,

Fokus Liputan: Bersikukuh Atas Nama Rakyat (bagian-3)

Tulisan sebelumnya, dapat dibaca pada bagian satu dan dua tautan ini.

Direktur Walhi Aceh, M Nur menyebutkan, kegiatan pertambangan emas di Aceh, mulai bermunculan sejak 2007. Bahkan, ada juga pertambangan yang berada di hutan lindung. “Hal ini menyebabkan kerusakan hutan yang sangat parah, bahkan yang paling menakutkan adalah terganggunya kesehatan ribuan masyarakat Aceh,” sebutnya.

Tahun 2009, polemik tambang rakyat pernah merebak saat kasus Krueng Sabe, sungai di Kecamatan Krueng Sabe, Aceh Jaya mencuat. Hulu sungai ini berada di perbatasan Krueng Sabe dan Tangse, Pidie. Masyarakat yang berada di aliran sungai tersebut tentu saja memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan mencari ikan. Namun, sungai tersebut diduga tercemar akibat pembuangan merkuri dari kilang pengolahan biji emas milik rakyat setempat.

Agar kasus Krueng Sabe dan Geumpang tidak terulang kembali, Muhammad Nur meminta Pemerintah Aceh untuk segera membuat tata kelola tambang rakyat, menetapkan wilayah pertambangan rakyat, dan mengeluarkan regulasi pengelolaannya. Dengan cara tersebut diharapkan kegiatan pertambangan bisa diawasi dan rusaknya hutan akibat pembukaan pertambangan, pencemaran merkuri dan sianida dapat dipantau. “Regulasi harus dibuat agar penyelesaian masalah tidak dilakukan secara sporadis.”

Elly Sufriadi memaparkan kasus Krueng Sabe tersebut. Tahun 2010, Universitas Syiah Kuala juga telah melakukan penelitian terhadap air Sungai Krueng Sabee yang dipakai sebagai bahan baku air PDAM bagi dua ribu masyarakat Kota Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya. “Sampel air diberikan kepada mencit (Mus musculus) dan didapatkan mencit mati dalam waktu 20 hari. Bayi mencit yang lahir tanpa tulang tengkorak di kepala.”

Menurut Elly, merkuri yang ada telah menyebar dalam jaringan rantai makanan. Dari sampel kerang dan ikan yang diambil di hulu Krueng (sungai) Sabee yelah ditemukan adanya kandungan merkuri. “Masyarakat yang berada jauh dari Krueng Sabee juga bisa terpapar dampak merkuri itu sekiranya mengkonsumsi ikan yang bermigrasi dari sungai tersebut.”

Gatot Sugiharto, Ketua Umum Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI), coba menanggapi persepsi miring tentang tambang rakyat yang dianggap merusak lingkungan dan merugikan negara ini, Kamis (4/12/2014).

Gatot sadar bahwa profesi ini masih dianggap tidak sebaik petani, nelayan, pegawai negeri, bahkan buruh sekalipun. Stereotif ini dikarenakan belum adanya kepastian hukum terkait status wilayah pertambangan rakyat dan juga belum adanya pembinaan dari pemerintah setempat bagaimana cara menambang yang ramah lingkungan itu. Padahal, tambang emas rakyat di Indonesia melibatkan satu juta penambang langsung dan sekitar lima juta orang secara tidak langsung.

“Tambang rakyat disebut liar karena tidak ada legalisasi. Padahal, ada segelintir pihak yang mengambil keuntungan dari situasi ini. Jumlah pungutan liar yang diraup dari tambang rakyat mencapai 500 miliar per bulan yang dalam setahun mencapai enam triliun.”

Salah satu sentra gelondongan untuk pengolahan emas pada pemukiman warga di Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Foto: Chik RIni

Gatot melanjutkan argumennya. Dalam setahun, Indonesia hanya mendapatkan 65 ton atau 0,7 persen emas dari bagi hasil perusahan pertambangan yang beroperasi. Sisanya kemana? Sudah pasti masuk ke kas perusahaan yang jumlahnya 9.220 ton atau sekitar 99,3 persen yang jika dirupiahkan mencapai 4.000 triliun. Ini baru emas, belum lagi tembaga, nikel, pasir besi, timah, dan batubara.

Bagaimana tambang emas rakyat? Dalam setahun, hasil yang diperoleh sekitar 200 ton emas. Para penambang, bersedia membayar royalti sebesar 20 persen asalkan pemerintah bersedia membantu proses legalisasi serta melakukan pembinaan. “Dalam hal ini, dalam setahun, pemerintah akan mendapatkan pemasukan 40 ton emas. Selebihnya, emas sebanyak 160 ton akan tetap berada di Indonesia tanpa satu gram pun hilang, karena memang dimiliki rakyat. Bukan pihak asing!”

Menurut Gatot, bila pemerintah memfasilitasi tambang rakyat, dalam waktu empat atau lima tahun, sekitar lima juta penduduk Indonesia akan bebas dari kemiskinan. Bukti nyata, bisa dilihat di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Begitu juga dengan masyarakat di Gorontalo, dan Wonogiri.

“Sesuai Undang-undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009, pengelolaan lingkungan tambang di wilayah pertambangan rakyat (WPR) merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, hingga kini belum ada satu daerah pun yang menganggarkan rencana pengelolaan lingkungan. Para petambang selalu dianggap tidak peduli lingkungan.”

Apa yang telah dilakukan APRI? APRI telah menetapkan tata kelola tambang rakyat yang dinamakan Collective Responsible Mining (CRM). Yaitu, kelompok usaha tambang bertanggung jawab yang memiliki legalisasi, perencanaan usaha tambang, paraktik pertambangan yang aman, pengolahan ramah lingkungan beserta penanganan paska tambang, pemasaran, hingga pembagian keuntungan yang adil.

Dengan potensi pendapatan 400 triliun per tahun dan 1.000 sebaran tambang di Indonesia, APRI akan bekerja sama dengan pemerintah, universitas, dan lembaga yang peduli tambang rakyat. “Selama ini, banyak yang salah kaprah tentang tambang rakyat karena belum melihat langsung ke lokasi. Bahkan, dalam seminar yang membahas tambang rakyat pun, kami para pelakunya jarang sekali diikutsertakan. Ini kan aneh,” tutur Gatot.

Fahrul Aminin, Bendahara Umum APRI, coba melengkapi. Menurut putra asli Geumpang ini, saat ini di seluruh Indonesia telah dibentuk 23 dewan perwakilan wilayah (DPW) untuk menunjukkan keseriusan APRI. Semua anggota APRI nantinya akan memiliki kartu. Dengan begitu, semua wilayah pertambangan rakyat beserta pembuangan limbahnya akan terpantau baik. Termasuk kegiatan paska tambang berupa penanaman pohon kembali dan penimbunan lubang.

Menurut Fahrul, pengaturan ini penting, karena kedepannya, setiap pengelolaan tambang rakyat harus melalui izin APRI. Bukan hanya wilayah pertambangannya tapi juga sentralisasi pengolahan limbahnya. Tahun 2018, berdasarkan perjanjian Minamata maka penggunaan merkuri akan tidak ada lagi. Artinya, merkuri tidak diperbolehkan lagi alias nol.

Kenapa tidak sekarang? Mengapa harus mengikuti perjanjian Minamata? Menurut Fahrul, bisa saja pasokan merkuri untuk petambang di Aceh dan seluruh Indonesia dihentikan. Tapi, apakah itu solusi terbaik. Apakah itu tidak akan menimbulkan masalah baru? “APRI sedang mencari jalan terbaik dan terbuka untuk bekerja sama dengan pemerintah dan berbagai pihak guna mencari pemecahannya.”

Seorang petambang emas sedang menggali lubang untuk mencari batu emas di Manggamat, Aceh Selatan. Foto: Chik Rini

Bila melihat sejarah pertambangan umum di Aceh, mengutip dari Distamben Provinsi Aceh, kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 1900-an oleh Portugis dan India. Bahan yang dieksploitasi kala itu adalah endapan emas plaser (alluvial) yang berada di beberapa sungai di “Cekungan Meulaboh” aceh Barat. Belanda juga telah menerbitkan hasil penyelidikan emas di wilayah ini melalui dalam bentuk laporan tahun 1919. Selanjutnya, di akhir 1930-an,  Marsman’s Algemene Ekploratie Maatschappij (MAEM) melakukan penyelidikan emas di Kreung Woyla dan krueng Seunagan (Blang Agoi) dengan menggunakan bor bangka dan sumur uji.    

Hasil penyelidikan tersebut menunjukkan sebaran emas plaser terdapat di aliran sungai Krueng Meureubo, Krueng Woyla, Krueng Seunagan, dan Krueng Cut serta beberapa sungai lainnya di Aceh Barat. Cadangan emas yang cukup menjanjikan itu berada di Krueng Woyla, Krueng Meureubo, dan Krueng Seunagan dengan anak sungainya Krueng Kila dan krueng Cut.

Endapan emas di Krueng Woyla telah dieksploitasi tahun 1983 oleh PT. Ara Tutut dengan puncak produksi tahun 1991 yaitu emas (122,93 kilogram), perak (9,60 kilogram), dan platina (2,50 kg).

Sementara, masyarakat yang berada di Krueng Woyla dan Krueng Cut melakukan pendulangan emas sebagai sampingan yang merupakan pekerjaan turun temurun. Sekali mendulang, biasanya memperoleh satu hingga sebelas butir emas atau rata-rata 0,4-3 gram emas per harinya.

Bagaimana perkembangan tambang saat ini? Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Said Ikhsan, seperti yang dilansir Atjehlink.com, menyatakan di Aceh ada 138 izin usaha pertambangan (IUP). Rinciannya adalah 43 tambang emas, 42 biji besi, 30 batubara, 6 timah, dan 17 komoditas lain. Dari jumlah izin tersebut, menurut Said, terdapat 51 IUP yang berada di hutan lindung dengan luasan keselurah mencapai 389.987,1 hektar.

Bagaimana dengan tambang rakyat? Berdasarkan data Distamben Aceh per 31 Maret 2014 yang telah diolah Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Divisi kebijakan publik dan anggaran, disebutkan ada 5 izin pertambangan rakyat (IPR). Lokasinya tiga di Aceh Timur (Koperasi Tambak Terujak Jaya seluas 10 hektar, Koperasi Aceh Makmur seluas 25 hektar, dan Koperasi Perkebunan Uteun Lestari seluas 25 hektar) serta dua di Aceh Barat Daya (Mieta Beuna seluas 5 hektar dan KSU Bukit Indah seluas 5 hektar). IPR memang diterbitkan oleh kabupaten setempat.

Inilah gambaran tambang emas di Aceh yang mulai marak sejak tahun 2007. Foto: Junaidi Hanafiah

Terkait fenomena tambang rakyat ini, Fernan selaku Kepala Divis Kebijakan Publik GeRak, menyatakan berdasarkan Undang undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka izin pertambangan rakyat dapat diberikan dalam tiga bentuk. Untuk perorangan luasnya satu hektar, kelompok sebesar lima hektar, dan bila berbentuk koperasi maka arealnya bisa mencapai 25 hektar.

Letak tanggung jawab pemerintah adalah dengan menyiapkan wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang diserahkan kepada bupati bersangkutan. Karena, nanti akan berhubungan langsung dengan bupati terkait pemberian izin pertambangan rakyat.

Hal yang harus dilakukan adalah siapkan dahulu data-data mengenai pertambangan yang ada di wilayah tersebut agar semua potensi yang ada tidak luput. Karena, pendataan ini yang tentunya dilihat dengan kelengkapan dokumen yang ada nantinya akan berkaitan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) setempat yang akan disahkan nantinya. Bila WPR telah terdata maka selanjutnya dapat dimasukkan dalam wilayah pertambangan.

“Apakah nanti WPR menjadi lokasi tersendiri atau WPR merupakan bagian dari luasan WP perusahaan seperti yang diributkan sekarang, persoalan ini yang harus dibahas tuntas. Namun, intinya, WPR harus didata dahulu untuk diusulkan dalam RTRW,” ujar Fernan.

Agar WPR dapat berjalan baik maka pemerintah kabupaten harus melakukan kajian dan penelitian dahulu bagaimana pengelolaan limbah serta pemberian ijin misalnya selama lima tahun. Aturan tentang kedalaman lubang juga dibuat misal tidak lebih dari 25 meter, begitu pula aturan mengenai teknik dan manajemen pertambangan yang semuanya harus jelas.

Bila semua data dan aturan telah dibuat maka pemantauan tambang rakyat akan mudah dilakukan. Masyarakat akan dengan mudah dibina, karena prinsipnya, yang selama ini terjadi adalah belum adanya kejelasan status mereka. “Penindakan juga harus dilakukan bila tambang rakyat tidak mengikuti prosedur, dan ini juga berlaku pada perusahaan tambang bila melanggar,” ujarnya.

Hafidh, Koordinator Advokasi dan Kebijakan Publik Masyarakat Transparansi Aceh (Mata), menuturkan bahwa harus ada aturan yang jelas terkait tambang rakyat. Tanpa adanya peraturan daerah maka hasil dari tambang ini tidak bisa dipungut, selain tidak bisa dipantau gerak-geriknya. Daerah juga yang rugi. “Jangan sampai, tambang rakyat ini dijadikan perpanjangan dari perusahaan besar yang siap menampung hasilnya. Sehingga, tanpa harus mengurus izin dan membayar royalti, perusahaan tersebut mendapatkan hasil tambang emas tersebut,” ujarnya.

Pemerintah daerah harus turun langsung untuk melihat apa yang dibutuhkan petambang, sebelum regulasi dibuat. Cara partisipatif ini akan lebih efektif karena bisa melihat kondisi di lapangan apa adanya. “Karena, bila aturan dibuat hanya untuk melarang petambang itu bukan solusi. Mereka akan kembali lagi karena dari tambanglah mereka hidup,” ucap Hafidh.

Rusliadi, Kepala Divisi Pendidikan Masyarakat Adat pada Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, menyatakan bahwa akses dan kewenangan masyarakat terhadap sumber daya alam yang ada, hingga kini belum diatur secara tegas dalam Qanun. Akibatnya, kecemburuan sosial tidak dapat dihindari, dengan pertanyaan klasik yang hingga kini terus ada: mengapa perusahaan boleh mengelola tambang sementara (kami) masyarakat tidak dibolehkan dan hanya jadi penonton? “Apakah karena pemerintah tidak percaya masyarakat?” ujarnya.

Menurut Rusliandi, JKMA terus bergerak memetakan wilayah kelola masyarakat adat yang kedepannya dapat diakomodir dalam tata ruang wilayah setempat. Peran mukim yang selama ini hanya sebatas jabatan administratif alias tidak ada kewenangan, di masa mendatang harus ada. Mukim harus memiliki hak untuk mengatur pengelolaan atas hak ulayat dan hutan adat. “Dengan begitu, kemudahan dan keterlibatan masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam guna mendapatkan kesejahteraan melalui kepastian hukum akan ada.”

Siapakah Mukim? Berdasarkan Perda No. 5 tahun 1996 disebutkan mukim sebagai kesatuan masyarakat adat. Paska keluarnya UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, maka lahirnya Qanun Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim disebutkan bahwa mukim memiliki harta kekayaan berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya dan lain-lain yang menjadi ulayat mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Warga Tangse membangun bendungan secara tradisional untuk mengairi sawah mereka. Keberadaan tambang memang harus dipertegas agar limbah pembuangan tidak mengairi sungai yang digunakan warga untuk mengairi sawah. Foto: Junaidi Hanafiah
Warga Tangse membangun bendungan secara tradisional untuk mengairi sawah mereka. Keberadaan tambang memang harus dipertegas agar limbah pembuangan tidak mengairi sungai yang digunakan warga untuk mengairi persawahan. Foto: Junaidi Hanafiah

Kejelasan mengenai Instruksi Gubernur Aceh terkait tambang terjawab sudah. Zaini Abdullah melalui Instruksi Gubernur (Ingub) Aceh Nomor 11/INSTR/2014 yang telah ditandatanganinya sejak Oktober 2014 menegaskan memberlakukan moratorium izin usaha pertambangan mineral dan batubara hingga Oktober 2016.

Zaini menyebutkan, instruksi moratorium izin pertambangan tersebut ditujukan kepada sejumlah bupati, walikota dan satuan perangkat kerja pemerintah Aceh, Minggu (7/12/2014). Para perangkat daerah ini diminta mengambil langkah yang tepat, serta fungsi dan kewenangan guna melaksanakan moratorium tambang ini, terlebih yang menyangkut IUP.

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Aceh juga diminta untuk tidak memproses izin prinsip atau persetujuan gubernur untuk IUP. Yang bisa dilakukan adalah peningkatan IUP produksi, dengan catatan semua persyaratan telah terpenuhi. Begitu juga dengan Dinas Pertambangan dan Energi yang harus melakukan evaluasi dan verifikasi terhadap usaha pertambangan yang telah memiliki izin usaha pertambangan ketika moratorium belum diberlakukan.

Zaini juga menekankan agar bupati dan walikota tidak mengeluarkan IUP untuk pertambangan logam dan batubara. Semua kegiatan tambang harus dievaluasi dan izin tambang yang tidak aktif harus dicabut.

Dede Suhendra, Word Wide Fund (WWF) Aceh, saat moratorium tambang belum diberlakukan mengatakan, memang moratorium tambang harus dilaksanakan. Namun begitu, pemerintah Aceh juga harus mencari solusi alternatif terhadap mata pencaharian masyarakat Geumpang yang selama ini sudah sudah tergantung tambang. “Kita harus memperhitungkan kerugian ekosistem yang terjadi akibat tambang itu. Seperti air yang tercemar, lingkungan yang rusak, juga satwa yang terganggu. Namun juga nasib masyarakat harus diperhatikan dengan pemberdayaan ekonomi, apakah melalui pertanian atau juga perdagangan.”

Dewa Gumay, Technical Advisor Fauna & Flora International mengatakan, memang di hutan Geumpang itu terdapat sekitar 17 gajah liar. Keberadaan tambang secara tidak langsung telah memutuskan jalur perlintasannya. “Akibatnya, gajah tersebut terkungkung dan hanya berputar di wilayah tersebut. Yang dikhawatirkan akan terjadi kembali konflik antara manusia dengan gajah,” ujarnya.

Pada masa Belanda, gajah digunakan sebagai alat transportasi antara Geumpang dan Tangse. Sumber: Wikipedia
Gajah yang berada di Conservation Response Unit (CRU) yang didirikan di Manee. Foto: Junaidi Hanafiah
Gajah yang berada di Conservation Response Unit (CRU) yang didirikan di Manee. Foto: Junaidi Hanafiah

Bagi M. Natsir, terbitnya instruksi gubernur tentang pelarangan penggunaan merkuri, sianida, dan bahan logam berat lainnya hingga yang terbaru instruksi gubernur mengenai moratorium tambang tidaklah mengurangi keinginannya untuk terus “memperjuangkan” kekayaan alam yang ada di wilayahnya. 

Natsir bersama masyarakat Geumpang, Mane, dan Tangse bersikukuh maju agar bisa diberikan izin hak kelola tambang emas rakyat seluas 5 ribu hektar dari luasan wilayah Geumata yang mencapai 120 ribu hektar. Poin ini sebagaimana tuntutan mereka saat unjuk rasa awal September 2014 itu, “Tunjukkan pada kami bagaimana caranya agar tambang emas rakyat ada izin pengelolaannya.”

Apapun itu, sebagaimana yang dituliskan Ucok Parta di Acehkita.co, Geumpang tetap menawarkan sisi menawan dalam hal bentang alamnya. Ada hamparan sawah yang padinya begitu dirindukan masyarakat Aceh, ada kabut yang kala pagi menyelimuti desa mereka yang memang berada di kaki pegunungan, ada durian yang bila musimnya tiba akan terpuaskan bagi siapa saja yang memakannya, dan  sungai jernih sebagai urat nadi kehidupan masyarakat.

Ada juga julukan yang benar-benar kami rasakan saat meninggalkan wilayah emas ini. Geurimis panjang, sebagaimana singkatan Geumpang, yang mengiringi kedatangan dan kepulangan kami.

Warga menyeberang sungai dengan menggunakan jembatan kabel. Potensi alam di wilayah Geumpang, Mane, dan Tangse harus dijaga kelestariannya. Jangan sampai air yang jernih tercemar merkuri dan jangan sampai pula hutan yang hijau hancur karena tambang yang tak terkendali. Foto: Junaidi Hanafiah
Warga menyeberang sungai dengan menggunakan jembatan kabel. Potensi alam di wilayah Geumpang, Mane, dan Tangse harus dijaga kelestariannya. Jangan sampai air yang jernih tercemar merkuri dan jangan sampai pula hutan yang hijau hancur karena tambang yang tak terkendali. Foto: Junaidi Hanafiah 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,