,

PT NSP Dituntut Rp 1,4 Triliun Untuk Pulihkan Lahan Akibat Karhutla

Pengadilan Negeri Bengkalis, Riau menggelar sidang lanjutan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) oleh PT Nasional Sago Prima (PT NSP) pada Selasa (13/01/2015) dengan agenda pembacaan tuntutan. PT NSP disidangkan karena diduga membakar lahan di lima desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang menghanguskan lahan seluas 21.418 hektar.

Dalam sidang yang dipimpin Sarah Louis, Renny Hidayati dan Melki Salahuddin, Jaksa Penuntut Umum Eriza menuntut PT NSP diwakili Direktur Utama Eris Ariaman denda Rp5 miliar, dan pidana tambahan Rp1,4 Triliun untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Sedangkan terdakwa kedua, Erwin selaku General Manajer PT NSP dituntut enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Sedangkan terdakwa ketiga Nowo Dwi Priyono selaku Manajer PT NSP  dituntut 18 bulan penjara, dan denda Rp1miliar.

Tuntutan jaksa, berdasarkan pada fakta persidangan antara lain karhutla di areal PT NSP berdasarkan pengamatan dan peninjauan lokasi yang dilakukan saksi ahli, Bambang Hero Saharjo pada 9 dan 10 Maret 2014 telah menghanguskan seluas sekira 3000 ha lahan PT NSP.

Pembakaran itu melepaskan berton-ton gas rumah kaca hingga menimbulkan kabut asap yang tidak hanya dialami oleh areal setempat, juga dirasakan oleh  masyarakat Riau,  dan propinsi sekitarnya, bahkan juga negara tetangga jiran seperti Singapura dan Malaysia .

Di Kota Pekanbaru akibat kabut asap data yang tercatat pada ISPU (indeks standar pencemar udara) menunjukan warna hitam (sangat berbahaya). Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Riau melalui siaran pers pada waktu itu menyatakan oksigen yang terkandung dalam udara hanya tertinggal beberapa persen. Jumlah pasien penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang dirawat di rumah  sakit meningkat sangat signifikan akibat kabut asap.

Jarak pandang yang sudah terlalu dekat akibat kabut asap telah menghambat jalur transportasi udara, laut dan udara sehingga berimplikasi terhadap terhambatnya jalannya perekonomian.

Pelepasan berton-ton gas-gas rumah kaca yang dihasilkan selama pembakaran berlangsung di areal PT NSP seluas 3000 ha telah melewati batas ambang terjadinya pencemaran, yang berarti bahwa gas-gas yang dihasilkan selama pembakaran telah mencemarkan lingkungan di lahan terbakar dan sekitarnya.

Akibat kebakaran lahan dan hutan lainnya menurut saksi ahli, Basuki Wasis, peneliti perusakan tanah akibat kebakaran hutan dan lahan, telah masuk kriteria baku kerusakan, yakni kerusakan sifat kimia tanah, sifat biologi tanah, sifat fisik tanah  dan aspek flora dan fauna. Hasil analisa tanah juga menunjukan tanah tersebut terbakar, dengan ditunjukan terjadinya peningkatan kadar Ca, dan Mg tanah.

Fakta kedua, karhutla di lahan PT NSP juga mengakibatkan hutan alam berupa reparian yang didominasi pepohonan kayu-kayu alam ikut terbakar seluas 130 ha dari luasan reparian 550 ha .

Fakta ketiga, bahwa kegiatan HTI Sagu PT NSP tanpa izin menteri. Kegiatan di pabrik dalam kawasan hutan,  hanya didasari alas hak berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dikeluarkan oleh Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) setempat. Padahal yang berhak mengeluarkan perizinan di dalam penggunaan kawasan hutan adalah Menteri Kehutanan.

Fakta keempat, kegiatan PT NSP tanpa memiliki AMDAL izin lingkungan, karena masih memakai AMDAL PT National Timber Forest Product. AMDAL PT NSP baru diurus  terdakwa Erwin  pada 10 Juni 2014 atau setelah Erwin jadi tersangka.  “Sehingga semakin terang PT NSP tidak memiliki Dokumen AMDAL, RKL dan  RPL,” kata Eriza.

Penuntut umum mendasari tuntutannya setelah memeriksa 34 saksi fakta, 4 ahli dan keterangan ahli meringankan terdakwa.

Penuntut Umum berkesimpulan para terdakwa telah melanggar Pasal 98 ayat (1) Jo Pasal 116 ayat (1) huruf b UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 50 ayat (3) huruf d Jo Pasal 78 ayat (3) UUNomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 92 ayat (1) huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b UU 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Pasal 109 Jo Pasal 36 ayat (1) Jo Pasal 116 ayat (1) huruf b UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sidang kasus kebakaran hutan dan lahan PT Nasional Sago Prima (PT NSP) dengan terdakwa Erwin, General Manajer PT NSP (batik biru, dua dari kanan) dan  Nowa Dwi Priono, Manajer PT NSP (paling kanan)di Pengadilan Negeri Bengkalis, Riau pada Selasa (06/01/2015). Foto : Made Ali.
Sidang kasus kebakaran hutan dan lahan PT Nasional Sago Prima (PT NSP) dengan terdakwa Erwin, General Manajer PT NSP (batik biru, dua dari kanan) dan Nowa Dwi Priono, Manajer PT NSP (paling kanan)di Pengadilan Negeri Bengkalis, Riau pada Selasa (06/01/2015). Foto : Made Ali.

Jaksa juga menuntut terdakwa Erwin dan Nowo Dwi Priyono terkait PT NSP tak memiliki izin penyimpanan limbah B3, sehingga pasal pasal 103 jo pasal 116 ayat (1) huruf (b) dan ayat (2) UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Koalisi LSM Desak PT NSP Dihukum Berat

Koalisi LSM yang terdiri atas Jikalahari, Walhi Riau, WWF-Indonesia Program Riau dan Riau Corruption Trial meragukan komitmen majelis hakim Sarah Louis, Renny Hidayati dan Melki Salahuddin. “Hasil telusuran kami, ketiga hakim tersebut tidak bersertifikat lingkungan hidup,” kata Boy Sembiring, Koordinator Koalisi di Pekanbaru, pada Senin (19/01/2015).

Boy merujuk pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan. “Pasal 5 jelas menyebut Perkara Lingkungan Hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup,” lanjut Boy.

Majelis hakim tersbut juga tidak aktif menggali fakta-fakta sesungguhnya yang telah terjadi dan terkesan memberikan salah satu pihak yang tengah berperkara yaitu penasehat hukum OC Kaligis ketika tiba di PN Bengkalis berada dalam posisi yang istimewa.

“Majelis hakim juga memenuhi permintaan penangguhan penahanan atas nama terdakwa Erwin, ini salah satu indikasi keistimewaan lainnya. Kami sudah melapor ke Komisi Yudisial Riau terkait indikasi pelanggaran kode etik prilaku hakim,” kata Boy.

Dalam menangani perkara lingkungan hidup para hakim harus bersikap progresif, karena perkara lingkungan hidup sifatnya rumit dan banyak ditemui adanya bukti ilmiah. “Oleh karenanya hakim lingkungan haruslah berani menerapkan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain prinsip kehati-hatian dan judicial activism,” kata Boy mengutip pedoman perkara lingkungan hidup.

Koalisi menimbang bahwa bukti ilmiah berdasarkan keterangan ahli Prof Ahli Bambang Heru Saharjo dan Dr Basuki Wasis yang dihadirkan saat persidangan bisa dijadikan bukti kuat.

Hasil pantauan sidang dan hasil investigasi Walhi Riau seluas 3000 dari 21.418 ha lahan PT NSP terbakar. “Bukan itu saja, bagaimana dengan lahan warga Sungai Tohor yang terbakar akibat percikan api PT NSP? PT NSP harus segera mengganti kerugian lahan sagu warga,” kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau.

“Apalagi gambut yang telah terbakar telah merusak salah satu ekosistem terbaik milik Riau di Kepulauan Meranti. Pembukaan gambut dan kebakaran yang terjadi telah melepas banyak cadangan karbon dan asapnya merusak kesehatan manusia. Bahkan, flora dan fauna yang mati akibat terbakar belum sempat teridentifikasi,” kata Afdhal dari WWF Riau.

“Kami mendesak kepada majelis hakim, agar lingkungan hidup bisa diperbaiki dengan segera, hukumlah PT NSP dan terdakwa lainnya dengan seberat-beratnya, agar menjadi catatan untuk anak cucu kita kelak bahwa ada hakim baik yang berpihak pada penyelamatan lingkungan hidup di Riau,” kata Muslim Rasyid

Koalisi memberi apresiasi kepada Kejaksaan Tinggi Riau karena berhasil menuntut terdakwa PT NSP dengan pidana denda Rp 5 Miliar, pidana tambahan perbaikan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan lahan PT NSP senilai Rp 1,4 Triliun.

“Kami juga memberi apresiasi pada Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau yang berhasil membuktikan bahwa institusi penegak hukum punya komitmen menyelamatkan lingkungan hidup di Riau,” kata Muslim Rasyid Koordinator Jikalahari, sebab mereka berhasil membuktikan bukan saja areal PT NSP terbakar, ternyata PT NSP juga tak punya Amdal atau Izin Lingkungan, pabrik PT NSP juga tak punya izin penyimpanan limbah Bahan Berbahya dan Beracun (B3) berupa pelumas bekas. “Ini bukti PT NSP tidak punya komitmen menjaga lingkungan hidup dari kerusakan. Mereka hanya berpikir untung dan untung,” kata Muslim Rasyid.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,