,

Perempuan Rentan Perubahan Iklim, Pemerintah Cuek?

Perempuan paling rentan mengalami dampak perubahan iklim tetapi masalah ini jarang mendapat perhatian pemerintah. Alih-alih memberdayakan, atau membuat kebijakan responsif perempuan, yang terjadi malah proses pemiskinan. Hal ini mengemuka pada Dialog Publik bertajuk Perubahan Iklim dan Perempuan oleh Solidaritas Perempuan, di Makassar, pekan lalu.

Zohra A Baso dari Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulsel, mengatakan, pemiskinan bagi perempuan kerap terjadi seperti petani tambak di Sulsel. “Jika mereka melapor Dinas Perikanan tak pernah disikapi. Padahal, itu bisa saja dampak industri.”

Zohra tak sepakat ketika penanganan perubahan iklim selalu diukur dengan anggaran. Harus ada perhatian lebih dari sekadar dana dan melibatkan setiap pengambilan kebijakan.

Menurut dia, pemberian negara selama ini tak sebanding dengan kerusakan. Pemerintah, katanya, harus ada perbaikan dengan pembiayaan tidak lagi bergantung utang, namun dari sumber lain.

“Dalam perubahan iklim kita tidak hanya bicara kerusakan lingkungan tapi harus mendorong apa upaya ekonomi oleh negara dengan tidak menambah utang.”

Wahidah Rustam, Ketua Solidaritas Perempuan, menuntut pemerintah Sulsel dalam kebijakan lebih sensitif dan responsif gender khusus dampak perubahan iklim.

Sebagian Sulsel,  katanya, kawasan hutan hingga berpotensi besar penyumbang emisi dengan risiko deforestasi akibat kerusakan hutan, kebakaran lahan dan alih fungsi hutan. Sulsel, memiliki luas hutan 2.725.796 hektar (46,42% ) daratan.

Sulsel juga provinsi kerentanan tinggi dampak perubahan iklim, karena dikelilingi kawasan pesisir, selain bergantung pada pertanian.  Kontribusi pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) 25,95%, menunjukkan ketergantungan ekonomi sektor pertanian.

“Perubahan iklim mengubah pola curah hujan menjadikan petani kesulitan menentukan masa tanam yang bisa berdampak pada gagal panen. Ini menunjukkan kebutuhan masyarakat Sulsel terkait adaptasi perubahan iklim tinggi. Perempuan paling merasakan dampak.”

Dia mencontohkan Sabbangparu, Pinrang, petani harus menyemai tiga kali karena banjir hingga biaya tanam tinggi. Anggaran rumah tangga keluar lebih banyak dan beban kerja kepada perempuan bertambah.

Kelompok perempuan lain paling merasakan dampak perubahan iklim adalah nelayan. Mata pencaharian mereka tergantung iklim.

Menurut Syamsuniar, warga pesisir Makassar, perubahan iklim meningkatkan beban perempuan nelayan memenuhi ekonomi keluarga.

“Tidak menentu penghasilan akibat cuaca buruk atau gelombang pasang membuat perempuan harus mencari kerjaan lain, seperti jadi tukang batu, buruh cuci, mencari sampah dan lain-lain. Ini untuk memastikan dapur tetap mengepul.“

Ironisnya, pemerintah bukan mengatasi persoalan justru menambah masalah baru dengan mengeluarkan kebijakan yang menutup akses melaut, seperti reklamasi dan penutupan jalan yang selama ini dilalui nelayan.

Perempuan nelayan  harus berkutat dengan kondisi cuaca  tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim  ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra
Perempuan nelayan harus berkutat dengan kondisi cuaca tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,