,

Banjir Lima Tahunan Adalah Berkah bagi Warga Pulokerto Palembang. Benarkah?

Setiap lima tahun, sebagian besar kawasan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang dan Sungai Buluh, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dipastikan tergenang air. Tingginya dapat mencapai 1-2 meter. Bagi masyarakat di luar daerah tersebut, banjir adalah bencana. Tapi, tidak bagi masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai berkah. Kenapa?

“Selama puluhan tahun, sejak leluhur kami di sini, saat musim air pasang yang waktunya dapat mencapai dua bulan, adalah masa bagi kami mengumpulkan ikan yang dibawa air luapan Sungai Musi,” kata Mang Amir (50), warga Desa Sungai Buluh, Kecamatan Sukarela, Kabupaten Banyuasin, Rabu (25/03/2015).

Desa Sungai Buluh letaknya berbatasan dengan Desa Sungai Air Hitam, Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang. Pembatas dua wilayah ini adalah Sungai Semai, anak Sungai Musi. Meskipun berbeda pemerintahan, tapi kondisi alamnya sama, masih satu hamparan. “Bahkan sebagian besar warga di desa kami dengan Desa Sungai Air Hitam masih satu keluarga,” katanya.

Wilayah ini berada di tepi Sungai Musi. Sekitar 500 meter dari Sungai Musi, wilayahnya berupa rawa, yang saat ini dijadikan persawahan dan perkebunan. Sekitar 1-3 kilometer dari Sungai Musi, berupa perbukitan. Saat ini sebagian besar perbukitan ini sudah dijadikan perkebunan karet dan sawit, sejak tahun 1980-an. Hanya sebagian yang masih berupa hutan.

Setelah banjir menyusut, kolam jebakan ikan yang  dibuat warga di area perkebunan dan sawah, akan dipenuhi ikan air tawar. Seperti ikan gabus, sepat, baung, betok, lais, patin, dan lainnya.

“Masa menangkap ikan ini disebut masa berkarang. Ikan-ikan yang didapatkan selain dijual ke pasar, juga dikonsumsi dan dibuat ikan asin,” kata Mang Amir.

Berkarang ini dilakukan warga secara berkelompok. Biasanya, setiap kolam jebakan dimiliki oleh tiga hingga lima keluarga. Dari anak-anak hingga nenek turut berkarang.

Masa banjir atau tergenang ini mulai Desember hingga Januari. Berkarang dilakukan pada bulan Maret dan April. “Tahun ini masa banjir besar itu akan terjadi. Terakhir pada 2010 lalu, berton ikan dihasilkan dari sini,” ujarnya.

Sebulan lalu, warga berkarang ikan di rawa ini. Bulan depan, di lokasi ini pula akan ditanami padi. Foto: Herwin Meidison
Sebulan lalu, warga berkarang ikan di rawa ini. Bulan depan, di lokasi ini pula akan ditanami padi. Foto: Herwin Meidison

Aroma bau karet

Sebenarnya wilayah Pulokerto maupun Sungai Buluh, sangat berpotensi menjadi objek wisata agro. Di wilayah ini kita akan menemukan masyarakat khas tepian Sungai Musi. Mereka menetap di rumah panggung. Aktivitas mereka, selain dari bersawah dan berkebun, juga mencari ikan. Tidak heran, saat menyusuri Sungai Musi didapatkan pemandangan berupa sawah yang hijau atau menguning, lalu beberapa warga sibuk mencari ikan atau udang.

Karena kondisi alam, hampir setiap rumah memiliki perahu. “Sepeda motor maupun mobil tidak menggusur perahu. Sebab jika musim banjir, hanya perahu yang dapat digunakan di sini,” kata Ferdi Semai, seorang warga Palembang, yang menjadi petani di Desa Sungai Air Hitam, selama dua tahun ini.

Tetapi potensi wisata alam khas masyarakat tepian Sungai Musi itu, sedikit terganggu oleh keberadaan pabrik pengolalan karet yang berada di sepanjang tepian Sungai Musi di Kecamatan Gandus.

Bukan karena aktivitas pengangkutan karetnya, tapi aroma pesing yang dikeluarkan dari pengolahan karet tersebut. Aroma ini setiap saat tercium saat kita melintasi kawasan Gandus. Akibatnya warga sangat malas untuk berwisata ke daerah tersebut.

“Menurut saya, pemerintah harus meminta para pemilik pabrik karet untuk menggunakan teknologi yang mampu menyerap polusi aroma tersebut. Sehingga siapa pun yang ke sini, termasuk warga di sini, tidak lagi diserang aroma yang dapat membuat kepala pusing,” kata Ferdi.

Hulu Sungai Semai ini akan menuju ke Sungai Musi. Masyarakat sekitar memberikan nama Semai sebagai penghargaan kepada Ferdi Semai atas kepeduliannya terhadap pengelolaan lingkungan. Foto: Herwin Meidison

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,