, ,

Pembangunan Sulbar Dinilai Tak Jelas dan Abai Lingkungan

Sulbar belum memiliki RTRW. Tak pelak, pembangunan terkesan berjalan dalam ketidakjelasan dan berpotensi tak memperhatikan aspek lingkungan.

Nurlina menatap miris pantai di hadapannya. Dia seakan tak percaya kondisi pantai ini jauh berbeda dari setahun silam. Tak ada lagi pantai landai tempat menghilangkan penat. Garis pantai dan mangrove sampai nelayan-nelayan pencari ikan pun tak ada lagi. Nurlina, warga Kelurahan Rimoko, Kecamatan Mamuju, Sulawesi Barat. Sudah setahun ini kuliah di Makassar.

“Dulu sekitar jembatan itu nelayan menambatkan perahu. Entah kemana mereka sejak reklamasi pantai,” katanya kepada Mongabay, Januari 2015.

Masalah lain timbul. Puluhan mobil pengangkut pasir lalu lalang tiap hari menyisakan gundukan tanah di jalan. Di hujan, sisa-sisa tanah ini menjadi kubangan lumpur licin. Saat kemarau, debu betebangan. “Sering ada motor terpeleset ketika hujan, karena jalanan tak dibersihkan. Banyak warga mengeluh,  tapi inilah.”

Sebagai provinsi baru, Sulbar sedang membangun infrastruktur besar-besaran. Jalanan diperluas dengan menimbun pantai. Tanah dari bukit-bukit sekitar Mamuju yang sudah rata. “Dulu sekitar pintu masuk Mamuju ada bukit. Sekarang sudah rata.”

Direktur Walhi Sulbar, Ikhsan Welly, mengatakan, setiap reklamasi akan bermasalah karena melawan hukum alam. “Persoalannya, apakah setiap rencana pembangunan disertai pemulihan lingkungan? Ini tidak terjadi.”

Dia mengatakan, upaya-upaya pemulihan lingkungan tak pernah ada kala reklamasi berjalan. Ekosistem mangrove hilang dan terjadi sepanjang bentang pantai.

Tak hanya soal reklamasi juga pembangunan lain. Ikhsan menilai, arah pembangunan di Sulbar penuh ketidakjelasan, terutama infrastruktur. Tidak hanya di Mamuju, daerah-daerah lain di Sulbar bernasib sama. “Proyek masuk lebih banyak betonisasi. Semua jalan dibeton namun tidak disertai drainase baik. Mamuju Utara, contoh, kini identik dengan kabupaten kolam. Hujan sedikit langsung banjir.”

Ikhsan mengatakan, ketiadaan rencana tata ruang wilayah (RTRW) menjadi salah satu pemicu ketidakjelasan pembangunan ini. “Jadi saya anggap Sulbar membangun tanpa arah.”

Peta desa

Dalam kondisi seperti ini, katanya, mesti ada pemetaan agar ada kejelasan ruang. Untuk itulah, Walhi Sulbar, katanya, melakukan pemetaan partisipatif skala desa, seperti di Desa Allu, Kecamatan Allu, Kabupaten Polewali Mandar.

“Mudah-mudahan pemetaan di desa itu ditiru desa-desa lain. Kita berharap kelak semua desa dapat terpetakan dan masuk wilayah tata kelola rakyat. Kami mendorong ada peraturan desa terkait ini.”

Melalui upaya ini, Ikhsan berharap bisa mendorong masyarakat lebih memahami wilayah. Misal, dengan pemetaan ini teridenntifikasi ada 30 varietas padi lokal, mendapati banyak burung-burung lokal dan potensi sungai yang melimpah yang bisa dikembangkan.

Proyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir merusak eksosistem pesisir. Tak ada lagi kawasan mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra
Proyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir merusak eksosistem pesisir. Tak ada lagi kawasan mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,