,

Agustinus Sasundu, Mengkonservasi Bambu Dengan Musik

Di sebuah pekarangan rumah di Kampung Likuang, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, sekelompok orang terlihat berkumpul memainkan berbagai alat musik orkestra seperti terompet,bas, trombon, suling, klarinet dan sebagainya.

Anggota orkestra itu tak hanya orang-orang tua, beberapa di antaranya  adalah anak-anak muda. Terlihat pula beberapa anak-anak berseragam sekolah Taman Kanak-kanak dan perempuan muda menari mengikuti irama orkes bambu. Mereka tampak asyik memainkan berbagai lagu, dari lagu daerah, lagu rohani, sampai lagu populer.

Ada yang menarik dari orkestra itu, yaitu semua alat musik tidak terbuat dari aluminium atau besi pada umumnya alat musik tiup, tetapi semua itu dibikin dari bambu.

Alat musik bambu sebenarnya alat yang lazim ditemui di Sangihe, Sulawesi Utara. Alat musik bambu ini sudah ditemui sejak nenek moyang orang-orang Sangihe. Alat musik bambu di Sangihe awalnya sangat sederhana.  Alat musik ini biasanya dimainkan untuk mengiringi acara-acara penting seperti upacara tradisional, pernikahan, acara keagamaan dan sebagainya.

Ide kreatif pembuatan pembuatan alat musik bambu itu datang dari seorang Agustinus Sasundu, 65 tahun. Ide kreatif dan kerja keras dengan bambu inilah yang mengantarnya mendapatkan penghargaan  Kehati Award VIII 2015 kategori Citra Lestari.

‘Tumpukan’ Bambu

Dia mulai tertarik mengembangkan alat musik bambu ini pada 1970-an. “Saya mencoba membuat alat musik tiup dari yang sudah ada lalu saya kembangkan,” ujar Agustinus.

Alat musik bambu sampai saat ini sudah mengalami tiga perubahan bentuk. Dari hanya suling saja, lalu berkembang menjadi berbagai jenis alat seperti korno, klarinet, trombon, bambu tengah dan bas. Masing-masing alat musik tiup tersebut menghasilkan tangga nada seperti alat musik tiup pada umumnya, sehingga ketika dimainkan muncul harmonisasi indah ketika digabungkan dalam satu ‘tumpukan’, sebutan orang Sangihe untuk merujuk pada grup musik atau ‘orkestra’ bambu ini. Dalam satu tumpukan terdapat 20 sampai 40 orang.

Tak mudah untuk menciptakan alat musik yang mempunyai suara yang enak didengar. Hal ini dimulai dari pemilihan bambu sebagai bahan utama alat musik tersebut. Dia memilihnya dari bambu tua. Bambu di sekitar tempat tinggal Agustinus di Kampung Likuang, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, juga tumbuh di sekitar pantai. Dia akan menebang bambu tua ketika air surut.

Setelah dipotong, dia pun masih mengerjakan beberapa tahap lainnnya. Setelah melakukan  penebangan, lalu pengeringan dan terakhir pembuatan alat musik yang direncanakan. Butuh waktu sekitar satu bulan untuk membuat 40 alat musik yang dikerjakan oleh satu sampai tiga orang.

Kemudian, musik-musik bambu tersebut dapat dijual pada kelompok-kelompok musik yang membutuhkan. Pasar selalu terbuka untuk musik bambu, karena berkat usaha Agustinus dan berbagai kelompok yang lain, permainan musik bambu masih lestari hingga saat ini.

Dalam membuat alat musik bambu ini, Agustinus tak sendiri. Dia melibatkan warga sekitar, tua dan muda. Mereka pun terlibat dalam ‘orkestra’ sederhana  yang memainkan alat musik tersebut.

Budaya Masamper

Dalam tradisi masyarakat Sangihe, musik bambu menjadi ikon yang disajikan. Terlebih lagi pada acara-acara besar. Bahkan, saat ini masing-masing desa memiliki tumpukan musik bambunya sendiri yang kemudian bertanding dengan desa yang lainnya. Salah satunya adalah dalam budaya Masamper. Pada perhelatan ini, grup dari berbagai desa bertanding dalam lagu dan musik. Mereka saling berbalas lirik dan musik. Pemerintah daerah Sangihe sengaja mendorong musik bambu ini sebagai salah satu identitas daerahnya. Bambu dan alat musik kreasi Agustinus menjadi khasanah musik alam yang unik.

Para penerima Kehati Award VIII yaitu (kiri ke kanan) Prof. Achmad Subagio, Januminro Bunsal, Agustinus Sasundu, Ambarwati Hernawan, Ketua KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) dan Aziil Anwar. Foto : Jay Fajar
Para penerima Kehati Award VIII yaitu (kiri ke kanan) Prof. Achmad Subagio, Januminro Bunsal, Agustinus Sasundu, Ambarwati Hernawan, Ketua KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) dan Aziil Anwar. Foto : Jay Fajar

Apa yang dilakukan Agustinus ini tidak saja menciptakan kreasi unik dan menghidupkan khasanah seni musik.  Dari sisi sosial, musik bambu yang terus dipromosikan oleh Agustinus mampu meredam gejolak-gejolak sosial yang terjadi di masyarakat sekitarnya.

Musik bambu ini mampu menyatukan warga dari berbagai status sosial dan agama yang berbeda. “Mereka bisa rukun dan saling membantu,” katanya. Dia mencontohkan ketika ada upacara atau acara gereja, warga non muslim pun ikut terlibat dalam kelompok musik.

Selain itu, dari sisi konservasi terhadap lingkungan, masyarakat menjadi lebih memberikan apresiasi pada bambu. Mereka cenderung akan memanfaatkan bambu tersebut sesuai kebutuhan karena mengetahui bahwa bambu Sangihe dapat menjadi bahan baku alat musik tradisional mereka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,