BP REDD+ Dibubarkan, Kredibilitas Pemerintah Dipertanyakan

Melalui Peraturan Presiden No.16/2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Presiden Jokowi membubarkan Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Tugas dan fungsi kedua lembaga tersebut kemudian akan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Banyak pihak menyayangkan pembubaran BP REDD+ dan DNPI, karena kedua lembaga tersebut mempunyai peran vital, yang tidak bisa diemban hanya oleh KLHK. Tidak hanya itu, pembubaran BP REDD+ bahkan dianggap melanggar nota kerjasama Indonesia dan Norwegia di bidang kehutanan.

“(Dengan pembubaran BP REDD+), yang pasti dilanggar adalah LoI (letter of intent / nota kerjasama) dengan Norwegia,” kata Agus Purnomo, mantan Kepala Sekretariat DNPI yang ditemui Mongabay di Jakarta, pada Kamis (29/01/2015).

Agus  Purnomo yang lebih akrab dipanggil Pungki mengatakan sudah seharusnya pemerintah memberitahukan secara resmi tentang pembubaran BP REDD+ kepada pemerintah Norwegia, karena hal tersebut terkait dengan janji dan komitmen Indonesia kepada Norwegia tentang pengelolaan kehutanan dan REDD+ melalui badan itu. Perjanjian dengan Norwegia itu tentu terkait dengan kehormatan dan kredibilitas pemerintah Indonesia.

“Seharusnya ada pemberitahuan resmi (dari pemerintah RI kepada pemerintah Norwegia). Menlu  resmi mewakili RI (dalam menandatangani perjanjian dengan Norwegia). Kok tiba-tiba pemerintah sekarang menganggap (perjanjian) itu tidak ada. Tidak boleh itu. (Perjanjian) itu adalah kehormatan, kredibilitas, kerjasama negara. Ini masalah komunikasi, etika bekerja sama. Kerjasama sudah jalan, uang sudah dikirim, tiba-tiba dibubarkan tanpa ada kejelasan lembaga penggantinya. Kalau semudah itu ingkar janji, maka orang tidak percaya lagi dengan kita. Kalau tidak ada kepercayaan, apa yang bisa dilakukan?” jelasnya.

Pemerintah Indonesia boleh saja tidak mau melanjutkan kerjasama, tetapi harus direncanakan dan diberitahukan kepada Norwegia. “Kalau memang diberhentikan, apa berarti kita berubah pikiran, atau mencari mitra baru, atau kita tetap pada gagasan kerjasama tersebut, tetapi untuk satu butir (tentang lembaga REDD+) minta diubah. Ini kok dihapus dan tidak ada alternatif lembaga, orang, atau penugasan,” katanya.

Pungki yang waktu itu berperan penting memimpin delegasi Indonesia membahas kerjasama dengan Norwegia tersebut, mengatakan dalam nota kerjasama Indonesia – Norwegia, secara jelas disebutkan bahwa dibentuk suatu lembaga yang mengurusi REDD+ dan melaporkan tugasnya langsung kepada Presiden. “Ketika REDD+ diurus oleh eselon 2 atau eselon 3, turun dua tingkat, tidak melaporkan tugasnya kepada Presiden, tetapi mungkin melapor ke eselon 1,” katanya.

Pemerintah seharusnya merencanakan dengan cermat pembubaran BP REDD+ melalui sebuah proses transisi dengan mempersiapkan lembaga pengganti. “Kalau BP REDD+ mau diintegrasikan ke dalam KLHK, maka harus dibuat sebuah proses transisi yang cermat. Jangan BP REDD+ dibubarkan, (lembaga di ) KLHK belum ada, dan kita harus percaya terhadap sesuatu yang belum ada itu. Ini tidak logis, orang disuruh percaya untuk sesuatu yang belum ada. Saya tidak ada masalah dengan pembubaran BP REDD+. Yang saya permasalahkan adalah belum ada lembaga penggantinya ,” katanya.

Pembubaran DNPI

Pungki juga mencermati terhadap pembubaran DNPI. Peran DNPI sangat penting sebagai fokal point pemerintah dalam menangani perubahan iklim di tingkat nasional dan internasional, yang tentu tidak bisa dilakukan oleh satu kementerian saja. Pembubaran DNPI sangat berdampak terhadap penanganan perubahan iklim di Indonesia.

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013
Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013

Ketika kebijakan perubahan iklim ditangani setingkat dirjen kementerian, maka akan terjadi permasalahan kewenangan dan tugas.

“Hal-hal ini berdampak pada agenda pelestarian hutan dan penanganan perubahan iklim. Secara struktural akan banyak masalah. Penanganan perubahan iklim yang dilakukan oleh DNPI, dimasukkan dalam sebuah Dirjen di KLHK. Apakah mungkin Dirjen di Kementerian Kesehatan yang menangani pencegahan demam berdarah dan upaya pengurangan resiko perubahan iklim, diatur oleh Dirjen di KLH? Apakah bisa Dirjen Perubahan Iklim KLHK mempersiapakn infrastruktur di masyarakat pesisir yang rawan banjir rob?” jelas Pungki.

“Apakah ada kewenangan struktural, RAN GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca) yang diamanatkan kepada Bappenas, tiba-tiba dikoordinasikan oleh Dirjen Perubahan Iklim KLH? Apa berarti RAN GRK dipindahkan dari Bappenas ke Dirjen?” katanya.

Sebagai fokal point negosiasi perubahan iklim, DNPI antara lain telah melatih negosiator kurang lebih selama enam tahun. Hal ini belum tentu bisa dilakukan oleh seorang Dirjen KLHK.

KLHK juga butuh waktu untuk mengisi struktural kementerian, termasuk dirjen yang mengurusi perubahan iklim sebagai tugas dan fungsi DNPI. “Kalau butuh waktu 2-3 bulan untuk mengisinya, siapa yang akan mengurusi negosiasi internasional perubahan iklim? Siapa yang akan melanjutkan pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim? Siapa yang akan menindaklanjuti kesepakatan baru pendanaan? Bagaimana mengakses pendanaan kepada Green Climate Fund? Ini pertanyaan teknis yang harus segera dijawab,” kata mantan Staf Khusus Presiden SBY bidang Perubahan Iklim itu.

Dia menjelaskan fungsi fokal point dan koordinator penanganan perubahan iklim bisa diletakkan di lembaga pemerintah mana saja, asalkan lembaga tersebut bisa berfungsi sebagai koordinator.

“Koordinasi lintas kementerian, lintas pemerintah daerah, secara tradisonal ditaruh di Menteri Koordinator, amanahnya melakukan koordinasi. Sementara menteri sektoral, mengurusi sektoral. Kalau mau ditarik fungsi koordinasi DNPI, harus dibawa ke Menko atau Wakil Presiden. Kalau dulu dipegang sendiri oleh Presiden sebagai Ketua DNPI. Kalau mau kewenangan koordinasi dihapus, terus ditaruh di kementerian. Tidak ada sejarahnya kementerian mengkoordinasi kementerian lain,” jelasnya.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera menjelaskan tentang kelanjutan fungsi dan tugas dari BP REDD+ dan DNPI, pasca pembubaran kedua lembaga tersebut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,