,

Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru?

Ciliwung saat ini sangat dikenal masyarakat, namun lebih sebagai sungai yang selalu terkait dengan banjir di Jakarta. Rencana Kemenpera dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane untuk melakukan normalisasi sungai (pembetonan) pinggir kali Ciliwung dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru. Bagaimana perkara sebenarnya?

Secara utuh, Ciliwung memiliki luas sekitar 38.610 hektar yang membuatnya dibagi dalam tiga sub daerah aliran sungai (DAS). Ciliwung hulu seluas 15.251 ha (Kab. Bogor dan Kota Bogor), Ciliwung tengah seluas 16.706 ha (Kab Bogor, Kota Bogor, Depok, dan Bekasi), serta Ciliwung hilir seluas 6.295 ha (DKI Jakarta).

Saat ini, kawasan hutan yang merupakan regulator alami tata kelola air tersisa di DAS Ciliwung hanya tersisa 9,7 persen atau seluas 3.693 hektar. Padahal, bila bicara luasan ideal ruang hijau, harusnya sekitar 30 persen dari luas Ciliwung itu sendiri.

Menurut Djati Witjaksono Hadi, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, permasalahan Ciliwung adalah lahan resapan air yang semakin menyempit.

“Jika dikalkulasikan, lahan terbangun di DAS Ciliwung berupa permukiman dan gedung tersebut mencapai 72 persen,” jelas Djati beberapa waktu lalu di Bogor. Meskipun di wilayah DKI Jakarta, tercatat ada lima DAS lain yang turut berkontribusi terhadap banjir:  Angke – Pasanggrahan, Krukut – Grogol, Sunter, Cakung, dan Buaran.

“Namun, DAS Ciliwung lah yang paling besar memberikan limpasan air sekitar 32,3 persen atau 11,4 juta meter kubik/jam. Bila dibandingkan Sunter yang berada diurutan sekitar 21,1 persen atau 7,46 juta meter kubik/jam tentunya masih jauh. “Inilah mengapa Ciliwung begitu ditakuti.”

Menurut Djati, kerusakan lahan tersebut dapat dipetakan dalam tiga bagian sesuai wilayah aliran Ciliwung. Untuk wilayah hulu, kerusakan kawasan disebabkan maraknya pembangunan villa dan pendirian bangunan tanpa izin. Wilayah tengah, dikarenakan adanya  pembangunan perumahan dan perkantoran. Sementara wilayah hilir, daerah ini dipastikan sudah tidak ada lagi ruang terbuka hijaunya dikarenakan padatnya bangunan perumahan di sempadan sungai.

Karena daerah resapan yang sempit inilah mengakibatkan air hujan langsung menuju Ciliwung. Konsekuensinya adalah permukaan air akan meningkat dan banjir tidak dapat dihindari bila curah hujan benar-benar tinggi.

Luasan Ciliwung_Presentasi Djati Witjaksono Hadi

Aliran Ciliwung_Presentasi Djati Witjaksono Hadi
Aliran Ciliwung_Presentasi: Djati Witjaksono Hadi

 

Rencana Normalisasi Ciliwung Lewat Penurapan, Apakah Jalan Terbaik?

Untuk menghindarkan banjir Jakarta, Pemerintah melakukan program dari menggalakkan pembuatan sumur resapan dan biopori (Bogor, Depok, DKI), menggalang gerakan Ciliwung bersih dari sampah, hingga pembangunan hutan kota (Depok dan DKI).

Sesuai dokumen aksi multi pihak penanganan DAS Ciliwung untuk Pengendalian Banjir, secara bertahap Pemerintah akan menyelesaikan normalisasi sungai Ciliwung dengan target pembetonan (penurapan) sepanjang 19 km yang membelah Jakarta dari Jalan TB Simatupang hingga Manggarai. Dana yang dibutuhkan untuk lahan seluas 65 hektar itu adalah Rp 1,8 triliun.

Pembangunan yang ditargetkan selesai 2016 itu terdiri dari empat rangkaian pembangunan yaitu Jalan Casablanca-Kampung Melayu (18 hektar), Kampung Melayu-Jembatan Kalibata (16 hektar), Jembatan Kalibata-Eretan Condet (16 hektar), serta Eretan Condet-Jalan T.B. Simatupang (15 hektar).

Bagi Sudirman Asun, pengamat dan aktivis Ciliwung bersih dari Ciliwung Institute, hal ini tidak akan menyelesaikan masalah malah akan kontradiktif. Pembetonan akan menghalangi resapan air dari daratan menuju sungai. Menurutnya, harusnya sempadan sungai yang kini dipenuhi bangunan permukiman warga yang dibebaskan untuk dijadikan ruang terbuka hijau. Bukan dibeton.

Wilayah pinggir sungai Ciliwung antara Bogor-Depok, masih lebat dengan vegetasi riparian. Foto: Ridzki R. Sigit

Berbeda dengan pembetonan aliran Ciliwung lama maupun kanalisasi Kota Tua, penurapan di segmen TB Simatupang-Manggarai yang memiliki lansekap kontur lebih curam hanya akan membuat air lebih cepat mengalir masuk ke hilir daerah di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.

Akan menjadi masalah, saat air yang masuk ke daerah hilir tidak dapat secara alamiah dibuang ke laut, karena permukaan laut yang lebih tinggi daripada permukaan air sungai. Pada saat pompa folder tidak berfungsi akibat aliran listrik yang diputus PLN, seperti yang terjadi di bulan Februari 2015 lalu, wilayah Jakarta Utara dan hingga Jakarta Pusat mengalami kebanjiran yang parah.

Dalam jangka panjang air yang semakin cepat dialirkan ke hilir ditambah  track record kemampuan maintanance Pemprov DKI yang buruk  dalam perawatan pompa folder dan koordinasi dengan pihak lain, akan mengancam daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara mengalami banjir lain yang lebih parah.

Dari sisi sosial, maka dalam jangka panjang pun pembetonan pun hanya akan menambah masalah, saat warga ramai-ramai mengokupasi bantaran sungai untuk dihuni maupun untuk berusaha.

Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Puncak 1990-2012 yang berpengaruh kepada Ciliwung. Klik pada gambar untuk memperbesar. Sumber: Presentasi Ernan Rustiadi/ P4W IPB

Mengembalikan Fungsi Bantaran Sungai

Eko Kusratmoko, pakar geografi dan keteknikan dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa satu hal yang harus dipahami adalah sebagian besar wilayah Jakarta merupakan lahan basah berupa rawa. Fungsi utama rawa adalah pengatur dan penyimpan air, bukan sebagai daerah resapan.

Sungai meluap atau biasa disebut banjir adalah suatu proses alamiah siklus ekologi pada sungai, hal ini dibuktikan ketika  Jakarta juga mengalami banjir sejak jaman Batavia dulu. Kini yang menjadi persoalan ketika banjir semakin sering terjadi dengan daya rusak lebih besar.

“Masalahnya, rawa [di Jakarta] dialihfungsikan menjadi perumahan, hingga perkantoran menyebabkan air tidak terserap kala hujan deras menerjang. Banjir pun tidak terelakkan akibat air yang mengalir melebihi kapasitas daya tampung saluran yang ada,” jelasnya.

Dengan bencana ekologis yang ada, maka penanggulangan juga harus dilakukan dengan pendekatan perbaikan ekologi seperti pemulihan tutupan hijau resapan air DAS (Daerah Aliran Sungai/ Watershed). Menurutnya, seharusnya jarak sepuluh meter dari tepian Ciliwung tidak diperbolehkan untuk bangunan. Mengingat kemiringan kali beresiko besar terjadinya longsor.

Senada dengan Kusratmoko, Asun menyatakan harusnya konsep DAS yang diterapkan untuk normalisasi ini, yaitu air yang mengalir dari hulu Ciliwung diserap secara maksimal dan untuk selanjutnya dialirkan selambat mungkin. Caranya adalah dengan memperluas areal resapan air yaitu dengan menambah luasan ruang terbuka hijau atau juga memaksimalkan peran situ. “Jadi, mindset yang menganggap air itu sebagai sumber bencana diubah menjadi air sebagai sumber kehidupan,” jelasnya.

Sepanjang aliran yang akan diturap beton yaitu TB Simatupang-Manggarai, sebenarnya masih cukup didominasi oleh kebun warga yang cukup rimbun. Penurapan pinggiran kali dikuatirkan akan menghadangi sirkulasi hidrologi resapan air tanah. Padahal seharusnya Pemerintah seharusnya merevitalisasi wilayah riparian sungai di wilayah yang akan diturap. Termasuk mengembalikan flora dan fauna yang ada sebagai pendukung ekosistem Ciliwung.

Ciliwung Institute Penurapan
Rencana Proyek Penurapan Sungai Ciliwung. Foto: Ciliwung Institute

Di sisi kiri kanan wilayah riparian Ciliwung zona Bogor – Depok berdasarkan penelitian merupakan habitat hidupan liar dimana tercatat 105 spesies dari 36 famili dapat dimaksimalkan perannya sebagai wilayah tangkapan air dan pengontrol erosi serta sedimentasi. Penguatan bantaran seharusnya dilakukan lewat pendekatan bio-engineering seperti beronjong (penguatan tebing dengan kawat berisi batu kali) dan penanaman pohon di sempadan sesuai dengan PP no 38/2011 tentang Sungai.

“Betonisasi ini justru hanya mempercepat pemindahan air ke hilir. Padahal, persoalan ini harus dilihat secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir. Jangan dilakukan sepihak saja, persoalan ada di tata ruang, yang bermasalah itu wilayah Ciliwung hulu karena resapannya rusak,” jelas Asun mengakhiri pernyataaan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,