,

Solusi KNTI untuk KKP dalam Penyelesaian Polemik Cantrang

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyayangkan lambannya pemerintah mengambil tindakan antisipatif penyelesaian polemik penggunaan alat tangkap cantrang hingga menyebabkan meluasnya aksi massa dan lumpuhnya jalur Pantura Jawa beberapa waktu lalu. KNTI menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri, sembari mengawal proses transisi berjalan optimal.

Kepala Bidang Penggalangan Partisipasi Publik KNTI, Misbahul Munir mengatakan, sejak awal KNTI mendukung efektivitas pelarangan penggunaan alat tangkap merusak di seluruh perairan Indonesia. Maka, harus dilakukan dengan cara benar dan terukur.

Sejumlah dokumen menunjukkan upaya peralihan penggunaan cantrang sudah dilakukan sejak 2005. Namun sejak saat itu pula pemerintah dan pemerintah daerah tidak mengawal proses peralihannya. Indikasinya temuan KNTI yakni pemerintah justru dengan sadar mencatat hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal cantrang sebagai bagian dari prestasi peningkatan produksi ikan nasional, penggunaan cantrang sebanyak 3.209 unit di 2004 meningkat 5.100 unit di 2007 dan sekarang diperkirakan lebih dari 10 ribu unit dari Jawa Tengah.

“Tindakan pemerintah membiarkan polemik cantrang pada lebih dari sebulan terakhir, tidak dapat dibenarkan,” kata Munir, kepada Mongabay pada Senin, (16/03/2015).

Ia menambahkan, sedikitnya 100 ribu jiwa terkena dampak langsung dan lebih 500 ribu jiwa lainnya terkena dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas Anak buah kapal (ABK) kapal penangkap iakn. Pemenuhan hak-hak dasar warga yang dilindungi oleh konstitusi nyaris terabaikan.

Belajar dari masa lalu, dan guna  memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, KNTI meminta pemerintah pusat untuk mengawal secara penuh masa transisi, dengan langkah-langkah berupa bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran. Proses tranparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait status merusak atau tidaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya.

“Mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan,” tambah Munir.

Selain itu, perlu menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan, menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru, bekerjasama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat.

Pemda juga perlu menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan adanya standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan yang menjadi amanat dari UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan. KNTI mengusulkan kepada KKP untuk mengintegrasikan perjanjian kerja antara pemilik kapal dengan ABK masuk sebagai syarat perizinan (SIUP/SIPI/SIKPI) dapat terbit.

“Selama proses transisi, bersama pemerintah daerah menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak,” kata Munir.

Selain itu menurut Munir, perlu memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah pengelolaan nelayan tradisional dalam rencana onasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota pesisir.

Dala masa transisi, perlu dipastikan agar semua pihak dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan terjadi kriminalisasi dan di masa transisi KKP dan pemdan bersama-sama mempersiapkan mekanisme rehabilitasi dari ketergantungan alat tangkap yang merusak menjadi menjadi alat tangkap yang ramah lingkungan

“KNTI percaya bila langkah solutif itu dilakukan maka cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia mulai diletakan pada dasar yang benar. Sebaliknya, bila persoalan cantrang ini terus berlanjut tanpa solusi yang tepat maka poros maritim kembali hanya menjadi jargon politik yang melenceng dari spirit keadilan sosial dan kebaharian bagi seluruh nelayan Indonesia,” tutup Munir.

Strategi Pembangunan Perikanan Berkelanjutan oleh KKP

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyusun arah kebijakan dan sasaran Rencana Strategi (Renstra) untuk lima tahun kedepan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019.

Pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun kedepan diarahkan untuk memenuhi tiga pilar yang saling terintegrasi, yakni kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kemakmuran (prosperity), kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti usai membuka kegiatan Konsultasi Publik Rancangan Renstra KKP dengan Stakeholder di Jakarta, Rabu, 11 Maret 2015, seperti dikutip dari rilis yang diterima Mongabay, Jumat 13 Maret 2015.

Menurut Susi, tiga pilar dalam visi KKP yakni ‘Terwujudnya Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berdaulat, Mandiri dan Berkelanjutan untuk Kemakmuran Rakyat’. Selanjutnya, arah kebijakan dan program pembangunan kelautan dan perikanan akan menjabarkan tiga pilar tersebut ke dalam sasaran strategis dan program-program KKP.

“Rancangan Renstra akan ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan paling lambat setelah diterbitkannya peraturan tentang RPJMN 2015-2019,” kata Susi Pudjiastuti.

Ia menambahkan, rancangan strategi pembangunan kelautan dan perikanan disusun dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk melalui konsultasi publik untuk menggali masukan. Penyusunan rencana strategis melalui konsultasi publik ini melibatkan berbagai stakeholder, antara lain akademisi, asosiasi dan perbankan, Kementerian/Lembaga dan Pemda, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.

“Kami mengharapkan dapat dilaksanakan diskusi yang produktif untuk memberikan bahan masukan terhadap rencana pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun mendatang, mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia,” jelas Susi.

Dalam kerangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, KKP telah menetapkan beberapa strategi kebijakan. Salah satunya dengan meningkatkan kemandirian dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Strategi yang dilaksanakan mencakup pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, meningkatkan kepatuhan (compliance) pelaku usaha kelautan dan perikanan, penataan perizinan usaha perikanan, penerapan manajemen kuota penangkapan, perlindungan dan penangkapan spesies tertentu.

Selanjutnya, larangan terhadap ekspor benih ikan tertentu (sidat dan lobster), perlindungan spawning ground, rehabilitasi ekosistem pesisir dan pengelolaan kawasan konservasi perairan, pengaturan alat tangkap ramah lingkungan serta strategi lainnya.

Selain pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut, KKP telah juga menetapkan strategi kebijakan lainnya, yakni meningkatkan daya saing dan keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan bagi kemakmuran masyarakat.

“Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi inovatif yang berkepribadian, serta membangun kemandirian pemerintah guna mewujudkan pranata, nilai-nilai dan jati diri kelembagaan yang bersih, efektif, transparan dan akuntabel,” tutup Susi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,