, ,

Redupnya Pesona Mangrove Tongke-tongke

Siang itu, Sabtu (20/2/15), cuaca terik, jalanan berdebu. Puluhan pengendara sepeda motor menyusuri pesisir timur Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Mereka ingin mengunjungi kawasan mangrove yang dulu termahsyur di daerah bernama Tongke-tongke. Jalan rusak dan bergelombang. Pengendara harus berhati-hati.

Rombongan itu, mahasiswa sejumlah perguruan tinggi di Sinjai sedang mencari bahan penulisan feature. Ini bagian pelatihan jurnalistik lanjutan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Muhammadiyah Sinjai kerjasama dengan Mongabay, 19-21 Februari 2015.

Tongke-tongke punya sejarah indah. Para pecinta mangrove menyebut, sebagai surga mangrove di Sulsel. Banyak yang berkunjung dan belajar mangrove di Tongke-tongke masa lalu.

Desa berjarak lima km dari Sinjai ini pernah menjadi tujuan wisata mancanegara karena bentangan hutan mangrove luas dan tertata rapi. Pengelola awal, Tayeb, bahkan pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru bidang penyelamatan lingkungan dari Presiden Soeharto pada 1995.

Namun, kondisi desa berpenduduk sekitar 3.650 jiwa terdiri dari lima dusun ini,  kini tidak seindah dulu. Pesona memudar meskipun mangrove terlihat tumbuh dan terjaga baik, setinggi belasan meter.

Hanya tidak senyaman dulu sebagai kawasan wisata. Jembatan-jembatan kecil untuk menikmati kesejukan kawasaan rusak berat, tak bisa dilalui. Sebagian besar papan tercabut. Warga membuat jalan papan, hanya jangkauan terbatas.

Dulu, tersedia perahu kecil bagi pelancong sekadar menyusuri kawasan rindang ini. Kini, hanya perahu nelayan banyak bersandar.

Tiba di lokasi,  tampak beberapa nelayan sibuk mempersiapkan perahu mesin. Mereka akan berangkat ke Selayar ntuk membeli ikan dari nelayan-nelayan di sana. “Sekarang ikan kurang, harus dibeli dari nelayan-nelayan di Selayar,” kata Basir, seorang nelayan.

Kala Basir tak melaut biasa membeli dari nelayan lain. Dia biasa melaut 5-10 hari dan kadang sampai sebulan.

Sejak beberapa tahun terakhir, katanya, perhatian warga melestarikan mangrove di kawasan itu mulai berkurang. “Sekarang lebih banyak melaut. Mangrove juga banyak rusak. Perhatian pemerintah sudah tak ada. Tak ada lagi petugas berjaga.”

Sebagian besar jalur utama menuju lokasi ini sudah rusak parah. Setelah kasus korupsi pembangunan jalanan kayu ini pada  2007 tak ada upaya lagi memperbaiki. Warga takut memperbaiki karena menganggap itu  wewenang pemerintah. Foto: Wahyu Chandra
Sebagian besar jalur utama menuju lokasi ini sudah rusak parah. Setelah kasus korupsi pembangunan jalanan kayu ini pada 2007 tak ada upaya lagi memperbaiki. Warga takut memperbaiki karena menganggap itu wewenang pemerintah. Foto: Wahyu Chandra

Petta Pala, warga yang dulu banyak terlibat program penghijauan kawasan itu, bercerita, ketika Menteri Kelautan Susi Pudjianti,  berkunjung ke tempat itu hanya bisa sampai di pintu masuk.

“Karena jembatan rusak dan goyang-goyang,” kata pria 81 tahun ini, sambil menunjuk pos di pintu masuk.

Petta bercerita, menanam mangrove mulai 1990-an. Dia bersama warga lain memperluas area tanam hingga ratusan hektar. Luas kawasan itu sekitar 786 hektar. “Setiap hari cari bibit lalu ditanam. Itu awalnya swadaya. Kadang juga ada program pemerintah. Kita sama-sama menanam.”

Petta dan warga lain sempat usaha pembibitan mangrove sebagai lahan bisnis. Mereka mengambil bibit-bibit berserakan, dibibitkan lalu dijual.

Dia hanya beberapa tahun karena makin banyak orang ingin terlibat. Dia memilih bekerja sendiri. Petta memiliki lahan pribadi 1,5 hektar di situ, yang terus ditanami mangrove.

Menurut dia, meski tak terawat tetapi warga tetap menjaga mangrove. Ada larangan menebang. “Dilarang menebang kalau dihabiskan. Kalau dipakai sedikit tidak masalah tapi harus ditanam lagi supaya tak kosong. Siapa yang rugi kalau banyak ombak? Masyarakat sendiri. Ini untuk masyarakat.”

Tidak hanya menjaga desa dari terjangan ombak, ekosistem mangrove sebagai sumber penghidupan warga. Mereka budidaya rumput laut. Di sela-sela akar mangrove juga banyak kepiting dan ikan yang bisa dikonsumsi ataupun dijual.

Namun, Petta tak memungkiri ada warga mengambil melebihi kebutuhan hingga menyebabkan kerusakan.“Mungkin ada tebang banyak pohon, tapi tidak ketahuan.”

Jasmadi Akbar, warga setempat juga mahasiswa STISIP Muhammadiyah, mengatakan, konon kata Tongke-tongke berasal dari ‘toke’ sebutan bagi pedagang keturunan Tionghoa.

“Kampung ini terkenal tempat tinggal para toke,  maka orang menyebut kampung toke menjadi Tongke-tongke, meski banyak juga warga Bugis di sini.”

Tongke-tongke, katanya, dikenal luas karena kaya biota laut dan mangrove. Kawasan ini dulu laboratorium alam bagi peneliti.

Daerah ini pernah menjadi sasaran Field Work Program (FWP) kerjasama tim JICA dan Ausaid karena keindahan alam dan biota laut. Biota laut seperti kepiting, benur, nener, udang, biri, tiram. Beragam jenis ikan bisa ditemukan seperti sunu, baronang, bandeng, cakalang, bua-bua, ikan terbang dan teri.

Jasmadi optimistis, pengembangan Tongke-tongke. Dia yakin,  setelah kunjungan Menteri Kelautan berdampak pada perhatian pemerintah menata kembali kawasan itu.

Sisa-sisa keindahan kawasan ini masih terlihat meskipun kondisi sudah tidak senyaman dulu lagi. Kepedulian warga mulai berkurang merawat kawasan ini meski potensial sebagai obyek wisata. Foto: Wahyu Chandra
Sisa-sisa keindahan kawasan ini masih terlihat meskipun kondisi sudah tidak senyaman dulu lagi. Kepedulian warga mulai berkurang merawat kawasan ini meski potensial sebagai obyek wisata. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,