,

Rejang Yang Berjuang Untuk Mendapat Pengakuan Hutan Adat

Selain masyarakat adat Rejang, masyarakat adat di pulau Enggano Bengkulu, juga sedang mendorong pengakuan hutan adat yang dimungkinkan lewat aturan yang ada dalam hukum negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/2012 telah membuka ruang bagi pengakuan kawasan hutan adat. Lewat keputusan tersebut kawasan hutan tidak lagi merupakan hutan negara semata, tetapi juga diakomodasi bagi hutan adat. Demikian pula, Undang-Undang nomor 6/2014 tentang Desa telah membuka peluang bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat.

Di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, masyarakat hukum adat Rejang telah melakukan pemetaan partisipatif di tiga wilayah desa, Embong Uram, Embong I dan Kota Baru untuk memetakan wilayah adat yang sejak tahun 1982 dinyatakan masuk menjadi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Berdasarkan pemetaan partisipatif, luas wilayah Embong Uram yang masuk TNKS adalah 1.517 hektar (88,6% total wilayah desa), Embong I seluas 1.072 hektar (89,2%) dan Kota Baru seluas 698 hektar (82,2%).

“Masyarakat hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sejak wilayah atau hutan adat Rejang di Kabupaten Lebong dengan total seluas 111 ribu hektar ditetapkan sebagai bagian kawasan TNKS pada 1982 berbagai tindakan represif terus dialami masyarakat,” jelas Erwin, Direktur Yayasan Akar yang mendampingi dalam pemetaan partisipatif ini.

Penetapan TNKS seluas 1.484.500 hektar berawal dari Surat Menteri Pertanian nomor 736/Mentan/X/1982 yang mencakup wilayah empat propinsi, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Kemudian direvisi lewat SK Menteri Kehutanan nomor 192/Kpts-II/1996 menjadi 1.386.000 hektar, dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 901/Kpts-V1999 akhirnya menjadi 1.375.349, 867 hektar.

Khusus di Bengkulu, luas kawasan TNKS adalah 340.575 hektar mencakup tiga wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu Utara, Mukomuko dan Lebong atau 35,8% dari luas total hutan Provinsi Bengkulu 920.964 hektar. Adapun luas kawasan TNKS di Kabupaten Lebong adalah 111.035 hektar atau 57 % dari luas wilayah Lebong, yakni 192.924 hektar.

Keberadaan masyarakat adat Rejang telah tercatat dalam buku The History of Sumatra yang ditulis oleh William Marsden yang terbit tahun 1783. Sedangkan upaya pendokumentasian hukum adat Rejang pertama kali dilakukan oleh Guru Besar Hukum Islam dan Adat, Hazairin dalam buku De Redjang yang terbit pada tahun 1936.

“Sampai sekarang, aturan-aturan mengenai wilayah dan hutan adat Rejang yang diwariskan oleh nenek moyang masih diakui dan ditaati. Ketaatan itu dilakukan secara spontan otomatis. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum negara pada wilayah adat Rejang tidaklah membuat masyarakat meninggalkan atau melupakan hukum masyarakat adat, salah satu contohnya menyangkut hutan larangan dan cadangan,” kata Erwin.

Saat diminta konfirmasinya, M. Mahfud, Kepala Seksi TNKS Wilayah VI yang membawahi wilayah ini, menyebutkan sejarah penetapan TNKS berada pada wilayah kawasan hutan di Lebong (dulu masuk wilayah Kabupaten Rejang Lebong), dimana kawasan TNKS adalah kawasan Boschwezen (BW) yang ditetapkan pemerintahan Belanda pada 1932.

“Saya belum pernah baca referensi yang menyebutkan atau menyatakan kawasan TNKS di Lebong itu merupakan wilayah atau tanah adat,” kata Mahfud, Sabtu (24/1/2015).

Pada awal 2014, menurut Mahfud, Kantor Seksi TNKS Wilayah VI sempat didatangi anggota Komnas HAM. Kala itu, Komnas HAM menanyakan soal tanah adat Rejang yang masuk dalam kawasan TNKS. Salah satu desa yang disebutkan adalah Desa Embong Uram.

Mahfud menambahkan, tidak sedikit masyarakat yang mengaku masyarakat adat yang mengklaim suatu kawasan sebagai wilayah/hutan adat dan berupaya untuk mengeluarkan wilayah/hutan adat dari hutan negara agar bisa dikelola oleh masyarakat adat. Menurutnya, proses ini harus dicermati secara hati-hati, jangan sampai memicu perubahan status hutan adat menjadi hak milik yang selanjutnya dapat diperjualbelikan kepada orang yang bukan anggota masyarakat adat, atau dijual kepada sejumlah pemilik modal yang memanfaatkan keberadaan masyarakat adat untuk memuluskan kepentingannya.

“Umumnya, pihak yang merambah dan merusak hutan adalah pendatang dan bukan warga setempat. Dampak negatif dari perambahan tentu akan mengenai masyarakat setempat. Jadi, untuk mencegah perambahan atau mengurangi dampaknya, masyarakat setempat perlu strategi yang tepat. Bekerjasama dengan TNKS merupakan strategi yang bisa dilakukan masyarakat,” ujar Mahfud.

Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengatakan, inisiatif yang dilakukan Masyarakat Hukum Adat Rejang dan Enggano tersebut perlu didukung bila persyaratan sebagai masyarakat hukum adat sebagaimana yang tertuang dalam aturan sudah lengkap atau dipenuhi. Persyaratan yang dimaksud diantaranya kelembagaan adat, hukum adat, dan wilayah adat.

“Pengakuan masyarakat hukum adat, wewenangnya ada di Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi akan memfasilitasi bila terjadi kemandekan. Substansinya, bila prasyarat lengkap dan memang untuk kebutuhan masyarakat adat, akan didukung,” jelas Gubernur saat dihubungi Sabtu (24/1/2015) malam.

Dorong Perda Pengakuan Wilayah Adat Enggano

Terpisah, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu Def Tri Hamri mengemukakan pihaknya akan mendampingi masyarakat hukum adat Enggano yang sedang memperjuangkan Perda pengakuan dan perlindungan wilayah masyarakat hukum adat Enggano yang berdiam di pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara. “Langkah ini penting dilakukan untuk melindungi keberlanjutan masyarakat hukum adat Enggano yang kian hari kian terdesak oleh pembangunan dan perkembangan zaman.

Pulau Enggano memiliki luas 39.586,74 hektar dan didiami oleh lima suku penduduk asli dan satu suku untuk pendatang. Lima suku penduduk asli tersebut adalah Kaarubi, Kaaruba, Kauno, Kaoaha, dan Kaitora, sedangkan suku pendatang adalah Kaamay yang awalnya diangkat dan diakui oleh suku Kauno. Warga suku mendiami Desa Malakoni, Meok, Banjarsari, Kaana, Apoho, dan Kahyapu.

“Dalam sistem masyarakat hukum adat Enggano, pemimpin masyarakat adalah Paabuki yang dipilih oleh warga suku Enggano. Dalam menjalankan tugasnya, Paabuki dibantu oleh kepala-kepala suku,” ujar Def Tri. “Di Pulau Enggano terdapat sistem konservasi hutan adat yang bernama keramat Hium Koek dan larangan-larangan adat yang sangat selaras dengan upaya pelestarian hutan sehingga menjadikan hutan di Pulau Enggano adalah hutan primer.”

Bupati Bengkulu Utara M. Imron Rosyadi saat dihubungi Kamis (22/1) mengatakan, pada prinsipnya semua aspirasi yang disampaikan masyarakat akan ditampung dan dipelajari.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,