,

Fokus Liputan: Kasak Kusuk Tambang Emas Geumpang

Muhammad Natsir memang beda. Dari beberapa warga yang kami temui di Geumpang, Pidie, Aceh, ia lah satu-satunya lelaki yang berpakaian rapi. Kemeja putih lengan panjangnya dimasukkan dalam balutan celana jeans biru. Ia juga bersepatu.

Sementara, masyarakat lainnya yang kami lihat tepat di depan Kantor Camat Geumpang hanya menggunakan pakaian sehari-hari. Kaus oblong atau kemeja, bersandal, dan ada yang berkopiah. Pakaian harian sebagaimana masyarakat desa lainnya.

Penampilan ciamik Natsir makin mentereng kala ia mengendarai mobil sport Outlander hitam. Meski sedikit berdebu, namun tidak menghilangkan kesan bahwa mobil itu belum lama ia beli. “Masyarakat di sini, beli sepeda motor ataupun mobil tidak perlu nyicil. Tunai,” ucapnya membuka pembicaraan.

“Yang repotnya, dealer atau tempat penjualan kendaraan bermotor itu malah menyarankan kami untuk kredit. Jadinya, kami harus pesan dulu,” lanjut Natsir.

Bukan hanya kendaraan, di Geumpang ini, kami juga kesulitan karena tidak ada bank pemerintah. Bukan, bukan untuk kredit, melainkan kami ingin menabung. “Kami bingung menyimpan uang di rumah bila telah menjual emas. Ada masyarakat yang meletakkannya di karung, ada juga yang di bawah tempat tidur. Jangan kaget, jumlah uang  yang beredar di sini cukup tinggi. Miliaran. Semua itu kami usahakan sendiri melalui tambang emas rakyat.”

Kami tidak perlu bantuan pemerintah. Karena, dari zakat dan sedekah yang kami kumpulkan dari tambang ini, jumlahnya mencapai 1,3 miliar rupiah. Uang tersebut, kami gunakan untuk pembangunan masjid, operasionalisasi harian, sarana olahraga, dan bantuan kemanusiaan mulai Pidie, Banda Aceh, hingga Palestina sebesar 87 juta. “Termasuk, bencana longsor yang terjadi di Aceh awal November 2014 ini,” tuturnya.

Dari tambang emas rakyat ini, perekonomian kami lebih baik sekarang. Masyarakat bisa membangun rumah, menyekolahkan anak, dan tambang ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Dalam tujuh tahun ini, kami bisa berdiri sendiri tanpa bantuan pihak manapun.

Siapakah Muhammad Natsir? Lelaki 40 tahun ini merupakan koordinator petambang emas Geumata (Geumpang, Mane, dan Tangse yang merupakan nama kecamatan), Kabupaten Pidie. Dia lah yang mengkoordinir kegiatan tambang emas rakyat wilayah Geumata. Segala gerak-gerik pekerja maupun pendatang baru akan terpantau olehnya.

Siang itu, 20 November 2014, Natsir bersama para pengurus tambang emas yang biasa sebut “panitia” yaitu perwakilan para pekerja dan pemilik modal, duduk satu meja membicarakan kegiatan mereka. Ada Geuchik Abet Idris yang merupakan tetua adat Geumpang, Muhammad Nazar (sekretaris), Sulaeman (humas), dan Fahrulrazi (bendahara). Mereka lah para “pembesar” yang mengatur aktivitas tambang Geumata. Ditambah dengan keamanan, jumlahnya mencapai 50 orang.

Inilah pasar Kecamatan Geumpang. Di sinilah segala aktivitas masyarakat Geumpang dimulai. Tahun 2007, wilayah ini sepi namun sejak maraknya pertambangan, berbagai jenis kendaraan baru dapat dilihat di sini. Foto: Junaidi Hanafiah
Inilah pasar Kecamatan Geumpang. Di sinilah segala aktivitas masyarakat Geumpang dimulai. Tahun 2007, wilayah ini sepi namun sejak maraknya pertambangan, berbagai jenis kendaraan baru dapat dilihat di sini. Foto: Junaidi Hanafiah

Natsir melanjutkan pembicaraan. Jumlah petambang yang ada di Geumpang ini mencapai 12 ribu orang. Mereka tidak hanya berasal dari Geumpang, Mane, dan Tangse melainkan juga dari Sumatera Utara, Jawa Barat, hingga Sulawesi. “Para pendatang ini, akan dijadikan “guru” karena tahu caranya mencari urat emas. Biasanya, dalam satu lubang yang digali akan ada dua “guru” yang mendampingi. “Anehnya, setelah mereka bekerja di sini, kadang mereka malas pulang ke daerahnya. Salah satu alasannya adalah hasil kerja yang mereka peroleh tidak ada kutipan pajak “preman” yang tidak jelas.”

Bagaima peran “panitia”? Muhammad Nazar menuturkan, para panitia ini mengatur seluruh kemanan dan jarak lubang tambang yang ada di lokasi. Jarak minimal antar-lubang galian adalah 20 meter dengan kedalaman tidak dibatasi. Namun begitu, para pekerja, biasanya hanya sanggup sekitar 100 meter, karena lebih dari ukuran itu akan muncul genangan air. “Terkadang, terjadi juga pertemuan lubang yang telah dibuat para pekerja. Ini dikarenakan, mereka mengikuti jalur “urat emas” tersebut. Di sini peran “panitia” untuk mendamaikan.”

Nazar juga menyatakan, tidak semua pekerja tambang emas bisa naik ke lokasi. Ada persyaratan yang harus mereka taati. Misalnya, pekerja tersebut memiliki identitas yang jelas, bukan pemakai narkoba, dan juga tidak memiliki sifat mencuri. “Bila ketentuan itu ditaati maka pekerja akan diperbolehkan memasuki areal tambang. Namun, sebelum memasuki areal, mereka juga akan diperiksa kembali oleh keamanan sembari menunjukkan kartu keanggotaannya,” tutur Nazar.

Menurut Nazar, prosedur ini penting dijalankan karena selama di lubang, para pekerja tentunya meninggalkan semua barang berharga mereka. Rasa aman dan percaya kepada sesama pekerja harus ada, karena mereka berada di lokasi hingga berminggu. “Harap maklum, lokasi tambang di kaki Bukit Barisan itu jaraknya enam jam dengan ojek yang ongkos sekali jalannya antara 200-300 ribu rupiah. Bila hujan, tentu lebih sulit menjangkaunya.”

Berapa luasan areal yang telah digunakan untuk tambang emas rakyat di Geumpang ini? Kini, giliran Fahrulrazi angkat bicara. Menurut bendahara panitia Geumata ini, sekitar 2 ribu hektar areal yang saat ini dipergunakan dengan jumlah lubang tambang sekitar 500 lubang. “Tidak semua lubang aktif, namun tetap dalam pengawasan panitia.”

Tanpa sungkan, Fahrulrazi mengatakan bahwa dalam satu lubang, pekerjanya ada yang mencapai 45 orang. Tergantung dari kekuatan pemilik modal itu sendiri. Sedangkan jumlah pemilik modal sekitar 300 orang. “Bila modal kita kecil, ya pekerjanya antara lima hingga sepuluh orang. Hasil yang didapat akan sedikit juga.”

Para pemodal inilah yang akan menanggung semua biaya pekerja di lapangan. Mulai dari makan harian, kopi, rokok, antaran barang dengan ojek, hingga upah kerja. Ada dua sistem yang digunakan terkait hasil yang didapat antara pemodal dan pekerja. Pertama, pembagian 60 persen untuk pemodal dan 40 persen untuk pekerja. Untuk aturan ini, segala kebutuhan pekerja ditanggung pemodal mulai dari waktu, tenaga, dan biaya. Kedua, pembagian 50 persen pemodal dan pekerja 50 persen. Untuk aturan ini, ditanggung bersama. Artinya, bila gagal ditanggung bersama. Berbeda dengan yang aturan pertama, bila gagal maka semuanya ditanggung pemodal. “Namun begitu, banyak yang menggunakan aturan pertama,” ujar Fahrulrazi.

Beginilah kondisi pertambangan emas rakyat di Geumpang. Menurut penuturan M. Natsir, Koordinator tambang wilayah Geumata (Geumpang, Mane, Tangse) jumlah pekerja mencapai 12 ribu orang. Foto: Suparta
Beginilah kondisi pertambangan emas rakyat di Geumpang. Menurut penuturan M. Natsir, koordinator tambang wilayah Geumata (Geumpang, Mane, Tangse) jumlah pekerja mencapai 12 ribu orang. Foto: Suparta

Untuk urusan modal, kembali Natsir angkat bicara berdasarkan pengalamannya. Tahun 2007, saat pertama kali tambang ini berjalan, para pemodal membutuhkan uang sedikitnya 25 juta rupiah. Jumlah ini terhitung sederhana untuk pekerja yang sedikit pula. Untuk sekarang, uang sejumlah ini hanya bisa digunakan untuk sendiri saja. Artinya, pemodal merangkap pekerja.

Sekarang, modal yang dibutuhkan bisa mencapai satu miliar rupiah. Jumlah ini terhitung standar, karena akan habis untuk membiayai kebutuhan pekerja dan peralatan. Apalagi bila pekerjanya mencapai 45 orang untuk satu lubang. “Kita tidak tahu kapan lubang itu menghasilkan. “Bisa mingguan, bulanan, atau gagal sama sekali. Ini risiko yang harus ditanggung pemodal.”

Namun, bila emas sudah didapat maka, uang tersebut akan segera terbayar sebagaimana yang dialami Natsir. Menurut Natsir, ia pernah mengalami masa-masa sulit saat tambang yang diusahakannya tidak menghasilkan. Praktis, modal 4,5 miliar yang diusahakannya dalam tiga tahun nyaris hilang. Kini, setelah lubangnya menghasilkan, segala hutangnya terbayarkan. “Susah setahun akan selesai dalam sehari,” tuturnya.

Berapa harga emas per kilogramnya? Seperti yang dilansir dari Seputar Aceh.com, harga per kilogramnya mencapai 350 juta. Namun, berapa jumlah kandungan emas yang ada dan bagaimana mutunya, hingga kini belum ada penelitian lebih lanjut. (Bersambung)…

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,