,

Saat DJ Cantik Ninda Felina Belajar Tentang Kebakaran Hutan

Di sela-sela kemacetan rimba beton Jakarta akhir Februari lalu, Ninda Felina, model cantik yang juga DJ (disc jockey) terbang ke Pekanbaru, Riau. Bukan untuk melarikan diri dari keriuhan ibu kota, nominator Uprising DJ of the year versi Paranoia Awards 2014 ini justru blusukan ke pedalaman hutan gambut, tepatnya  di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Kepulauan Meranti, Riau.

Ninda adalah satu di antara empat host film dokumenter pendek yang diproduksi Greenpeace Indonesia pada tahun lalu. Di seri film berjudul Wajah Generasi ke 13, Ninda menyusuri hutan milik masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbahas, Sumatra Utara. Namun hutan ini diklaim oleh PT Toba Pulp Lestari setelah memperoleh izin perluasan areal dari Kementrian Kehutanan.

Berdasarkan izin perluasan inilah kemudian perusahaan menghancurkan pohon-pohon kemenyan yang sudah dijaga oleh 13 generasi. Kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan kemenyan pun turut hancur. Konflik pun pecah. Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM) turun tangan. Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Humbang Hasundutan ikut menyelidikinya. Hasilnya terdapat tiga rekomendasi yang tertulis dalam Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005. Diantaranya tanah adat harus dikeluarkan dari konsesi TPL. Tapi hingga saat ini tidak ada kelanjutannya.

Usai makan malam di hari terakhirnya di Pekanbaru akhir Februari lalu, Ninda menceritakan pengalaman blusukannya kepada Mongabay Indonesia.

Mongabay : Bagaimana, lelah? 

Ninda : Hmm… Untung ada petai, hahaha….. (Usai keluar dari hutan, Ninda berulang kali minta dicarikan petai)

Mongabay : Bagaimana awalnya bisa berhubungan dengan Greenpeace?

Ninda : Gue punya sepupu, dia join sama Greenpeace. Pas pertama kali jalan sama Greenpeace itu gue diajak sebagai host untuk mengangkat silent heroes. Kita membahas pahlawan yang tidak terkuak oleh media. Jadi dari situ ya udah jadi naluri aja sih gabung sama Greenpeace.

Mongabay : Pandangan kamu terhadap Greenpeace?

Ninda : Yang gue tau, (Greenpeace) organisasi yang ramah lingkungan, organisasi tentang lingkungan, tapi ya I dont really that care with Greenpeace karena ya memang  gue belum tau. Gue belum terlalu peduli, tapi setelah gue join beberapa trip Greenpeace jadi mulai  tertarik tuk gabung. Tertariknya kenapa? Basic-nya gue suka lingkungan, gue suka adventure, gue suka traveling, jadi kayak tiga segment itu jadi satu. Semuanya gue dapat. Tentang kulturisasi, tentang budaya, tentang lingkungan apalagi, ramah-tamah dengan masyarkat, jadi semuanya gue dapat.

Mongabay : Apa reaksi orang terhadap kamu?

Ninda : Dari trip gue pertama dengan Greenpeace, dari situ beberapa teman gue yang menurut gue sangat apatis dengan lingkungan sudah  mulai tertarik dengan melihat perjalanan gue, dengan mendengar cerita gue apa sih Greenpeace, apa yang lu lakukan di dalam sana, apa yang lu kerjakan. Dengan gue ikut ini, jadi automatically menarik orang untuk tau.

Ninda Felina di hutan gambut Desa Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepualuan Meranti, Riau, pada 26 Februari 2015. Foto: Greenpeace
Ninda Felina di hutan gambut Desa Sungai Tohor, Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepualuan Meranti, Riau, pada 26 Februari 2015. Foto: Greenpeace

Mongabay : Pengalaman berkesan?

Ninda : Yang paling berkesan itu ya di saat gue melihat  bagaimana perjuangan mereka bertahan hidup, semenjak gue bergabung dengan Greenpeace gue jadi berpikir dengan cara yang lain. Khan biasanya gue berpikiran dengan cara yang normal, yang standar aja, tapi semenjak gue  joint, gue jadi kayak memikirkan lebih dalam lagi tentang bagaimana menghargai proses.

Mongabay : Apa yang ingin kamu sampaikan ke masyarakat tentang Silent Heroes?

Ninda : Belajarlah menghargai lingkungan sekitar. Belajarlah menghargai proses yang tidak kelihatan. Belajar untuk peduli.

Mongabay : Ke Riau dalam rangka apa?

Ninda : Belajar tentang kebakaran hutan gambut. Pelajarannya banyak banget. Gue tuh ndak tahu sama sekali tentang hutan gambut. Tapi kemarin setelah terjun ke lapangan gue tau apa itu hutan gambut. Bagaimana sensitifnya si lahan gambut itu kalau kita tidak bisa memeliharanya dengan baik.

Mongabay : Tadi sempat wawancara dengan ibu-ibu di Pekanbaru soal kebakaran hutan, kalau kamu jadi dia, apa yang akan kamu lakukan? (Saat Ninda wawancara dengan seorang ibu satu anak di Pekanbaru, si ibu mengatakan banyak orang tua yang sudah siap siaga menghadapi musim asap dari kebakaran hutan. Di antara kesiapan itu adalah mencuci masker yang tahun lalu dipakai untuk mengantisipasi paparan partikel kabut asap)

Ninda : Kalo gue jadi ibu itu, belum tentu bisa sekuat beliau itu. Mungkin gue udah pindah kali dari sini. Yang sangat gue salut, dia masih bertahan. Mungkin karena ya lapangan pekerjaan dia ya di sini. Jadi mau ndak mau menjalankan kehidupan dengan bayangan asap bertahun-tahun.

Ninda Felina bersama seorang ibu warga Pekanbaru dan anaknya yang langganan terpapar partikel kabut asap pada setiap musim kebakaran hutan, 27 Februari 2015. Foto: Greenpeace
Ninda Felina bersama seorang ibu warga Pekanbaru dan anaknya yang langganan terpapar partikel kabut asap pada setiap musim kebakaran hutan, 27 Februari 2015. Foto: Greenpeace

Mongabay : Apa yang ingin kamu sampaikan ke orang-orang di Jakarta tentang ibu-ibu itu?

Ninda : Belajar cari thau, kalau kita sudah tahu, lama-lama bisa peduli. Karena dari hal kecil itu bisa menjadi besar dan itu bisa berdampak kepada sekitar kita dan itu belum tentu baik. Tolonglah hargai. Mulailah peduli pada lingkungan kita.

Mongabay : Pemerintah harusnya bagaimana?

Ninda : Pemerintah harus benar-benar membenahi ini semua. Benar kata ibu Wiek tadi ya, memang harus ada hukuman bagi pelaku yang membuat kebakaran itu semakin buruk.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,