mongabay.

Juari adalah petani kelapa di pesisir timur Provinsi Riau. Ia mengolah minyak goreng kelapa secara turun temurun. Namun kualitasnya masih standar kampung yang hanya bertahan satu bulan sebelum minyaknya berbau tengik.

Namun sejak beberapa bulan terakhir, ia dan warga lainnya memperoleh pelatihan dari LSM Mitra Insani tentang bagaimana mengolah kelapa menjadi minyak yang tak berbau alias lebih awet dan laik jual. Lewat kelompok usaha yang mereka namai Nyiur Terpadu, kini Juari sudah bisa memproduksi VCO yang biasa dipakai sebagai produk herbal.

VCO adalah produk paling terakhir dari tiga kali proses pengolahan parutan kelapa yang diberi air dan dimasak secara teratur pada suhu tertentu. Pada tahap kedua pengolahannya sebenarnya sudah menghasilkan minyak kelapa yang berwarna lebih bening dan inilah produk yang diharapkan bersaing dengan minyak goreng sawit di pasaran.

Sama halnya dengan sawit yang semua bagiannya mulai dari pohon hingga ampas cangkangnya bisa dimanfaatkan, kelapa juga demikian. Lambang pramuka dengan menggunakan cikal kelapa telah menerangkan manfaat itu semua. Namun yang menariknya adalah di setiap proses pemanasan sejak pemisahan air, VCO dan blondo akan menghasilkan berbagai tingkatan minyak yang di antaranya dipakai sebagai panganan dan minuman untuk ternak, dodol dan lainnya.

“Jadi semuanya proses itu akan menghasilkan banyak hal yang berguna. Tapi untuk minyak kelapa bening ini harus terlebih dahulu divakum biar bau kelapanya benar-benar hilang. Alat vakumnya ini yang mahal dan kita belum punya,” katanya.

Biaya produksi adalah masalah utama petani seperti Juari, seperti alat vakum pembuang gas dan aroma kelapa yang harganya mencapai Rp40 juta. Hal inilah yang kadang kala mengubur harapan petani untuk memperoleh nilai tambah dari kebun kelapa.

Juari memiliki delapan hektar kebun kelapa yang diperolehnya dari orang tuanya. Hanya sebagian kecil saja dari hasil panen yang diolah menjadi minyak karena belum adanya label dan kurangnya alat produksi. Sementara sebagian besar panennya dijual ke pengumpul untuk dijual kembali ke perusahaan besar bahkan diekspor. Namun harga kelapa tidaklah selalu bagus karena ditetapkan oleh pengumpul.

Di Riau, terdapat kebun sawit seluas 7.340 ribu hektar, sedangkan kebun kelapa hanya 440 ribu hektar.  Sementara itu kabupaten yang bisa dikatakan sentral kelapa adalah Kabupaten Indragiri Hilir yang pada tahun 2012 lalu memproduksi 440 ribu ton. Luas kebun kelapa sekitar 374 ribu hektar atau setengah dari luas kebun sawit yang mencapai 691 ribu hektar.

Menurut Bondan dari Sawit Watch, petani kelapa seperti Juari sulit berkembang karena kurangnya modal dan sebagainya. Dukungan pemerintah minim. Padahal hampir di seluruh tanah di nusantara ini subur ditumbuhi pohon kelapa. Pemerintah saja yang belum serius melirik komoditas pangan lokal ini yang jika saja bisa didukung penuh maka sangat besar kemungkinannya bisa menyaingi hegemoni produk sawit.

“Saat ini harga minyak kelapa di swalayan yang diproduksi perusahaan besar Rp56 ribu per dua liter sementara harga minyak sawit cuma Rp25 ribu-an. Jauh sekali bedanya. Ini tidak kompetitif makanya butuh bantuan pemerintah,” kata Bondan.

Selain kurangnya modal serta harga kelapa yang tak menentu, kini petani seperti Juari mulai menghadapi masalah yang tak kalah serius. Gelombang cerita kesuksesan sawit telah berhembus di daerahnya. Ada beberapa petani yang kini mulai menanam bibit sawit di kebun kelapa mereka.

“Sawit (sudah) ada (ditanam). Baru beberapa orang saja. Lagi nyoba-nyoba ditanam di air payau,” katanya Juari.

Sementara itu bagi konsumen seperti Sri meski mengaku senang dengan aroma harum minyak kelapa buatannya, ia enggan beralih ke minyak sawit. Alasannya sangat sederhana, harga miyak sawit sangat terjangkau dan ketersediaannya ada di hampir setiap toko.

“Mungkin karena murah kali ya dibandingkan harga minyak kelapa.Ya sekali-sekali bolehlah pakai minyak kelapa,” ujarnya tersenyum. Namun, siang itu menu alternatif patin yang ditawarkan Sri kalah bersaing dengan menu biasa ikan patin yang dimasak oleh kelompok binaan Camat Sail, Pekanbaru.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,