,

Akibat Tambang Produksi Pertanian Berkurang

Tambang batubara yang beroperasi di daerah Makroman, Kecamatan sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, telah menghancurkan lahan pertanian masyarakat. Foto: Yutinus S. Hardjanto

“Dimana lagi kami bisa makan kalau bukan dari bertani dan menanam padi. Kedatangan perusahaan tambang batubara telah membuat hidup kami semakin tak menentu”

Pernyataan Noorbaeti, petani asal Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur itu, menjadi pembuka laporan penelitian tentang tambang dan pangan di Kota Samarinda. Penelitian yang dilakukan Abdallah Naem untuk program keterbukaan informasi di sekitar wilayah pertambangan dari Forum Himpunan Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) ini didukung oleh Yayasan Tifa, Jakarta.

Abdallah Naem menyebutkan, isu pangan merupakan keprihatinan karena ada kecenderungan lahan untuk memproduksi pangan mengalami penurunan. Pun demikian yang terjadi di Kota Samarinda, lahan pertanian produktif berkurang akibat kebijakan pemerintah terkait industri ekstraktif.

“Jumlah rumah tangga pertanian di Kota Samarinda selama 10 tahun terakhir turun hampir 50%” ujar Naem.

Menurunnya jumlah rumah tangga pertanian ini berkorelasi dengan produksi beras di Kota Samarinda.  Tahun 2011  produksi beras di Kota Samarinda adalah 18,890 ton dan setahun kemudian, 2012, jumlahnya menyusut menjadi 15,072 ton.

“Produksi beras Samarinda hanya mampu memenuhi kurang lebih 30% dari kebutuhan warganya, sisanya dari kabupaten sekitar dan bahkan dari Sulawesi,” papar Naem.

Terkait soal pangan, Erwin Dharmawan dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Kalimantan Timur menerangkan bahwa pangan bukan hanya beras.  Sebab, kita tidak hanya makan nasi, tetapi juga aneka sayur dan lauk.

“Jika mengacu pada produksi bahan kebutuhan pokok maka Kota Samarinda hanya mampu menyediakan 3% dari apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya,” terang Erwin.

Menurut Erwin, banyak lahan pertanian, baik sawah maupun kebun dan juga kolam di Kota Samarinda dialiri oleh air yang berasal dari tambang batubara. Dengan demikian, hasil panenan atau budidaya pertanian mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia.

“Kandungan zat yang berbahaya itu mungkin masih di bawah ambang batas sebagaimana ditentukan oleh otoritas kesehatan, namun jika terakumulasi pasti ada dampaknya,” ujar Erwin.

Swasembada beras dan derita petani

Ali Yasir Pilipus, Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kota Samarinda dalam kesempatan terpisah menyatakan bahwa luas lahan dan jumlah penduduk Samarinda memiliki potensi untuk mewujudkan swasembada pangan.

Namun, Zulkarnaen, Akademisi dari Universitas Mulawarman membantah soal kemungkinan swasembada pangan tersebut. Menurutnya, swasembada sulit dicapai karena tidak ada strategi kebijakan dan strategi operasional yang komprehensif dari pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan.

“Perda No 1 tahun 2013, tentang Perlindungan Pangan misalnya, tidak ditindaklanjuti oleh peraturan di tingkatan kabupaten dan kota,” ujar Zulkarnaen.

Menurutnya, hanya Kabupaten Kutai Kartanegara yang kemudian menerbitkan peraturan bupati tentang perlindungan tanah pertanian. “Tapi, praktiknya di lapangan siapa yang tahu, siapa yang bisa menjamin bahwa petani tidak akan menjual lahannya kepada perusahaan tambang batubara?”.

Fakta bahwa tanah pertanian kemudian beralih ke pertambangan diungkap oleh Niti Utomo, petani dari Makroman. Menurutnya perusahaan selalu mempunyai cara sehingga petani mau tak mau melepas lahannya ketimbang banyak mengalami kerugian.

“Dibanding 15 tahun yang lalu, petani sekarang lebih moderen dan hasilnya juga semakin banyak. Namun disaat petani mulai menikmati hasilnya, justru diganggu oleh lumpur perusahaan tambang,” terang Niti.

“Siapa yang bisa bertahan kalau setiap bertanam terkena lumpur tambang?” tanyanya.

Pernyataan serupa juga dikemukakan Sutrisno, petani asal Palaran. Menurutnya, kebun buah yang dirawat selama sepuluh tahun terakhir terancam oleh keberadaan tambang. Mirisnya, kebun buah dan sawahnya sudah berada di bibir tambang dan terancam longsor.

“Ibarat menabung, satu tahun terakhir ini kami tak bisa menikmati dan bahkan terancam kehilangan tabungan itu,” kata Sutrisno.

Sawah masyarakat dan kegiatan tambang hanya dibatasi lubang menganga yang itu juga lubang pengerukan batubara. Foto: Rahmadi Rahmad

Padahal, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Samarinda 2005 s/d 2015 telah disebutkan :

Mendayagunakan SDA yang terbarukan. SDA terbarukan seperti hutan, pertanian, perikanan dan perairan harus dikelola dan dimanfaatkan secara rasional, optimal, efisien dan bertanggungjawab dengan mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. Pengelolaan SDA terbarukan yang sudah berada dalam kondisi kritis, diarahkan pada upaya untuk merehabilitasi dan memulihkan daya dukungnya, dan selanjutnya diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan sehingga tidak semakin merusak dan menghilangkan kemampuannya sebagai modal bagi pembangunan yang berkelanjutan.

“Namun semua ini tidak terbukti,” tegas Naem.

Daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan di Kota Samarinda seperti Makroman, Lempake, Mugirejo, Lubuk Sawah dan Palaran terus digerus oleh aktivitas tambang batubara. Sumber-sumber mata air yang secara tradisional mengaliri lahan pertanian hilang akibat hilangnya perbukitan sebagai tempat penyimpan air. Di Makroman, petani dan peternak ikan terpaksa mengaliri sawah dan kolamnya dengan air yang berasal dari lubang tambang.

“Petani, sebagai pejuang ketahanan pangan dibiarkan berjuang sendiri melawan korporasi yang beroperasi atas izin pemerintah daerah. Seolah, pemerintah daerah lebih memilih panen batubara dibanding beras dan sumber pangan lainnya,” ujar Naem.

Di akhir paparannya, Abdallah Naem mengingatkan pemerintah daerah Kota Samarinda terkait putusan pengadilan atas gugatan Citizen Lawsuit yang berhasil dimenangkan warga Kota Samarinda.  Dalam putusan yang dibacakan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Samarinda, 16 juli 2014, pemerintah Kota Samarinda dinyatakan lalai dalam pengelolaan lingkungan hidup di Kota Samarinda.

“Keputusan itu seharusnya merubah perilaku kebijakan Pemerintah Kota Samarinda sehingga lebih memilih pangan ketimbang batubara,” pungkasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,