,

Kayu-kayu Bersertifikasi dari Hutan Kelola Rakyat dan UKM

Sutrisno, pengumpul kayu jati dari Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang mengajak kami melihat hutan jati milik warga, Selasa (20/1/15). Menapaki jalan setapak. Kanan kiri rumput dan semak belukar tampak tumbuh subur. Beberapa pohon jati sudah tinggi.”Pohon ini 20 tahun,” katanya. Berarti pohon siap panen.

Sutrisno mengatakan, hutan yang terjaga itu milik rakyat.  Dia juga punya lahan jati sekitar tujuh hektar di hutan. Hutan jati milik warga total 60.000 hektar. “Pohon dipilah dulu setiap kali akan ditebang. Pohon jadi tabungan buat warga,” katanya.

Jati kumpulan dari petani, dijual ke berbagai daerah. Dia selalu memastikan kelengkapan dokumen lebih dulu sesuai mekanisme sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK).

“Saya minta KTP petani. Ke kelurahan diajukan pemberkasan. Kecamatan, kabupaten dan Perhutani. Ada petugas mengukur kayu. Saya membeli, saya mengurus surat-surat,” katanya.

Dia mengirim kayu kepada industri permebelan seminggu tiga truk.  Semua kayu dijual ada catatan, seperti diameter, pemilik asal dan lain-lain. Semua berkas kayu diberikan kepada supir truk lalu diserahkan kepada pembeli. “Saya gak berani jual tanpa dokumen lengkap.”

Penjualan jati hutan Dadapayam ke berbagai daerah seperti Jepara, dan Yogyakarta. Salah satu ke UKM, CV Max, Yogyakarta. Pemilik Max,  MS Wahyu Hidayat mengatakan, memilih membeli bahan baku hutan rakyat Dadapayam karena dokumen penjualan lengkap hingga aspek legalitas terpenuhi. Hal itu memudahkan dalam mengurus lacak balak dalam SVLK.

“Ada berita acara serah terima kayu. Ini setiap kali transaksi. Deklarasi pemasok hutan hak. Bahkan sekarang ada persyaratan baru, penjual harus melampirkan forocopy letter C yang membuktikan lokasi pohon ditanam. Itu harus dilampirkan.”

Dia tidak menemui banyak kesulitan dalam mengurus SVLK karena sejak dulu selalu mendata bahan baku. Hanya, dalam sistem SVLK harus lebih detail dan sistematis. “Sistem perusahaan sejak awal saya buat terkontrol. Dari hulu sampai hilir. Jangan sampai ada bagian lepas. Jadi sistem sudah diterapkan, kebetulan ketika SVLK berlaku gak jauh-jauh amat.”

Max mulai mengurus SVLK 2012 dan akhir 2013 mendapatkan sertifikat. “Manfaat SVLK mungkin terasa pertengahan tahun ini. Kalau sudah SVLK bisa tahu berapa kapasitas produksi per tahun.”

CV Max, yang menerima kayu-kayu dari hutan warga yang sudah bersertifikasi. Foto: Indra Nugraha
CV Max, yang menerima kayu-kayu dari hutan warga yang sudah bersertifikasi. Foto: Indra Nugraha

Max satu dari 16 usaha kecil menengah (UKM) dampingan WWF Indonesia yang berhasil memperoleh SVLK. Ada 30 UKM dampingan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sisanya, masih proses memperoleh sertifikat. “Target kami, 30 UKM mendapatkan SVLK Januari 2016. Dua UKM sedang proses,” kata Nur Maliki Arifiandi, Senior Trade and Pulp & Paper Officer WWF Indonesia.

Sebelumnya, WWF Indonesia mengadakan pelatihan UKM terkait SVLK. Peserta 217 UKM. Ada tes sebelum dan setelah pelatihan dan 30 UKM yang lolos didampingi WWF mendapatkan SVLK. Program ini kerjasama WWF dan Switch Asia didanai Uni Eropa. Bantuan proyek Euro1,3 juta. Hampir semua UKM dampingan WWF berorientasi ekspor dan kayu dari hutan warga.

Mengenai kesulitan UKM memperoleh SVLK, katanya, tergantung pemikiran UKM itu. Jika merasa perlu memperoleh SVLK, pasti mudah. “Kita sekarang mengajarkan mereka mendokumentasikan semua. Harus tahu bahan baku masuk, keluar, harga dan lan-lain. Bagaimana mereka mendokumentasikan lacak balak sesuai peraturan. Ini kita tekankan. Mereka beli legal, tetapi dokumen tidak disimpan.”

Meski tak jarang Oki menemukan ada kelalaian pemilik industri, misal SVLK tidak diperpanjang atau harus ada dokumen UKL/UPL tiap enam bulan, tak dilakukan.  “Proses pendampingan tiap UKM beragam. Umumnya tiga bulan dapat SVLK. Ada juga enam atau satu tahun.”

Indrawan, Koordinator Proyek EU-FAO Flegt Program Aspindo mengatakan, ada empat prinsip memperoleh SVLK.  Pertama, proses perizinan membuktikan mendukung legalitas usaha. Kedua, sistem penelusuran kayu. Ketiga, perdagangan produk yang dihasilkan. Keempat, ketaatan peraturan.

Pasar industri mebel Indonesia untuk ekspor lebih banyak ke Eropa dan Amerika. Proporsi Eropa 40%, dan Amerika 25%. Sisanya, Jepang dan negara lain.

Rudi T Luwia, Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengatakan, masih ada keengganan UKM memperoleh SVLK karena sebagian besar menganggap untuk mendapatkan perlu biaya besar. “Kalau dibandingkan dengan omzet, nilai untuk SVLK tak ada apa-apanya. Itu akan memudahkan masuk pasar Eropa.”

R. Sutarto, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta mengatakan, kayu untuk industri mebel DIY hampir 90% dari hutan rakyat. “Dalam menerapkan SVLK, kami tidak hanya fokus industri, juga di hutan. Kami mendorong kawasan hutan rakyat mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan bersama masyarakat berbasis lestari.”

Ada tujuh hutan rakyat mendapatkan SVLK di Yogyakarta, tersebar di Bantul (2), Sleman (1), Gunung Kidul (2), dan Kulon Progo (2). Untuk penerapan, katanya, belum semua tetapi jaminan kayu legal sudah sesuai ketentuan. “Semua kayu harus ada legalitas.”

Sedang UKM permebelan ada 196 di Yogyakarta. Ada 23 UKM bersertifikasi. Dia optimistis, batas akhir 2015, semua UKM ber-SVLK bisa tercapai.

Ahmad Nasrudin, Kabid Rehabilitasi Produksi Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta  mengatakan, ada aturan pemerintah mempermudah UKM urus SVLK.

Biaya pengurusan SVLK dari Rp12,197 juta, kini Rp6 juta. UKM juga bisa memperoleh SVLK berkelompok. Satu sertifikat maksimal lima UKM. “Kami sudah sosialisasi. Biaya SVLK lebih murah dibanding lalu.”

Pekerja di CV Max, UKM yang sudah memiliki sertifikasi SVLK. Mereka menerima kayu bersertifikasi juga dari hutan warga. Foto: Indra Nugraha
Pekerja di CV Max, UKM yang sudah memiliki sertifikasi SVLK. Mereka menerima kayu bersertifikasi juga dari hutan warga. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,