,

Mengapa Konflik Manusia dengan Gajah Terus Terjadi di Bener Meriah? Ini Ulasannya

Konflik manusia dengan gajah di Bener Meriah, terus terjadi. Tercatat, 4 warga meninggal dalam 3 tahun belakangan ini. Terakhir, seorang ibu rumah tangga bernama Husna (38 tahun) tewas diserang gajah Sabtu malam (24/1/2015), di Desa Musarapakat, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.

Suherry dari Yayasan Penyelamat Satwa Bener Meriah ketika dihubungi Senin (26/1/2015), menyebutkan bahwa saat ini hutan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Peusangan yang menjadi habitat gajah telah dirambah untuk perkebunan, dalam tiga tahun terakhir.

Dulu, pemerintah berencana membuka kebun tebu di sana. Namun batal, dan sekarang hutan terlanjur rusak. Sementara aktivitas penebangan kayu di hutan dengan mesin chainsaw cukup menganggu gajah, sehingga kawanan satwa berbadan besar ini terusik karena bising. Akibatnya, sekitar 20 ekor gajah terisolasi di sekitar Desa Alur Gading, Desa Negeri Antara dan Desa Singgah Mulu yang ada di Kecamatan Pintu Rime Gayo dan Timang Gajah. Gajah-gajah ini yang menyerang warga sehingga ada yang tewas.

“Gajah-gajah itu sudah delapan bulan menetap. Biasanya, paling lama mereka datang hanya dua bulan saja, kemudian kembali ke arah Gunung Goh di Kabupaten Bireuen,” kata Suherry.

Sayang, koridor gajah ke arah Gunung Goh terputus akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan. Menurut Suherry, gajah-gajah itu tidak mungkin lagi digiring ke arah Gunung Goh. “Mereka sekarang mencoba mencari jalan melalui Kabupaten Aceh Tengah untuk masuk ke Hutan Panton Lah di sekitar Geumpang yang masih luas.”

Kawasan DAS Peusangan di perbatasan Bener Meriah dan Bireuen yang sudah hilang hutannya karena sawit. Foto: Chik Rini
Kawasan DAS Peusangan di perbatasan Bener Meriah dan Bireuen yang sudah hilang hutannya karena sawit. Foto: Chik Rini

Fakhruddin dari Institute Redelong Aceh mengatakan, habitat gajah di Bener Meriah harusnya terhubung baik dengan hutan di Bireuen, Aceh Utara, dan Pidie Jaya. Namun, dengan semakin rusaknya kawasan hutan di DAS Krueng Peusangan, konflik gajah dan manusia mencapai puncaknya dalam setahun terakhir ini.

“Pemerintah telah membiarkan kerusakan kawasan hutan ini. Sehingga, konflik manusia dan gajah semakin hebat karena perebutan lahan,” kritiknya.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bener Meriah terakhir yang membuka perkebunan kentang dan palawija hingga terjadi perambahan hutan lindung ribuan hektar, telah memutus koridor gajah di Rebol Linung Bulen, sebuah sumber mata air penting di Bener Meriah. Ini merupakan koridor gajah yang menghubungi DAS Peusangan dan DAS Jambo Aye yang ada di perbatasan Bener Meriah dan Aceh Utara.

DAS Krueng Peusangan

DAS Krueng Peusangan merupakan DAS prioritas pertama di Provinsi Aceh. Ada empat kabupaten yang masuk wilayah perlintasannya yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara. Sekitar satu juta orang tinggal di kawasan tersebut yang merupakan sentra industri dan pertanian di Aceh. DAS Peusangan juga menghubungkan ekosistem Ulu Masen dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang tentunya sangat penting sebagai koridor alam bagi hutan Aceh.

Kawasan ini sebagian besar merupakan pegunungan, sehingga kawasan landai yang bisa dimanfaatkan sebagai lahan budidaya tergolong kecil, terutama di Bener Meriah. Salah satu kawasan yang sekarang dimasuki manusia adalah lembah Krueng Peusangan yang merupakan koridor satwa seperti gajah dan harimau sumatera.

Inilah lembah Krueng Peusangan. Foto: Chik Rini
Inilah Lembah Krueng Peusangan. Foto: Chik Rini

Koordinator Forum DAS Krueng Peusangan, Suhaimy Hamid, membenarkan kerusakan DAS Peusangan di bagian tengah dan hilir sudah parah. Dampak yang paling terasa selain meningkatkan frekuensi bencana alam seperti banjir adalah konflik manusia dengan gajah di Bireuen dan Bener Meriah,  yang tidak hanya memakan korban jiwa tetapi juga dan menyebabkan kerugian materi karena lahan yang dirusak.

Kawasan konflik gajah dan manusia  di kedua kabupaten ini mencakup Pantai Peusangan, Panton Lah, Pintu Rime Gayo dan Timang Gajah dimana kawasan ini menjadi habitat penting gajah sumatera.

“Kami mendesak koridor gajah yang sudah dijadikan perkebunan sawit bisa dikembalikan fungsinya seperti semula. Pemerintah harus segera membebaskan lahan-lahan perkebunan sawit milik perusahaan yang terlanjur diberikan perizinannya.”

Menurut Suhaimy yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bireuen, keberadaan kebun kelapa sawit di sekitar koridor gajah di Bireuen dan Bener Meriah telah menyengsarakan rakyat. Kebun rakyat yang luasnya tak lebih dua hektar itu justru lebih sering diserang gajah ketimbang lahan perusahaan yang sudah dilengkapi parit besar sebagai penghalang masuknya gajah.

Ada masalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukan Lembah Krueng Peusangan di Bener Meriah dan Bireuen. Kawasan yang harusnya dilindungi karena karakteristik alamnya merupakan koridor satwa justru dijadikan lahan budidaya. “Akibatnya, kepentingan satwa dan manusia saling berbenturan,” ujar Suhaimy.

Yakob Ishadamy, Direktur Strategic Resources Initiative (SRI) mengatakan, sebagian besar jalur jelajah gajah saat ini berada di luar habitat lindung. Indikasi ini terjadi karena rusaknya hutan  dan berkurangnya ketersediaan pakan. Ditambah lagi, aktivitas manusia di kawasan hutan yang tinggi.

Menurut Yakob, permasalahan ini harus dicarikan solusi. Misal, adanya kesepakatan mengenai koridor satwa atau pengalokasian wilayah skala besar untuk satwa yang dilindungi di Lembah Krueng Peusangan, sebagai turunan Tata Ruang Wilayah Aceh dan Kabupaten Bener Meriah.

“Selain itu, perlu juga dilakukan pemulihan habitat dan kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar,” ujar Yakob.

Seekor gajah liar terlihat memasuki kawasan perkebunan warga di Bireuen. Foto: Nazar
Seekor gajah liar terlihat memasuki kawasan perkebunan warga di Bireuen. Foto: Nazar

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,