, ,

SPI Desak Pemerintah Evaluasi Izin Toba Pulp Lestari

Serikat Petani Indonesia (SPI), mendesak pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla, mengevaluasi izin PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara. Perusahaan ini,  kala bernama PT Indorayon, sempat mati, lalu hidup lagi era Presiden Megawati, berganti baju menjadi TPL.

Henri Saragih, Ketua Umum SPI mengatakan, pemerintah membolehkan perusahaan menguasai lahan hingga 125.000 hektar.  Hingga hampir semua hutan di pinggir Danau Toba, dan wilayah lain seperti Kabupaten Karo, Simalungun, Tapanuli Utara dikuasai satu perusahaan. Bukan itu saja, konsesi TPL pun berada di dalam wilayah masyarakat adat.

Kondisi ini, katanya, jelas-jelas mengangkangi UU Pokok Agraria yang mengakui keberadaan hak ulayat. Namun, UU Kehutanan tidak merujuk UU Agraria hingga hak-hak masyarakat adat terabaikan.

Dia mendesak, izin TPL ditinjau kembali dan mengembalikan lahan kepada masyarakat adat. “Itu hak mereka yang telah menjaga dan mengelola hutan tanpa merusak,” katanya, baru-baru ini.

Ancam Danau Toba

Keberadaan perusahaan yang menebangi hutan juga mengancam Danau Toba.   Berdasarkan analisis SPI, terjadi pendangkalan Danau Toba. Hutanpun rusak, karena sebagai penyimpan air nyaris hilang, kekayaan hayati hilang dan Sungai Asahan tercemar hingga ikan-ikan berkurang bahkan mati.

“Kita nenyesalkan mengapa dulu Indorayon kembali beroperasi. Jangan gara-gara keserakahan satu perusahaan, mengakibatkan satu kekayaan dunia yang luar biasa bernama Danau Toba terancam, dan kehidupan masyarakat di sekitar tidak makin baik.”

Sumber pangan

Sebenarnya,  kawasan-kawasan mulai Porsea sampai Balige, merupakan sumber pangan dan perikanan luar biasa. Sungai Asahan, dulu sumber ikan bagi masyarakat Danau Toba hingga Asahan. “Ini harus dibuat studi kelayakan. Dulu penghentian perusahaan merusak lingkungan kala Orde Baru berhasil. Zaman reformasi, malah keluar lagi. Diharapkan, era Jokowi bisa meninjau ulang perusahaan ini.”

Dia mengatakan, gerakan petani dan lingkungan hidup mendesak TPL tutup. Mereka meminta kawasan menjadi hutan kembali “Lalu mana yang bisa menjadi sumber kehidupan, diserahkan kepada rakyat, dengan catatan harus mengelola dengan baik dan benar, serta memperhatikan ekologi.”

Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak, Guru Besar Sosiolog-Antropologi Universitas Negeri Medan mengatakan, TPL beroperasi di Tanah Batak, akibat ulah Brigjen EWP Tambunan dan Lundu Panjaitan, saat itu Bupati Tapanuli Utara. Melalui pengusulan mereka Presiden Soeharto mengeluarkan izin operasi Indorayon.

Masyarakat Batak, katanya,  tidak pernah menjual tanah kepada Indorayon. Jadi, sah saja menolak, dan meminta perusahaan tutup karena merusak hutan adat, salah satu di Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).

“Tanah adat berganti pago-pago. Padahal, itu dianggap penyalahgunaan adat, hingga sah saja jika banyak masyarakat adat menolak perusahaan.”

Menurut dia, sumber kehidupan rakyat Batak itu hutan haminjon terbabat habis dan berganti ekaliptus. “Saya setuju TPL ditutup. Yang bertanggungjawab masa Soeharto dan Megawati.”

Mongabay mencoba mengkonfirmasi kepada TPL. Perusahaan meminta dua hari menjawab pertanyaan. Setelah dinanti berhari-hari, jawaban perusahaan tak ada.

Danau Toba, menghadapi beragam ancaman, dari pendangkalan, limbah sampai kerusakan hutan di sekitarnya. Foto: Ayat S Karokaro
Danau Toba, menghadapi beragam ancaman, dari pendangkalan, limbah sampai kerusakan hutan di sekitarnya. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,