, ,

Mongabay Travel: Pesona “Perut” Karst Pangkep

Hari itu, Sabtu  (27/12/14), kami menuju Gua Kalibong Alloa, di tebing curam pegunungan karst, Desa Belae, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Ia masuk kawasan Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung. Dalam bahasa setempat Kalibong berarti lubang dan Alo adalah penamaan untuk burung Julang Sulawesi.

Saat tiba di mulut gua, cucuran keringat dan beberapa luka lecet karena goresan batu karst tajam, menjadi tak berarti. Hamparan pemandangan bikin saya terpukau. Kendaraan 4WD yang membawa kami di pinggiran desa, terlihat seperti mainan anak-anak. Sekecil jempol. Hamparan sawah berpetak-petak kecil, seperti buatan anak sekolah dasar saat menggambar. Begitu menyenangkan.

Tiga jam kemudian, semua anggota tim berada di mulut gua. Tiga tenda didirikan dan peralatan masak dikeluarkan. Pukul 16.00 kami memasuki Kalibong Alloa.

Ornamen tirai pengantin. Foto: Eko Rusdianto
Ornamen tirai pengantin. Foto: Eko Rusdianto

Menakjubkan

Desember adalah awal musim hujan di sebagian wilayah Sulsel. Beberapa kali saat berkendara dari Makassar menuju Pangkep, harus berhenti berteduh. “Apakah di gua akan basah dan berair,” kata saya kepada Indra anggota tim lain yang beberapa kali mengunjungi Kalibong.

“Mungkin. Susah menebak. Sepertinya cukup kering,” katanya.

Bagai latihan baris berbaris, satu persatu kami memasuki ceruk gua yang tak begitu luas. Berjalan dengan menenteng kamera, menjaga kepala dari benturan dan memperhatikan pijakan kaki yang mulai licin. Sekitar lima meter, ruangan besar tepat di hadapan, seperti aula sekolah yang menampung ratusan bahkan ribuan murid.

Seakan tak berada dalam gua. Udara tak lembab. Plafon gua di hiasi stalagtit, di dinding-dinding gua ada ornamen gorden, lantai berdiri stalagmit, terdapat danau-danau kecil,  hingga aliran air dari batuan kalsit berkilau.

Yunus Muhammed, Kepala Resort Minasa Te’ne Pangkep Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mengatakan, Kalibong Alloa memiliki panjang 1,2 kimoleter. Salah satu bagian ada rute vertikal sedalam 90 meter.

Rute awal menuju gua Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto
Rute awal menuju gua Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto

Di pertengahan perjalanan kami, Yunus berhenti dan memperkenalkan ornamen yang dinamakan tirai pengantin. Ornamen ini tak lain gorden lebar.  Saat disorot lampu, kilau seperti kristal. Putih bersih.

Pada ujung-ujung masih menetes air  dan membentuk ornamen lain dari dasar lantai gua. Proses inilah yang disebut sebagai karstifikasi. Air hujan yang merembes melalui punggung-punggung karst membuka celah atau retakan dan menyimpan dalam batuan. Perjalanan membentuk ornamen gua, melalui proses kimia dari unsur air (H2O), udara (O2), dan karbon (CO2) yang larut bersama kalsit (CaCO3). Pada dasarnya sama dengan pembentukan karang di bawah laut.

Kami juga menemukan pilar, yakni proses panjang puluhan bahkan ratusan tahun yang menyatukan stalagtit dan stalagmit. Tak hanya satu pilar, ada puluhan.

Kami juga terbalalak menyaksikan aliran kalsit dari plafon gua hingga lantai. “Kami menamakan air terjun beku,” kata Yunus.

Ungkapan itu tak keliru. Aliran-aliran kalsit yang membeku itu seperti gelombang air meliuk mengikuti lekukan tebing. Sangat indah. Putih bak salju. Saya meminta izin memegang dan meraba, seperti parutan kecil kasar.

Empat jam menjelajah perut Kalibong terasa begitu singkat. Kami mencoba mematikan lampu dalam kegelapan. Saat keluar, sudah pukul 20.00. Kami disambut pendar kecil cahaya bintang.

Sebagian rusak

Langkah kami berhenti di aula pertama,  saat menapaki jalan awal gua. Dengan senter kepala, Yunus menyorot puluhan stalagmit patah. Dia menunjuk inti stalagmit berwarna coklat dan mencoba menjelaskan guratan-guratan seperti pada batang pohon.

Salah satu ornamen dalam Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto
Salah satu ornamen dalam Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto

Stalagtit, stalagmit dan beberapa ornamen gua lain, katanya,  adalah langkah awal memprediksi iklim masa lalu. “Jika semua rusak seperti ini,  itu salah satu kecelakaan dalam ilmu pengetahuan.”

Di beberapa bagian gua, terdapat beberapa ornamen rusak. Patahan berhamburan di lantai. “Orang-orang yang mencari bongkahan batu giok. Mereka menghancurkan dan mencari inti batuan, padahal ornamen gua yang dibentuk air itu sangat rapuh.”

“Saya kira dibentuk bagaimanapun, inti ornamen gua itu bukanlah hiasan untuk manusia. Ornamen adalah hiasan gua, menjaga kelembaban dan menyimpan misteri ilmu pengetahuan,” ucap Yunus.

Siti Chadidjah, Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, yang ikut rombongan mengatakan, akan menjaga dan melindungi gua-gua kawasan ini. “Ada usulan membuat tangga menuju Kalibong,  saya kira itu tak penting.”

Menurut dia, membuka akses dengan membangun anak tangga akan membuat kunjungan berlebihan. Padahal, ada banyak kemungkinan, kelembaban dan biota gua bisa terganggu. “Coba bayangkan, rute terjal dan susah seperti ini saja, gua sudah dijamah dan mulai rusak.”

Pukul 09.00, diskusi kami usai di mulut Kalibong. Sarapan, kopi dan gelas-gelas teh sudah habis terteguk melewati kerongkongan. Kami bersiap kembali dan melewati jalur terjal. Satu persatu dipandu menggunakan tali.

Di tebing ini, bagi penjelajah pemula, harus abseil – meluncur turun dengan menapak tebing menggunakan tali – seseorang di bagian bawah lain bertugas sebagai bilayer (mengatur laju penurunan).

Saat kami tiba di pinggiran desa, semua bergegas membersihkan sepatu dari lumpur. Meski kelelahan, semua bersuka cita.

Salah satu rute menuju gua Kalibong Alloa. Foto: dokumentasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Salah satu rute menuju gua Kalibong Alloa. Foto: dokumentasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Yunus (paling kanan) menjelaskan inti stalagmit di depan bongkahan yang dirusak para pencari batu giok. Foto: Eko Rusdianto
Yunus (paling kanan) menjelaskan inti stalagmit di depan bongkahan yang dirusak para pencari batu giok. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,