, ,

Merawat Mangrove Segara Anakan, Menuai Rezeki Perikanan

Sebagai warga Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), Slamet (54) merasakan betul dampak perubahan lingkungan di kawasan Segara Anakan itu. Karena di tengah Segara Anakan itulah Kecamatan Kampung Laut berada, dengan hanya terdiri dari empat desa yakni Klaces, Panikel, Ujung Alang dan Ujung Gagak berada. Kawasan Segara Anakan yang berhadapan langsung dengan Pulau Nusakambangan itu, harus dicapai dari Cilacap dengan menggunakan perahu compreng dengan waktu 2-3 jam.

Setiap tahun perubahan terjadi, karena kawasan yang berada di sekitar hutan mangrove dan laguna Segara Anakan menerima sedimen dari dua sungai besar yang bermuara di tempat itu, yakni Sungai Citanduy dan Cimeneng. Data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Cilacap menyebutkan, setiap tahunnya ada 1 juta meter kubik lumpur yang masuk dari Sungai Citanduy dan Cimeneng. Dampaknya, muncullah tanah-tanah timbul di areal Segara Anakan.

“Kalau dulu, Segara Anakan masih luas membentang. Lama kelamaan, ternyata muncul tanah timbul. Bahkan, saat ini di sekitar Plawangan atau Kampung Laut yang berbatasan dengan laut lepas sudah mulai tampak daratan, terutama ketika surut. Banyak perahu yang kandas di wilayah setempat. Itu yang warga rasakan,”ujar Slamet.

Slamet dan warga lainnya merasakan betul, sedimentasi telah mengubah lingkungan di Kawasan Segara Anakan. Data Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Cilacap juga menyebutkan kalau sedimentasi telah membuat semakin sempitnya laguna.

Jika tahun 1903 silam, luas Segara Anakan masih mencapai 6.450 hektare. Pada 1984 tinggal 2.906 ha, dan luasnya menjadi 1.200 ha pada tahun 2000. Dan saat sekarang, luasannya tinggal 400 ha. Perubahan lingkungan itu juga dibarengi dengan kian menyempitnya luasan hutan mangrove. Tahun 1970, luas hutan mengrove tercatat masih 17 ribu ha. Namun, setelah 35 tahun kemudian, luasannya tinggal tersisa 6-7 ribu ha.

“Dengan perubahan lingkungan semacam itu, ternyata berdampak pada turunnya hasil tangkapan. Saya orang awam yang tidak tahu apakah perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Namun, yang kami rasakan adalah, semakin ke sini, hasil tangkapan kian sulit. Sekitar tahun 1990-an, untuk mendapatkan udang dan ikan sebanyak 20 kg per hari, tidak terlalu sulit. Tetapi kini, kian susah. Kadang malah tidak dapat. Maksimal hanya 5 kg saja,”ujarnya.

Ternyata benar, bahwa kondisi lingkungan mangrove dan Segara Anakan yang berubah sangat mempengaruhi perkembangbiakan biota laut. Hasil riset yang dilakukan Ristek dan Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems (SPICE) menyatakan jika hutan mangrove erat kaitannya dengan potensi perikanan. Sebab, dalam riset tersebut disebutkan kalau potensi perikanan mencapai Rp17 juta dalam setiap hektar hutan mangrove. Sehingga kalau kini hutan mangrove di Cilacap telah menyusut 10 ribu ha, maka sudah ada potensi perikanan senilai Rp170 miliar yang hilang.

Kawasan mangrove Segara anakan dengan latar belakang Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan
Kawasan mangrove Segara anakan dengan latar belakang Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

Dari berbagai penelitian mengungkapkan jika hutan mengrove merupakan kawasan asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, juga tempat mencari makan (feeding ground). Sebab, mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar serasah dari daun dan dahan pohon mangrove sebagai makanan bagi biota di kawasan itu. Kawasan mangrove itu juga sebagai tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Mangrove juga menjadi pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya.

Apalagi, dari hasil riiset yang dilakukan Ocean and Coastal Policy Program Duke University menyebutkan kalau serapan 1 ha hutan mangrove sama dengan penyerapan 3-5 hektar hutan tropis. Hutan mangrove yang dikategorikan ekosistem lahan basah mampu menyimpan 800-1.200 ton CO2 ekuivalen per hektar.

Camat Kampung Laut Ahmad Nurlaeli membenarkan bagaimana penduduk di kecamatan itu harus menyesuaikan dengan lingkungan tempat mereka hidup. “Sewaktu Segara Anakan dan hutan mangrove masih luas, maka penduduk dengan gampang mendapatkan ikan, udang dan kepiting. Mereka merasa beruntung bekerja sebagai nelayan. Namun, lambat laun, hasil tangkapan menurun. Hal itu seiring dengan sedimentasi yang semakin banyak masuk Segara Anakan dan menyusutnya luasan hutan mangrove,”katanya.

Di sisi lain, dengan semakin banyaknya “tanah timbul” akibat sedimentasi, warga setempat mulai belajar bertani. “Hal itu sesungguhnya bukanlah profesi mereka sejak awal. Sebab, selama puluhan bahkan ratusan tahun, mereka hidup sebagai nelayan. Tetapi, ada sebagian yang kini mulai menggarap lahan persawahan terutama yang berbatasan langsung dengan Pulau Nusakambangan,”katanya.

Data dari Kecamatan Kampung Laut menyebutkan, kini ada areal persawahan di kecamatan setempat seluas 2.500 ha. Namun demikian, kata Camat, hasilnya tetap masih jauh di bawah hasil sawah daratan. “Meski demikian, mereka tetap menangkap ikan dan udang. Karena kalau hanya dari hasil sawah, jelas tidak mampu mencukupi kebutuhan. Makanya, profesi nelayan tetap dipertahankan, meski hasilnya juga kurang maksimal,”tambah Camat.

Gerakan Lingkungan

Di tengah kegalauan penduduk Kampung Laut, ternyata ada warga yang mencoba bergerak untuk keluar dari kesulitan yang terjadi. Dialah Thomas Heri Wahyono. Warga asal Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang yang akrab dipanggil Wahyono itu memulai aksi “hijau” sejak tahun 2001 silam.

Kegiatan penanaman mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan
Kegiatan penanaman mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

“Waktu itu kondisi mangrove di sekitar Ujung Alang rusak parah. Karena sebelumnya ada investor yang masuk membatati hutan bakau untuk budidaya bandeng. Ternyata, usaha itu hanya beberapa tahun, karena setelah krisis tahun 1998, semuanya gulung tikar. Lokasi ditinggalkan begitu saja dan menyisakan lingkungan mangrove yang rusak parah,”katanya.

Kondisi itulah yang mengundang keprihatinan Wahyono. Ia mengajak keluarganya untuk menghijaukan mangrove kembali. “Ketika awal memulai, tujuan saya hanya menghijaukan saja. Sebab, kawasan yang dulunya hijau, kini menjadi panas akibat terbukanya hutan mangrove. Waktu itu, banyak juga yang mencibir. Ada yang mengatakan kalau saya kurang kerjaan, sehingga mau menghijaukan Segara Anakan. Tetapi, justru cibiran mereka membuat saya semakin kukuh untuk terus bekerja bersama keluarga,”ujar Wahyono.

Dalam perjalanannya, ia membuat kelompok Krida Wana Lestari karena ternyata gerakan itu mendapat respons dari masyarakat. “Sebab, dari mereka melihat, setelah mangrove mulai hidup, saya bisa membudidayakan kepiting dan bandeng. Sehingga mereka mulai sadar kalau ada manfaatnya ketika menghijaukan mangrove,”jelasnya.

Setelah hampir 8 tahun menghijaukan kawasan yang luasannya telah mencapai belasan hektare (ha), Wahyono seperti mendapat durian runtuh. Sebab, Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap melirik aksinya itu dan menjadikan kelompoknya sebagai mitra binaan. “Saya juga kaget, ternyata ada yang tertarik memberikan bantuan. Kelompok berubah nama menjadi Patra Krida Lestari. Terus terang, dengan adanya pembinaan, maka aksi penghijauan semakin luas dan kini telah mencapai 30 ha,” ujar Wahyono yang menjadi ketua kelompok tersebut.

 

Thomas Heri Wahyono, perintis gerakan penghijauan mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan
Thomas Heri Wahyono, perintis gerakan penghijauan mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

Ia mengungkapkan berdasarkan pengalamannya, ternyata membudidayakan kepiting dan ikan di lingkungan yang telah ditumbuhi mangrove lebih bagus. “Saya telah mencoba budidaya bandeng dan kepiting. Hasilnya sangat bagus. Untuk lahan 0,5 hektar, misalnya, mampu menghasilkan 3 kuintal ikan bandeng. Kalau dijual menghasilkan Rp4,8 juta. Padahal modalnya hanya kisaran Rp600 ribu. Demikian juga dengan kepiting, hasilnya lumayan dapat mencapai Rp3,5 juta. Kalau lingkungannya tidak dihijaukan dengan mangrove, mustahil bisa mendapatkan hasil seperti itu,”kata Wahyono yang mendapatkan penghargaan Perintis Lingkungan Hidup Jawa Tengah 2010dan Penyelamat Pesisir oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 lalu.

Kini, Wahyono tidak hanya mengajak masyarakat untuk budidaya di kawasan mangrove, tetapi ia berusaha menangkarkan seluruh jenis tanaman mangrove. Berdasarkan buku yang dibacanya, setidaknya ada 35 jenis spesies tanaman mangrove. Kini, ia telah mampu membuat bibit sebanyak 20 jenis mangrove. “Beruntung juga, pada pertengahan September silam, Pertamina RU IV Cilacap membangun Pusat Konservasi Mangrove dan Studi Plasma Nutfah Indonesia di desa ini, Ujung Alang dan diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup waktu itu,”katanya.

Menurut Wahyono, tidak hanya kelompok Patra Krida Lestari saja yang berperan di situ, karena banyak ahli mangrove yang didatangkan baik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dan Institut Pertanian Bogor (IPB). “Pusat konservasi ini saya harapkan akan semakin baik dampaknya, sehingga masyarakat di sekitar Ujung Alang dan Kampung Laut bakal menjaga kelestarian mangrove. Sebab, dengan mangrove yang lestari, ternyata mendatangkan rezeki. Karena kondisi lingkungan baik dapat menjadi tempat budidaya yang menghasilkan,”tambah Wahyono.

Camat Kampung Laut Ahmad Nurlaeli berharap dengan gerakan lingkungan di Kampung Laut, penduduk setempat juga akan meningkatkan derajat ekonominya. “Bukan dengan membabat mangrove untuk dijual, tetapi sebaliknya menghijaukan mangrove agar dapat digunakan untuk tempat budidaya. Selain itu, ke depannya, dengan adanya pusat studi mangrove, kami berharap akan menjadi pusat penelitian dan lokasi wisata pengetahuan,”tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,