,

TNBBBR, Rumah Nyaman Bagi Orangutan Kalimantan

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) yang lokasinya berada di kabupaten Sintang dan Melawi (Kalimantan Barat), serta Katingan (Kalimantan Tengah) kini akan menjadi rumah yang nyaman bagi orangutan kalimantan. Sejumlah orangutan yang telah direhabilitasi, akan dilepasliarkan di kawasan konservasi seluas 181.090 hektar ini.

Penandatanganan kerja sama antara TNBBBR dengan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), penanggung jawab terhadap pelepasliaran tersebut, dilakukan di Kantor Balai TNBBBR di Nanga Pinoh, Melawi, yang disaksikan langsung Wakil Bupati Melawi, Panji, pertengahan Maret lalu.

Kepala Balai TNBBBR, Bambang Sukendro, mengungkapkan kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari kesepahaman antara Kementerian Kehutanan sebelumnya dengan YIARI.

“Dalam pelestarian orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), ada tiga langkah yang harus dilakukan yaitu penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasan ke alam liar. Pihak TNBBBR memfasilitasi pelepasan orangutan di taman nasional ini,” ujarnya.

Bambang mengungkapkan, ada beberapa hal yang ingin dicapai dari kerja sama ini. Diantaranya adalah pendayagunaan TNBBBR sebagai lokasi pelepasan orangutan kalimantan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan penyelamatan, perlindungan dan konservasi satwa liar, serta edukasi pada masyarakat pentingnya melestarikan orangutan di taman nasional.

“Kerja sama ini diawali dengan kajian kelayakan habitat, survei sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, serta survei masyarakat yang berada di sekitar taman nasional,” tuturnya.

Bambang mengatakan dukungan Pemerintah Kabupaten Melawi sangat dibutuhkan pada program yang berlangsung hingga lima tahun ini. Bila program berhasil, pelepasliaran akan berlanjut hingga orangutan kalimantan benar-benar nyaman di TNBBBR.

Ketua YIARI, Tantiyo Bangun, menuturkan pemilihan TNBBBR sebagai lokasi pelepasliaran orangutan kalimantan karena wilayah berhutan di taman nasional ini masih baik. “Aksesnya mudah dan potensi pengembangan ekowisatanya menjanjikan. Kami akan memulainya dari Melawi,” ujarnya.

Tantiyo menjelaskan, tahun pertama ini, jumlah orangutan yang akan dilepasliarkan sebanyak lima individu. Diikuti dengan jumlah yang sama di tahun berikutnya. “Orangutan tersebut telah menjalani rehabilitasi di Ketapang yang dulunya pernah dipelihara atau juga yang berhasil diselamatkan dari perkebunan. “Diperkirakan, total orangutan kalimantan saat ini sekitar 42 ribu individu yang habitatnya terus terancam akibat pembukaan hutan untuk perkebunan atau juga karena kebakaran.”

Peta Distribusi Orangutan di Indonesia. Sumber: www.forina.or.id

Wakil Bupati Melawi, Panji, menegaskan komitmen Pemerintah Kabupaten Melawi dalam mendukung konservasi orangutan ini. “Sudah seharusnya banyak pihak yang peduli terhadap persoalan ini. Karena pada prinsipnya, lingkungan hidup adalah bagian dari hidup kita yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.

Panji juga menegaskan dirinya sangat membenci orang yang membunuh orangutan, baik karena alasan ekonomi maupun karena keserakahan. “Kita juga berharap konservasi orangutan bisa dilakukan di wilayah lain, seperti Bukit Saran, yang dulunya banyak orangutan namun kini berkurang akibat diburu.”

Sukartaji, Direktur Suar Institute, lembaga lokal di Melawi yang fokus terhadap isu-isu lingkungan mengungkapkan, lembaganya pernah melakukan survei orangutan di sejumlah desa dan kecamatan di Melawi melalui metode wawancara. “Dari wawancara itu diketahui, keberadaan orangutan masih ada di sejumlah kawasan hutan yang jauh dari pemukiman warga,” jelasnya.

Tahun 2013 juga, Suar menemukan sarang orangutan saat melakukan survei nilai konservasi tinggi (NKT) hutan di wilayah Desa Senempak dan Poring, Kecamatan Pinoh Selatan. Hutan Poring dinilai memiliki NKT lengkap karena sejumlah satwa dilindungi masih berada di wilayah tersebut.

Hutan Poring yang berada di Desa Poring, Kecamatan Pinoh Selatan, Kabupaten Melawi tidak hanya kaya akan flora dan fauna khas Kalimantan tetapi juga berfungsi sebagai sumber mata air. Foto: Eko Susilo

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,