,

Turunkan Emisi Karbon, 20 Komunitas Pakai Standar Plan Vivo. Efektifkah?

Tak kurang dari 20 komunitas yang tergabung dalam The Indonesia Community Payment for Environment Service (PES) Consortium atau Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia, telah difasilitai untuk mengikuti program penurunan emisi karbon berbasis masyarakat. Dalam proses penurunan emisi karbon ini, mereka menggunakan standar Plan Vivo untuk memudahkan pengukurannya.

Hal ini dikemukakan oleh Arif Aliadi, Ketua konsorsium ini pada saat workshop dan konferensi pers di Jakarta, pada Kamis (05/03/2015), yang dihadiri oleh Yetti Rusli Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Chris Stephenson Direktur Plan Vivo, dan Victoria Gutierrez Direktur We Forest.

Arif mengatakan program ini diharapkan dapat berkontribusi dalam implementasi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).  Selain itu, program ini juga diharapkan dapat memberi manfaat berupa nilai tambah yang berasal dari besaran emisi karbon yang berhasil diturunkan oleh komunitas. “Agar dapat diapresiasi, maka besaran emisi karbon akan diukur dengan menggunakan standard Plan Vivo,” kata Arif.

Program ini memfasilitasi masyarakat pengelola hutan untuk mengintegrasikan rencana pengelolaan hutan yang mereka buat termasuk rencana melindungi hutan dengan strategi penurunan emisi. Program ini juga membantu mereka untuk menghitung besaran emisi yang bisa diturunkan.

Plan Vivo dipilih untuk menghitung besaran emisi karena sudah diterapkan di berbagai negara seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia.  Plan Vivo adalah kerangka kerja untuk mendukung masyarakat dalam mengelola sumber daya alam mereka yang lebih berkelanjutan, dengan tujuan untuk menghasilkan manfaat iklim, mata pencaharian, dan ekosistem

Standar ini di buat oleh organisasi non-profit yang berbasis di Edinburgh, Skotlandia, yang mengembangkan standar yang  ramah terhadap masyarakat dan sistem sertifikasi untuk proyek-proyek lingkungan. Plan Vivo telah disertifikasi lebih dari 10.000 petani hutan, 270 kelompok masyarakat yang mengelola lebih dari 60.000 hektar hutan, dan bersertifikat 1,8 juta ton CO2 offset.

Chris Stephenson menjelaskan capaian target dari penggunakan standart Plan Vivo di berbagai negara tersebut. “Pada 2014, standard Plan Vivo telah digunakan di 29 negara.  Diperkirakan ada USD 8 juta nilai manfaat yang dinikmati oleh 10.000 komunitas pengelola hutan,” ujarnya.

Arif juga menjelaskan fokus dari program ini adalah komunitas pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat, dan Hutan Adat. Sebanyak 20 komunitas tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.  Luas lahan hutan yang masuk dalam program penurunan emisi gas rumah kaca berbasis masyarakat mencapai sekitar 69.300,12 ha, yang melibatkan 17.002 Kepala Keluarga.

Sedangkan Yetti Rusli menjelaskan program penurunan emisi berbasis masyarakat sejalan dengan RAN GRK di sektor kehutanan, khususnya kehutanan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah telah menentukan target volume emisi gas karbondioksida (CO2) yang harus diturunkan.

“HKm diharapkan dapat berkontribusi untuk menurunkan emisi sebesar 91,75 juta ton CO2 dari areal seluas 2,5 juta ha. Sedangkan Hutan Desa diharapkan dapat berkontribusi mengurangi emisi sebesar 9,18 juta ton CO2 dari areal seluas 250 ribu ha.”

Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut
Hamparan sawah masyarakat yang berdampingan dengan kawasan hutan di Nagari Kajai, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubut

Beberapa waktu lalu, Kepala Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, San Afri Awan juga menegaskan dukungan pemerintah untuk memberikan akses pemanfaatan hutan untuk masyarakat. Dia mengatakan pemerintah akan memberikan prioritas pemanfaatan pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat, dan Hutan Adat.

“Selama ini rakyat baru menikmati 0,8 persen atau sekitar 1,3 juta hektar hutan, sedangkan untuk perusahaan sudah menikmati hingga 35 juta hektar. Kita stop dulu untuk perusahaan,” ujarnya dalam Diskusi Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Kedaulatan Pangan. Untuk prosesnya akan dilakukan sesederhana mungkin dengan pendampingan dari lembaga swadaya dan diusahakan dari usulan daerah.

Program penurunan emisi berbasis masyarakat juga didukung oleh We Forest. Lembaga ini akan berkontribusi dalam membangun hutan melalui program rehabilitasi hutan.  Pada 2015 We Forest akan mendukung program rehabilitasi hutan dengan jumlah total bibit 500 ribu bibit.  Pada tahap pertama ini, dukungan akan diawali di empat lokasi. “Harapannya  dukungan dapat dilanjutkan untuk tahun-tahun selanjutnya dengan jumlah yang lebih banyak lagi, “ ujar  Victoria.

Dia juga mengatakan program rehabilitasi hutan sangat penting karena semakin rusak hutan berarti semakin tinggi emisi yang dihasilkan. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan komposisi gas rumah kaca di atmosfer dan berakibat pada  pemanasan global dan perubahan iklim.  Sebaliknya, semakin luas hutan yang dijaga dari kerusakan maka semakin rendah emisi yang dihasilkan, dan pemanasan global dapat dicegah.

Gas karbondioksida adalah salah satu gas rumah kaca yang dapat diserap oleh hutan sehingga gas tsb. tidak terlepas (emisi) ke atmosfir.  Peran hutan untuk mencegah terjadinya emisi adalah salah satu bentuk dari jasa lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,