, , ,

Tolak Reklamasi Teluk Benoa, ForBali Surati Menteri Susi dan Kepala Bappenas

Mengawali 2015, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) mengirim surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan,  Susi Pudjiastuti dan Menteri Perencanaan Pembangunan Negara/Kepala Bappenas Adrinof Chaniago pada Senin (5/1/15).

Surat juga ditembuskan ke Presiden Joko Widodo dan kementrian terkait yang memegang peran kunci atas penerbitan izin lokasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam surat ini,  Susi diminta menghentikan segala proses perizinan dan mendorong Jokowi membatalkan Perpres 51 tahun 2014 yang memberikan lampu hijau pada investor buat reklamasi.

“Harus diwujudkan kebijakan konservasi di Teluk Benoa demi terpelihara kebudayaan maritim selaras lingkungan hidup,” kata Direktur Walhi Bali,  Suriadi Darmoko.

Sedang surat buat Adrinof Chaniago,  ForBali meminta penghapusan rencana reklamasi di Teluk Benoa dari perencanaan pembangunan nasional dan mencoret di skema Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Rencana reklamasi ini berkedok revitalisasi dengan membuat mega proyek wisata.”

Dalam Perpres sebelumnya, No 45 tahun 2011, Teluk Benoa termasuk kawasan konservasi perairan hingga tak boleh direklamasi. Kawasan ini perairan dangkal dengan ekosistem unik dan menjadi muara lebih dari lima sungai.

Ekosistem unik dengan hutan bakau, padang lamun, dan biota laut lain menjadi sumber penghasilan dan lokasi mancing para nelayan. Keunikan ini juga menarik investor untuk mengelola kawasan.

Kawasan ini, subur industri jasa wisata air yang dikembangkan warga di Tanjung Benoa. Sedikitnya empat banjar sejak awal menolak rencana reklamasi. Pengelolaan pariwisata berbasis desa dan kolektif diyakini lebih baik dibanding pengelolaan eksklusif oleh kelompok usaha tertentu.

Suriadi mengharapkan, Menteri Susi dan Presiden Jokowi mencermati proses perubahan kebijakan memuluskan reklamasi ini. Awalnya, muncul di skema MP3EI dengan mengubah peruntukan Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi budidaya-zona penyangga hingga bisa direklamasi seluas 700 hektar. Inilah yang dituangkan SBY dalam Perpres 51/2014.

Padahal, sebelumnya sejumlah regulasi tak memungkinkan reklamasi di Teluk Benoa. Selain Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita juga Peraturan Menteri KKP No 17/2013 tentang perizinan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satu ayat menyebut reklamasi tak bisa dilakukan dalam kawasan konservasi.

Namun, perpres baru menjadi legitimasi investor dan mendapat izin lokasi dari Menteri KKP yang lalu Sharif C. Sutardjo. Saat ini, proses berlanjut dengan penyusunan dokumen Amdal di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Ini mengabaikan penolakan masyarakat,” kata Arya Ganaris, Direktur Yayasan Manikaya Kauci.

Ganaris menyoroti, konsultasi publik tertutup dalam penyusunan Amdal. “Akses informasi terbatas karena dua kali konsultasi publik cenderung tak mengundang pihak kontra.”

Suriadi Darmoko, Direktur Walhi Bali menunjukkan surat yang dilayangkan kepada dua menteri Jokowi. Foto: Luh De Suryani
Suriadi Darmoko, Direktur Walhi Bali menunjukkan surat yang dilayangkan kepada dua menteri Jokowi. Foto: Luh De Suryani

Survei kuatkan penolakan

Sebuah survei pada September lalu, peneliti menemukan 64% penduduk Kabupaten Badung menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa. Sekitar 9% warga setuju dan 27% tidak tahu.

Angka ini didapatkan dari wawancara 430 responden dalam penelitian kuantitatif metode multistage random sampling oleh Kadek Dwita Apriani, dosen muda perempuan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Udayana. Inisiatif survei dari diri sendiri.

“Ini survei opini publik terkait rencana reklamasi, karena biasa hanya untuk politik seperti pilkada. Yang tak turun ke jalan juga harus kita cek sikapnya,” kata Dwita.

Penduduk Badung, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 589 ribu jiwa. Sebanyak 430 responden tersebar proporsional di enam kecamatan. Makin ke selatan, warga menolak makin tinggi. Dwita menyimpulkan, karena lokasi reklamasi di Badung Selatan.

Warga tidak setuju reklamasi menyebutkan masalah utama di Badung masih banyak. Berturut-turut dari besaran persentase adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ketimpangan Badung Utara dan Selatan, penduduk pendatang yang tak tertata, lapangan kerj, dan masalah lingkungan seperti banjir.

Sedang yang setuju reklamasi sekitar 9% itu menyebut masalah terbesar Badung adalah infrastruktur seperti transportasi dan kondisi jalan, ketimpangan utara dan selatan, pendidikan, dan lain-lain.

“Kami tak menanyakan alasan kenapa mereka setuju karena ini penelitian kuantitatif. Itu bisa tergali dari penelitian kualitatif.”

Menurut dia, syarat survei bisa jalan jika transformasi informasi berjalan. Dari 79% responden yang mendengar atau tahu isu reklamasi ini, paling banyak mengetahui dari media online, sosial media, koran, dan obrolan komunitas.

Dwita berharap,  bisa meluaskan responden ke seluruh kabupaten agar lebih komprehensif. “Saya tak perlu takut sepanjang untuk kepentingan publik. Ini seperti cermin pro kontra masalah asalkan tak terpusat di oligarki, perselingkuhan penguasa dan pengusaha.”

Peta perbandingan antara kedua Perpres. Sumber: ForBali

Dari reklamasi Serangan sampai integritas peneliti

A.A Ngurah Anom Kumbara, guru besar dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, mengatakan, Bali tak bisa mengabaikan pariwisata tetapi harus berkualitas sesuai wilayah. Saat ini,  dari kajian sosial, Badung Selatan sudah tak layak karena kelebihan daya tampung. “Pariwisata budaya jangan hanya normatif, pelestarian pertanian jangan hanya jadi pendukung.”

Dia mengingatkan, reklamasi di Pulau Serangan yang membuat pulau menyatu dengan Pulau Bali dan ditambah luasan menjadi empat kali lebih besar. “Sekarang Serangan malah jadi (kawasan) marjinal, nanti bisa terulang lagi kekerasan ekonomi, struktural, dan lain-lain karena daya dukung Bali terbatas.”

Reklamasi di Serangan sekitar 1995-1998, yang akan disulap menjadi resor mewah namun sampai kini terbengkalai. Sedang ekosistem kadung rusak dan warga beralih lapangan pekerjaan. Lebih dari 15 tahun, warga Serangan masih berkutat memperbaiki pesisir. Sebagian besar daratan hasil reklamasi masih gersang berkapur karena menjadi lahan mangkrak yang dimiliki, PT BTID.

Kumbara menceritakan, sebelum reklamasi warga bisa mendapat uang sekitar Rp15.000 dari mancing ikan selama dua jam. Nilai ini besar ketika itu. Umpan ikan seperti udang kecil mudah didapatkan di hutan-hutan bakau sekitar.

Pesisir Serangan dan Teluk Benoa berdampingan. Tak heran, warga mengambil contoh ini sebagai refleksi.

Kumbara yang menjadi salah satu tim peneliti di Lembaga Pengembangan dan Penelitian Masyarakat Unud (LPPM) menyebut Unud sudah resmi menyatakan hasil penelitian pendahuluan tentang reklamasi tidak layak. Ini merevisi hasil tim kecil LPPM sebelumnya yang mendapat dana dari investor kala pemetaan awal.

Namun investor menunjuk peneliti luar Bali. Hasil studi baru disampaikan oleh pimpinan peneliti dari IPB Prof Dietriech Geoffrey Bengen. Pria ini menyimpulkan revitalisasi (mengganti istilah reklamasi) ideal dilakukan 700 hektar dengan 40% ruang terbuka hijau.

Akademisi lain dari Unud, Anom Wiranatha mengatakan, sah-sah saja ada penelitian berbeda. “Kita harus berpihak pada kepentingan publik dibanding kepentingan modal. Kalau hanya karena bayaran, akan kehilangan integritas.”

Perbandingan Perubahan Perpres Serbagita

Sumber: presentasi perusahaan
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,