Kelompok Tani Timbo Abu: ‘Memanen’ Hutan, Membentengi dari Serbuan Sawit

 

Kelompok tani ini mengajukan HKm agar bisa memanfaatkan hutan bagi peningkatan ekonomi warga dengan tak merusak. Pengajuan hutan kelola rakyat ini sekaligus upaya membentengi hutan dari serbuan sawit.  

 

 

Pagi itu, udara begitu dingin. Mungkin di bawah 16oC. Warga desa mulai beraktivitas. Ada yang ke kebun, ladang dan ke pasar membawa sayur mayur. Anak-anak berangkat ke sekolah. Kambing, ayam dan anjing hilir mudik di tengah jalan desa.

Sardi bersiap ke hutan sambil membawa perlengkapan. Ada parang, minuman dan nasi goreng untuk sarapan pagi. Motor trail siap di depan rumah. “Ayo, kita ke sana naik ini. Jalan sangat jelek. Jalan kaki saja susah,” katanya, kala itu.

Sardi adalah Sekretaris Kelompok Tani Maju Bersama di Jorong Timbo Abu, Kecamatan Talamau, Nagari Kajai. Daerah ini berada di Kaki Gunung Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat.

Kelompok tani ini memperoleh izin hutan kemasyarakatan (HKm) dari Kementerian Kehutanan seluas 145 hektar di kawasan dengan hutan masih terjaga. Mereka ingin mengelola HKm ini dengan memanfaatkan produk hutan bukan kayu, seperti madu, asam kandis, rotan dan lain-lain. Di kawasan itu juga ada air terjun yang bisa dikembangkan sebagai eko wisata.

“Kami ingin hutan itu tetap terjaga tetapi bermanfaat ekonomi bagi warga,” kata Arianto, ketua kelompok tani.

 

Jalan ke hutan dan kebun warga cukup memprihatinkan, lebih menyerupai parit daripada jalan. Mereka mengeluhkan masalah ini karena sulit membawa hasil panen ke bawah, maupun bibit ke atas. Foto: Sapariah Saturi
Jalan ke hutan dan kebun warga cukup memprihatinkan, lebih menyerupai parit daripada jalan. Mereka mengeluhkan masalah ini karena sulit membawa hasil panen ke bawah, maupun bibit ke atas. Foto: Sapariah Saturi

 

Menurut dia, penting menjaga hutan alam yang tersisa di sana, salah satu sebagai penabung sumber air bersih bagi warga. Air dari hutan ini begitu bersih dan jernih. Warga memasang semacam pipa hingga air mengalir langsung ke masing-masing rumah. Ia digunakan berbagai keperluan warga dari makan, minum, mandi dan mencuci dan lain-lain.

Jika melihat sepanjang kabupaten ini, kata Arianto, mayoritas hutan sudah berganti menjadi kebun sawit. Untuk itu, warga bertekad mempertahankan hutan mereka dan tak menanam sawit.

“Salah satu upaya kami menjaga hutan dengan mengajukan izin HkM ini. Kalau tidak, siapa tahu suatu hari nanti, ada izin di lahan kami buat sawit?”

Kala, saya memasuki Kabupaten Pasamat Barat ini, kiri kanan jalan dipenuhi perkebunan sawit. Truk-truk dan mobil-mobil kecil bak terbuka pun hilir mudik membawa sawit ke pabrik. Tumpukan tandan sawit habis petik tampak di halaman-halaman rumah warga.

Pasaman Barat, salah satu sentra sawit di Sumbar. Data BPS Sumatera Barat 2013, kebun sawit seluas 153.676 hektar, tertinggi di provinsi itu.

 

 

Kebun karet warga. Foto: Sapariah Saturi
Kebun karet warga. Foto: Sapariah Saturi

 

 

Kelompok tani ini mengajukan lagi, 150 hektar lahan untuk agroforestry. Selama ini, di lahan ulayat itu sudah ditanami warga dengan beragam tanaman. Berhubung secara legal masih hutan negara, karena khawatir, mereka mengajukan izin HkM ke Kementerian Kehutanan—kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Saya ingin melihat langsung hutan warga yang mendapat izin Kementerian Kehutanan pada Juli 2013 sekaligus yang diusulkan. Saya ikut ke hutan bersama Sardi.

Kamipun menaiki motor menelusuri jalan desa. Sampai pengujung desa, jalan berubah berlubang-lubang dengan tanah bercampur bebatuan. Menanjak dan berliku-liku. Hanya separuh jalan bisa menggunakan motor. Sebagian besar, berjalan kaki. Yang disebut jalan pun hanya galian-galian menyerupai parit hingga sulit dilewati, sekalipun bagi pejalan kaki! Saya tak membayangkan kala musim penghujan bagaimana warga menuju kebun dan hutan mereka. “Inilah keadaan kami. Kebun di hutan dengan jalan seperti ini. Sangat sulit bagi kami,” kata Sardi.

 

 

Wilayah HKm dengan hutan yang masih lebat ini akan dimanfaatkan hasil hutan non kayu, seperti madu, rotan, aren dan lain-lain. Bagi warga, hutan ini harus tetap terjaga guna melindungi kawasan dan penyimpan sumber air. Foto: Sapariah Saturi
Wilayah HKm dengan hutan yang masih lebat ini akan dimanfaatkan hasil hutan non kayu, seperti madu, rotan, aren dan lain-lain. Bagi warga, hutan ini harus tetap terjaga guna melindungi kawasan dan penyimpan sumber air. Foto: Sapariah Saturi

 

 

Kesulitan akses ke hutan ini menjadi salah keluhan warga. Mereka meminta, pemerintah bisa membantu memperbaiki jalan itu. Warga tak memerlukan jalan besar dan mulus, cukup jalan kecil berbeton atau aspal, hingga sepeda motor atau pejalan kaki mudah melewati. “Sulitnya, kalau panen, seperti bawa jagung atau kacang. Kami harus angkut bolak balik berulang kali dengan jalan jelek seperti ini. Sangat berat, tapi tak ada pilihan lain.”

Di kiri kanan kebun-kebun tampak menghijau. Tanaman beragam. Ada durian, cengkih, jengkol, kayu manis, pinang, kemiri sampai karet. Saya mengamati dan mengambil foto pohon durian tinggi menjulang dengan buah lebat. Saking asik mengambil foto saya tak sadar ancaman mengintai. “Buk!!!” Satu durian jatuh nyaris menimpa saya.

Di bagian bawah pohon-pohon keras itu, ditanami juga beragam tanaman cepat panen. Ada singkong, ubi ketela, cabai, sayur mayur, jagung sampai pisang.

Di perjalanan itu, ada pemandangan unik, tampak pohon-pohon sawit dengan daun memutih. “Itu sengaja dibunuh oleh yang punya. Mereka mau ganti dengan tanaman lain.”

 

Durian, salah satu buah musiman andalan kampung ini. Foto: Sapariah Saturi
Durian, salah satu buah musiman andalan kampung ini. Foto: Sapariah Saturi

 

Di sekitar itu tak ada sawit, kecuali ratusan pohon dengan daun kering dan memutih itu. “Kami memang sepakat tak mau tanam sawit. Kami tak mau hutan kami ini jadi sawit. Hanya tinggal daerah sekitar sini yang  aman,” ujar dia.

Setelah perjalanan hampir satu jam, barulah kami sampai di tepian hutan kelompok tani ini. Tampak hamparan hijau tanaman jagung muda berbunga diterpa angin ke kiri dan ke kanan. Sebagian, pohon jagung mengering baru usai panen. Di atas ladang ini juga ada durian, kayu manis, surian, cengkih dan sampai bambu.

“Di bagian atas kami mau tanami kopi. Bibit sudah disiapkan. Mulai berangsur kami naikkan bibit ke sini,” kata Sardi.

Sedang kawasan HKm yang berada di hutan lebat, tak mereka ganggu. Tampak pohon-pohon besar menjulang dengan bagian atas puncak gunung yang masih tertutup awan putih.  “Hutan yang itu harus terjaga. Kebun dan ladang kami, batasnya sampai sana,” katanya, sambil menunjukkan batas terakhir kebun warga.

 

Sebagian besar warga kampung ini menanam jagung. Hasil per hektar cukup menjanjikan sekitar enam ton. Namun, sebagian besar petani terjerat utang dengan para tengkulak. Foto: Sapariah Saturi
Sebagian besar warga kampung ini menanam jagung. Hasil per hektar cukup menjanjikan sekitar enam ton. Namun, sebagian besar petani terjerat utang dengan para tengkulak. Foto: Sapariah Saturi

 

 

Tata cara kelola tanaman dengan menjaga hutan yang masih bagus dan memanfaatkan semak belukar sebagai kebun sesuai dengan kearifan lokal warga Minang ini. Adat istiadat warga juga masih terjaga. Mereka memiliki ketua adat yang membawahi beberapa niniek mamak.

 

Terjerat tengkulak

Di jorong (desa) seluas 500 hektar dengan sekitar 700 keluarga ini sekitar 80% warga menanam jagung. Produk ini menjadi salah satu andalan selain sayur mayur. Sayangnya, sebagian besar petani masih terperangkap tengkulak. Keperluan tanam mereka ditanggung atau boleh berutang terlebih dahulu, dengan syarat menjual hasil panen dan harga sesuai tengkulak.

Mawardi, seorang petani mengatakan, sekarung urea 100 kg, kalau tunai Rp250 ribu, warga bisa utang Rp320-Rp350 ribu. Racun per liter, harga tunai Rp50.000 dan utang Rp80.000. Bibitpun boleh ambil. “Karena diberi terus, warga jadi tergantung. Tiba panen, mesti jual ke mereka.”

 

Kayu manis, salah satu hasil dari hutan warga. Kayu yang biasa dipakai buat bumbu masakan ini dijual Rp15.000 per kg. Foto: Sapariah Saturi
Kayu manis, salah satu hasil dari hutan warga. Kayu yang biasa dipakai buat bumbu masakan ini dijual Rp15.000 per kg. Foto: Sapariah Saturi

 

Untuk itulah, kata Sardi, kelompok tani ini pelahan berupaya melepaskan warga dari para tengkulak. Jika petani bisa melepaskan diri dari tengkulak, katanya, kehidupan mereka akan jauh lebih baik. “Kalau dari hasil tanam cukup bagus, per hektar jagung bisa enam ton.”

Selain jagung dan sayur mayur, yang bisa panen tanpa musiman pinang per kg Rp15.000, asam kandis Rp5.000 per kg. Lalu kayu manis per kg Rp15.000, kemiri Rp5.000 per kg.

Ada juga yang membuat gula aren, seperti dilakukan Mawardi.Hampir tiap pagi dia mencari nira. Kadang, satu kali masak dia mendapat empat kg gula aren.

Mawardi tak bisa memasak nira dalam jumlah besar karena kuali yang dimiliki kecil. Dia berharap, ada bantuan pemerintah buat membeli peralatan masak gula yang lebih  besar.

Setiap hari, gula aren yang dibuat bulat pipih dengan diameter sekitar 20 cm itu dikumpulkan. Kala sudah banyak, barulah dijual.

“Saya jual ke pasar per kg Rp14.000,” katanya.

 

Cengkih, salah satu tanaman potensial dikembangkan warga kampung ini di hutan mereka. Foto: Sapariah Saturi
Cengkih, salah satu tanaman potensial dikembangkan warga kampung ini di hutan mereka. Foto: Sapariah Saturi
Bibit bambu, yang dibawa satu-satu dari kampung untuk ditanam di kebun warga. Foto: Sapariah Saturi
Bibit bambu, yang dibawa satu-satu dari kampung untuk ditanam di kebun warga. Foto: Sapariah Saturi
Mawardi, usai mengambil air nira dan siap dimasak menjadi gula aren. Foto: Sapariah Saturi
Mawardi, usai mengambil air nira dan siap dimasak menjadi gula aren. Foto: Sapariah Saturi
Sardi, sekretaris kelompok tani (tengah), berbincang dengan petani yang berpapasan di kebun. Foto: Sapariah Saturi
Sardi, sekretaris kelompok tani (tengah), berbincang dengan petani yang berpapasan di kebun. Foto: Sapariah Saturi
Beginilah warga membawa bibit dari bawah (kampung) menuju hutan mereka. Bibit dibawa sedikit demi sedikit menggunakan motor melewati medan jalan yang sulit. Foto: Sapariah Saturi
Beginilah warga membawa bibit dari bawah (kampung) menuju hutan mereka. Bibit dibawa sedikit demi sedikit menggunakan motor melewati medan jalan yang sulit. Foto: Sapariah Saturi
Beginilah jalan menuju ke kebun warga. Foto: Sapariah Saturi
Beginilah jalan menuju ke kebun warga. Foto: Sapariah Saturi
Beginilah penampakan Jorong Timbo Abu kala pagi hari. Udara dingin dan segar, dari kejauhan tampak jejeran bukit barisan masih diselimuti awan putih. Indahnya...Foto: Sapariah Saturi
Beginilah penampakan Jorong Timbo Abu kala pagi hari. Udara dingin dan segar, dari kejauhan tampak jejeran bukit barisan masih diselimuti awan putih. Indahnya…Foto: Sapariah Saturi
Arianto, ketua kelompok tani. Foto: Sapariah Saturi
Arianto, ketua kelompok tani. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,