,

Catatan Akhir Tahun: Indonesia Masih Menjadi Surga Penemuan Spesies Baru

Tahun 2014 ini merupakan tahun penting di mana masih muncul temuan-temuan spesies baru di Indonesia. Informasi terbaru adalah ditemukannya 98 spesies kumbang baru yang berasal dari Pulau Jawa, Bali dan Lombok. Penemuan tersebut dilansir oleh EurekAlert, sebuah situs berita sain milik The American Association for the Advancement of Science (AAAS), edisi 22 Desember 2014.

Identifikasi 98 spesies kumbang yang berasal dari genus Trigonopterus tersebut dilakukan oleh peneliti Jerman dan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Para peneliti tersebut melakukan pendataan cepat di hutan hujan di 3 pulau yang padat penduduk itu.

“Sangat mengejutkan bahwa di Bali, yang wilayahnya dikunjungi turis secara reguler bisa menjadi rumah bagi spesies yang belum dijumpai. Ke-98 spesies tersebut belum pernah dilihat oleh mata manusia,” jelas dua peneliti Jerman, Alexander Riedel dari Natural History Museum Karlsruhe dan Michael Balke dari Zoological State Collection Munich.

Yayuk R Suhardjo, Peneliti LIPI yang ikut dalam penelitian tersebut menuturkan bahwa kebanyakan spesies kumbang tersebut ditemukan terbatas pada cakupan areal yang sempit. “Terkadang mereka hanya ditemukan di satu tempat tertentu. Kumbang-kumbang ini tidak bersayap, dan biasanya sudah tinggal jutaan tahun di tempat mereka berada. Ini membuat mereka rentan terhadap perubahan yang terjadi pada habitat mereka,” jelasnya.

Penelitian terbaru lain yang tidak kalah menggembirakan adalah ekspedisi yang dilakukan LIPI di daerah Lengguru, Kaimana, Papua Barat yang baru-baru ini menghasilkan sejumlah temuan termasuk spesies yang diduga baru. Spesies-spesies tersebut antara lain 37 spesies kupu-kupu, 30 spesies amfibi, 50 spesies reptil dan sejumlah spesies anggrek. Temuan tersebut dihasilkan dari ekspedisi yang dilakukan pada 17 Oktober – 20 November 2014.

Gono Semiadi, peneliti Pusat Penelitian LIPI, menyampaikan bahwa dugaan spesies tersebut masih perlu pembuktian lebih lanjut, mengingat untuk membuktikan suatu spesies hewan maupun tumbuhan dibutuhkan ahli dengan bidang kepakaran yang sesuai dengan spesies tersebut.

“Ketersediaan ahli menjadi salah satu hambatan dalam proses pembuktian. Semakin banyak tenaga ahli maka hasilnya akan semakin cepat kita ketahui,” jelasnya.

Muscicapa sodhii (sp. nov.; Sulawesi Streaked Flycatcher; upper left and center) in comparison to M. dauurica williamsoni (Asian Brown [Brown-streaked] Flycatcher; upper right), M. s. sibirica (Dark-sided Flycatcher; lower right), and M. griseisticta (Gray-streaked Flycatcher; lower left). Original painting by Teo Nam Siang. Sumber: Plos one
Muscicapa sodhii (sp. nov.; Sulawesi Streaked Flycatcher; upper left and center) in comparison to M. dauurica williamsoni (Asian Brown [Brown-streaked] Flycatcher; upper right), M. s. sibirica (Dark-sided Flycatcher; lower right), and M. griseisticta (Gray-streaked Flycatcher; lower left).
Original painting by Teo Nam Siang. Sumber: Plos one

Penemuan spesies baru lainnya yaitu jenis burung sikatan yang diberi nama Sulawesi streaked-flycatcher atau sikatan Sulawesi, hasil penelitian gabungan Princeton University, Michigan State University, dan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yaitu Dewi M. Prawiradilaga dan Dadang Dwi Putra.

Awalnya, sikatan Sulawesi dengan nama ilmiah Muscicapa sodhii dianggap sebagai burung sikatan burik (Muscicapa griseisticta). Tetapi setelah diteliti lebih lanjut, terdapat perbedaan pada sayap dan kedua ekornya yang lebih pendek ketimbang sikatan burik. Tenggorokannya juga berbintik dengan paruh yang agak miring. Dan hasil tes DNA menunjukkan sikatan Sulawesi berbeda dengan sikatan burik, bahkan kekerabatannya lebih dekat pada sikatan bubik Thailand atau Muscicapa dauurica siamensis.

Masih dari Sulawesi, Ilmuwan Indonesia, Australia, dan Amerika serta penduduk lokal berhasil menemukan spesies baru tikus air pemakan daging atau karnivora di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.

Tikus air yang pertama ditemukan di Sulawesi dan kawasan Asia Tenggara, diberi nama Waiomys mamasae, dan terpublikasikan dalam jurnal Zootaxa 3815(4)2014. Tikus semi akuatik lainnya dikenal dari New Guinea, Australia, Afrika, dan Amerika Selatan. Seperti halnya tikus semi-akuatik lainnya, spesies ini memakan serangga air yang menempel di dasar aliran.

Tikus air Waiomys mamasae dari Mamase, Sulawesi Utara merupakan jenis tikus air pertama yang ditemukan di Asia Tenggara. Foto : LIPI
Tikus air Waiomys mamasae dari Mamase, Sulawesi Utara merupakan jenis tikus air pertama yang ditemukan di Asia Tenggara. Foto : LIPI

Wallacea Memiliki Keunikan Tersendiri

Ria Saryanthi, Head of Communication and Knowledge Centre Burung Indonesia, mengatakan bahwa kawasan Wallacea merupakan salah satu kawasan yang menyimpan keragaman hayati sangat tinggi, namun masih belum banyak dilakukan penelitian di sana. Kawasan ini terdiri dari ribuan pulau yang berada di antara kawasan Oriental dan Australasia. Pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam tiga kelompok yaitu Sulawesi dan pulau satelitnya, Kepulauan Maluku, serta Kepulauan Nusa Tenggara.

“Sedikitnya, ada 307 jenis burung yang terbatas sebarannya hanya di kawasan ini. Jumlahnya mencakup 40 persen dari total 767 jenis burung yang terdata di Wallacea. Selain itu, sekitar 273 jenis (64 persen) burung endemik yang ada di Indonesia berada di wilayah Wallacea. Penemuan jenis baru sangat mungkin ditemukan di Wallacea mengingat wilayah ini kaya akan keragaman hayati,” jelasnya

Secara total, burung endemik di Indonesia berjumlah 376 spesies. Dari jumlah tersebut, 323 spesies merupakan endemik pulau atau kepulauan, sedangkan 53 spesies masih distribusinya lebih dari satu pulau utama, namun masih dalam wilayah Indonesia. Paling tinggi endemisitas (tidak dijumpai di daerah lain-red) di kawasan Sulawesi yaitu 107 spesies atau 25,66%,  diikuti oleh Maluku dengan 66 jenis atau 18,08%, NusaTenggara 47 spesies atau 11,27%, Jawa dengan 32 spesies atau 6,31%, Papua 41 spesies atau 6,11%, Sumatera 29 spesies atau 4,60%  dan yang paling sedikit adalah Kalimantan dengan 1 spesies atau 0,19%.

Manfaat Keanekaragaman Hayati Sebagai Bioindikator

Suatu spesies memiliki peran penting di antaranya sebagai bioindikator. Kemunculan suatu spesies dapat menjadi indikator perubahan lingkungan di kawasan tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan Maryanto pada tahun 2009, dia mengungkapkan spesies tikus sebagai bioindikator penting.

Di kawasan Indonesia bagian barat antara lain Sumatera, Kalimantan dan Jawa, di hutan primer keberadaan tikus Niviventer cremoriventer, Maxomys surifer, Maxomys rajah, Leopoldamys sabanus menjadi sangat penting. Jika kawasan hutan primer berubah menjadi hutan sekunder maka indikasi keberadaan spesies tikus adalah Maxomys surifer, M. rajah, M. whiteheadi, Rattus exulans.

Jika manusia merubah kawasan hutan sekunder menjadi persawahan yang berbabatasan dengan hutan maka keberadaan tikus yang mengindikasikan adalah keberadaan Maxomys whiteheadi, Rattus exulans,dan Rattus rattus. Perubahan habitat dari persawahan berbatasan dengan hutan menjadi persawahan beririgasi dapat diindikasikan dari keberadaan Rattus argentiventer, R. exulans dan R. rattus. Jika habitat persawahan berubah menjadi kebun dan perumahan dapat diindikasi adanya dominasi dari keberadaan R. exulans,dan R. rattus. Terakhir, jika semua kawasan telah berubah menjadi kawasan perumahan maka yang mendominasi adalah Rattus rattus.

Indonesia Surga Keanekaragaman Hayati

Indonesia di tahun 2014 memiliki jumlah jenis burung sebanyak 1.666 spesies burung dengan variasi antar populasi yang dapat diidentifikasi sebagai anak spesies sebanyak lebih dari 3.000 sub spesies. Sementara, jumlah jenis burung yang ada di dunia sekitar 10.425 jenis.

Dari jumlah tersebut, kekhasan evolusi morfologi dan genetika di wilayah kepulauan di Indonesia memunculkan spesies‐spesies burung endemik. Data tersebut termasuk burung-burung yang baru dijumpai di Indonesia dalam rentang waktu 14 tahun terakhir (2000‐2014), telah ditemukan 4 spesies burung baru yang menyandang status endemik, yaitu Melipotes carolae Behleer et al. 2007, Zosterops somadikartai Indrawan et al. 2008, Otus jolandae Sangster et al. 2013 dan Tyto almae Jonsson et al. 2013. Semuanya dideskripsi oleh peneliti Indonesia dengan kerja sama dengan peneliti asing, kecuali Otus jolandae karena merupakan re‐deskripsi dari spesimen lama yang tersimpan di Inggris.

Keanekaragaman ekosistem yang terbentang dari Indonesia bagian timur hingga barat, di laut  dan di darat serta pada setiap pulau telah menyakinkan kita bahwa Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman spesies dan genetik. Hingga saat ini, keanekaragaman species flora telah tercatat  ada algae 1500 spesies algae, tumbuhan berspora yaitu yang berupa 80.000 spesies jamur, 595 spesies lumut, 2.197 spesies paku‐pakuan, 30.000 – 40.000 spesies tumbuhan berbiji. Kekayaan spesies flora Indonesia merupakan 15.5% dari total jumlah flora di dunia.

Sedangkan untuk fauna, Indonesia  memiliki 8157 spesies vertebrata, kelas yang terdiri atas  mamalia,burung, herpetofauna dan ikan. Selain itu, terdapat 1900 spesies kupu‐kupu atau 10 % dari jumlah spesies kupu-kupu di dunia.

Indonesia memang dinobatkan sebagai negara megabiodiversity. Keanekaragaman hayati Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia setelah Brazil dan Kongo. Hal ini disebabkan karena bentang alam Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau yang diapit oleh 2 benua yaitu Asia dan Australia yang masing-masing memiliki kekhasan spesies. Selain itu Indonesia juga dikelilingi oleh 2 samudera besar yaitu Samudera Hinda dan Samudera Pacific, yang membuat kekayaan hayati laut Indonesia sangat melimpah.
Terumbu karang di Raja Ampat, Papua akan semakin sehat jika lingkungan daratan di sekitarnya terjaga. Foto: Greenpaece
Terumbu karang di Raja Ampat, Papua akan semakin sehat jika lingkungan daratan di sekitarnya terjaga. Foto: Greenpaece

Posisi geografis tersebut menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman ekosistem yang sangat menakjubkan, sekitar 74 tipe ekosistem yang khas dan membentuk formasi satu dengan yang lainnya yang sangat kompleks. Tipe ekosistem tersebut mulai dari ekosistem laut dalam, laut dangkal, pantai, termasuk padang lamun dan mangrove, ekositem dataran rendah, termasuk hutan dipterocarpa, hutan kerangas, gambut, karst, danau, hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, subalpin hingga alpin. Selain itu eksositem buatan mulai dari  sawah, tegalan, pekarangan, kebun, tambak dan empang. Semua ekosistem buatan juga dihuni oleh ribuan spesies flora, fauna dan mikroba.

Keunikan geologi Indonesia juga menyebabkan tingginya  endemisitas flora, fauna maupun mikroba. Indonesia memiliki endemisitas spesies fauna yang sangat tinggi bahkan untuk beberapa kelompok seperti burung, mamalia dan reptile memiliki endemisitas tertinggi di dunia. Spesies fauna endemik Indonesia antara lain 270 spesies mamalia, 386 spesies burung, 328 spesies reptile, 204 spesies amphibia, 280 spesies ikan.

Meski menjadi megabiodiversity, Indonesia mempunyai beberapa kendala dalam penelitian untuk menemukan spesies baru. Dewi Malia Prawiradilaga, Peneliti Utama LIPI mengatakan kendala tersebut antara lain belum mampunya melakukan tes DNA sendiri, peralatan yang  yang kalah modern dengan negara lain sehingga masih bergantung dengan peneliti asing, dan kurangnya pendanaan untuk penelitian.

Meski begitu, Dewi mengatakan peneliti Indonesia juga berhasil menemukan spesies baru seperti jenis burung punggok togian (Ninox burhani) dan kacamata togian (Zosterops somadikartai).

Penelitian yang bersifat mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia masih perlu untuk ditingkatkan lagi. Hal ini berpijak pada masih adanya temuan-temuan spesies baru dan masih banyak lokasi di Indonesia yang belum diteliti secara menyeluruh.

Maka menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah termasuk para pemangku kepentingan bidang keanekaragaman hayati di Indonesia untuk terus mengungkapkan potensi megabiodiversity yang kita miliki ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,