,

Dua Tahun Komitmen APP, FPIC dan Penyelesaian Konflik Masih Rendah

Pada 5 Februari 2015, memasuki tahun kedua komitmen kebijakan konservasi hutan (forest conservation policy/FCP) Asia Pulp and Paper (APP). Hasil penilaian Rainforest Alliance tampak implementasi di lapangan masih jauh dari harapan, termasuk, penyelesaian konflik-konflik lahan. Dari Sumatera Selatan, tim monitoring free prior informed consent (FPIC) mempertanyakan pelaksanaan rekomendasi mereka. Tim ini,  memonitoring FPIC masyarakat sekitar pembangunan pabrik kertas milik APP,  yakni PT. OKI Mill Pulp dan Paper di Desa Bukit Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Aidil Fitri, Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel menjelaskan,  tim monitoring, terdiri dari WBH, Serikat Hijau Indonesia Sumsel, Yayasan Bakau dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sumsel memonitoring selama sebulan, Agustus-September 2014. Mereka memberikan tiga rekomendasi.

Pertama, memperbaiki standar operating procedure (SOP) FPIC dan memasukkan komponen minimal ketegasan bahwa FPIC dilaksanakan sebelum pembangunan. Lalu, ada tahapan penguatan kapasitas masyarakat obyek FPIC, membuat pengumuman publik mengenai tahapan FPIC guna memberikan kesempatan kepada pendamping masyarakat, serta ada kesepakatan tertulis terpisah dari berita acara. Kesepakatan ini,  antara masyarakat dan perusahaan,  apakah menolak atau menerima.

Kedua, APP meninjau kembali kekurangan dalam proses FPIC di OKI Mill yang harus dibangun bersama masyarakat dan melibatkan pemantau independen. Dalam pertemuan ini, minimal perusahaan menjelaskan dan memberikan informasi tertulis, seperti sifat proyek, luasan, lingkup dan tujuan kegiatan; alasan-alasan mengapa kegiatan dilakukan; durasi kegiatan, dan area akan terkena dampak. Juga, analisis awal dampak sosial, lingkungan, ekonomi dan budaya yang mungkin ditimbulkan, serta potensi risiko.

APP juga harus menjelaskan dan mendukung masyarakat mendapatkan pandangan hukum,  keuangan, lingkungan dan keahlian lain yang dianggap perlu secara independen. Selain itu, harus dipastikan kehadiran minimal 60% kelompok atau stakeholder masyarakat dari hasil pemetaan kelompok.

Ketiga, proses consent (keputusan) lebih lanjut dengan seluruh desa obyek FPIC. Sebab, pada pelaksanaan FPIC, proses consent-dengan pengecualian di Desa Kuala Sugihan-tidak tertulis. Bahkan, mayoritas responden dalam penelitian tidak mengetahui pasti dokumen yang ditandatangani merupakan persetujuan pembangunan OKI Mill, atau hanya berita acara pertemuan.

Aidil mencontohkan, kekurangan proses FPIC antara lain Dusun Sungai Rasau berjarak empat kilometer dari pembangunan pabrik tidak menjadi obyek. Tim merekomendasikan, dusun ini jadi wilayah studi karena dekat dengan pabrik. Perusahaan memberi tanggapan, FPIC Sungai Rasau akan dilakukan Desember 2014.“Sejak awal Januari 2015 kita tanyakan. Kami belum menerima informasi,” katanya kepada Mongabay.

Jika pelaksanaan FPIC tak optimal, katanya, berpotensi menimbulkan persoalan kemudian hari. “Ada potensi protes masyarakat yang keberatan karena merasa tak mendapat informasi lengkap dari awal. Seharusnya, pembangunan yang mulai sejak 2013 setop dahulu hingga FPIC menyeluruh. Itu lebih bijak.”

Tim monitoring, terdiri dari WBH, Serikat Hijau Indonesia Sumsel, Yayasan Bakau dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sumsel memonitoring selama sebulan, Agustus-September 2014.

Mereka mewawancara terstruktur 67 perwakilan masyarakat dan unsur pemerintahan di delapan desa obyek FPIC. Wilayah ini, Desa Bukit Batu, Rengas Abang atau Sido Rahayu, Simpang Heran, Jadi Mulya, dan Kuala Sugihan atau Muara Sugihan. Lalu, Negeri Sakti atau Sapto Harjo, Pangkalan Sakti atau Timbul Harjo, dan Rantau Karya atau Panggung Harjo, ditambah Sungai Rasau yang tidak menjadi obyek FPIC.

FPIC,  merupakan proses yang memungkinkan masyarakat adat/lokal menjalankan hak-hak fundamental menyatakan apakah setuju atau tidak terhadap aktivitas, proyek, atau kebijakan yang berdampak pada tanah, kawasan, sumber daya dan perikehidupan masyarakat.

Tak hanya soal FPIC bermasalah, juga penyelesaian konflik, seperti terungkap dalam riset Forest Peoples Programme, Walhi dan Scale Up di salah satu konsesi APP, PT Wira Karya Sakti di Desa Senyerang, Jambi, pada Desember 2014. Laporan itu mengungkapkan, sejumlah konflik sosial belum tuntas di HTI APP itu. Proses penyelesain konflik cacat. 

Kala itu, dalam keterangan kepada media, Patrick Anderson, Penasihat Kebijakan FPP, yang memimpin survei di Jambi mengatakan, investigasi lapangan menunjukkan upaya-upaya rintisan penyelesaian konflik APP mengecewakan. Kesepakatan kepada Desa Senyerang dipaksakan dan tidak sejalan komitmen kebijakan APP. 

“Masyarakat hanya mendapatkan hak pemanfaatan untuk menanam karet di atas lahan hanya seperdelapan atau 12,5% dari luas keseluruhan tanah adat mereka, 7.224 hektar,” katanya.

Mereka, kata Anderson, hanya memperoleh pembayaran tak berarti untuk akasia yang ditanam perusahaan pada tiga perdelapan atau 37,5% tanah mereka.  “Mereka diperkirakan akan kehilangan hak atas tanah yang tersisa.”

Pada awal program Kebijakan Konservasi Hutan mereka, APP masih seringkali menerima laporan pelanggaran dan penebangan hutan alam di wilayah konsesi mereka. Seperti yang terlihat di foto ini saat tiga buah ekskavator tertangkap basah pada foto ini sedang melakukan penebangan pepohonan hutan alam di konsesi PT. RIA. Foto diambil oleh Eyes on the Forest pada lokasi 10 di Peta 1 (0o4’38.93″N, 102o57’4.18″E) tanggal 8 April 2013. Foto: Eyes on the Forest

Laporan ini,  mendokumentasikan bagaimana warga Senyerang–yang diakui pada zaman Belanda–kehilangan tanah karena klaim WKS.

Rudiansyah, dari Walhi Jambi menyatakan, lebih seratus desa di Jambi dirampas tidak adil oleh APP untuk HTI akasia. Tujuan awal proses penyelesaian konflik di Senyerang, sebagai rintisan. Namun,  hasil buruk hingga menimbulkan keraguan tentang ketulusan APP menangani warisan persoalan pelanggaran hak masyarakat.

Senada dikatakan Harry Oktavian, dari Scale Up, Pekan Baru, Riau. Menurut dia, apa yang disaksikan di lapangan, bukan apa yang mereka katakan di atas kertas. “Investigasi lapangan kami mengungkapkan banyak persoalan sosial serius dan pelanggaran komitmen oleh WKS. Perusahaan ini perlu berupaya lebih keras memulihkan malpraktik masa lalu sebelum kami yakin bahwa mereka memang berkelanjutan.”

Tak sekadar konservasi

WWF Indonesia juga menanggapi dua tahun komitmen FCP APP ini. Aditya Bayunanda, Leader Komoditas Hutan WWF-Indonesia mengatakan, APP sudah menghentikan penebangan hutan alam dan melakukan berbagai kajian di kawasan konsesi mereka. Sayangnya, belum banyak perubahan di tingkat tapak. “Hutan masih hilang, gambut masih dikeringkan dan konflik sosial belum terselesaikan. Bahkan APP gagal melindungi hutan yang diwajibkan pemerintah untuk dikonservasi,” katanya dalam keterangan tertulis, 5 Feberuari 2015.

WWF menilai,  kemajuan komitmen APP masih kurang terlebih dalam mengurangi dampak iklim dari konsesi APP yang banyak di lahan gambut.  Dari penilaian Rainforest Alliance, katanya,  APP sudah menghentikan pembangunan kanal baru. Namun belum ada tindakan nyata mengurangi emisi gas rumah kaca dari pengeringan jutaan hektar lahan gambut di bawah penguasaan perusahaan itu. 

Organisasi ini prihatin terhadap minimnya kemajuan APP menyelesaikan ratusan konflik sosial. “Temuan LSM lokal terkonfirmasi dalam audit Rainforest Alliance. Ini  mestinya jadi perioritas APP.” 

Menurut dia, WWF berpartisipasi dalam beberapa kali pertemuan pemangku kepentingan dan kegiatan kelompok kerja sejak pengumuman komitmen APP. Namun, diskusi itu belum menghasilkan kemajuan signifikan karena belum ada rencana konkrit tentang lokasi hutan yang akan direstorasi atau dikonservasi dan melalui pendanaan seperti apa. “Bahkan dalam lanskap prioritas APP, Bukit Tigapuluh, perusahaan belum bisa memenuhi janji menyediakan koridor satwa liar dan menghentikan pembalak liar serta perambah masuk ke hutan melalui jalan konsesi mereka.” 

Pertanyakan pasokan kayu APP

Tanggapan juga datang dari Christopher Barr, Executive Director Woods & Wayside International. Dia mengatakan, laporan Rainforest Alliance tak mengatakan apa-apa tentang apakah perkebunan APP yang ada mampu memenuhi pasokan serat kayu secara berkelanjutan dalam jangka menengah maupun jangka panjang.

Kepastian itu sangat penting, katanya, karena APP sedang membangun pabrik pulp di Sumsel, yang akan meningkatkan permintaan kayu tahunan kelompok usaha ini sekitar 7-10 juta meter kubik per tahun, tergantung kapasitas terpasang pabrik.

Dia berharap, Rainforest Alliance serius melihat masalah mendasar, seperti berapa banyak area APP dan pemasok-pemasoknya yang sudah menanam. “Bagaimana perkembangan dan capaian hasil kebun-kebun itu? Bagaimana juga perubahan perputaran tingkat produktivitas?” kata Barr.

Sebenarnya, mereka berharap, dalam laporan itu akan membahas banyak faktor risiko yang terkait dengan ketergantungan APP dengan perkebunan di lahan gambut tinggi karbon. Sayangnya, laporan Rainforest Alliance itu tak membahas masalah ini sama sekali.

Jawaban, Richard Donovan dari Rainforest Alliance, kala itu, masalah ini tak tercantum karena APP terlambat mengirimkan data pasokan kayu dan akan masuk dalam laporan selanjutnya.

Dengan keadaan ini, investor dan pemangku kepentingan lain, semestinya melihat jelas jika kebun-kebun APP gagal mencapai target produktivitas mereka, kemungkinan gagal memenuhi komitmen keberlanjutan bisa meningkat signifikan.

Wetlands International juga angkat bicara. Menurut mereka, APP berjuang memenuhi komitmen konservasi hutan mereka. Perusahaan juga masih berupaya mengendalikan pembalakan liar dan kebakaran di lahan gambut. Keadaan ini,  memperlihatkan, belum ada kejelasan perusahaan dalam mengimplementasikan peraturan baru pemerintah tentang gambut yang menyatakan, batas tinggi muka air gambut 40 cm di semua konsesi mereka.

Wetlands juga prihatin meskipun telah dua tahun komitmen APP, namun belum memenuhi target pengurangan emisi karbon dari mengkonversi dan drainase lahan gambut.

Marcel Silvius, Wetlands International dalam keterangan tertulis mengatakan, kebun akasia di lahan gambut menyebabkan pelepasan gas rumah kaca yang besar dan penurunan tanah serta banjir. “Mereka tidak berkelanjutan. Jika APP serius dengan komitmen, ia akan harus mempertimbangkan bertanggung jawab secara bertahap bagaimana keluar dari operasi di lahan gambut.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,