, ,

Menjaga Kampung Onggaya

Kampung Onggaya, terletak di bagian timur Merauke, masuk Distrik Noukenjerai. Ia berada persis berhadapan dengan Laut Arafura,  berbatasan dengan Autralia dan Papua New Guinea. Kampung dengan 4.001 jiwa ini memiliki pantai cukup panjang hingga menjadi salah satu obyek wisata. Pantai berpasir putih. Kulit kerang berbagai ukuran berhamparan di tepian. Ia menjadi pandangan menarik di kampung ini.

”Dilarang menggali pasir di kawasan Pantai Wisata Kampung Onggaya Disrik Naukenjerai Kabupaten Merauke.” Begitulah plang peringatan kala memasuki kawasan pantai ini. Ada juga papan larangan menebang pohon.

“Papan larangan itu dirikan Kepala Kampung Onggaya atas kesepakatan warga,” kata Yustina Rumra, warga setempat. Tujuan mereka agar kawasan pesisir pantai tak rusak.

Selain memberikan keindahan pemandangan, pantai ini juga tempat warga mencari sumber pendapatan, terutama para perempuan. Tiap hari kala air pasang, Yustina dan perempuan lain membawa penangkap udang kecil terbuat dari nilon hitam. Nilon itu disebut ‘tangguh’. Biasa penduduk memakai alat ini untuk menangkap udang atau ikan.

Kalau ikan agak besar biasa mereka keringkan menjadi ikan asin. Udang halus dijual ke penadah atau buat terasi udang. Dia mengatakan, pemborong biasa datang ke Merauke untuk membeli udang halus per kg Rp10.000. Setiap hari, dia bersama perempuan lain mencari ikan dan udang. Mereka menampung udang halus 15 kg per orang.

Mereka tergabung dalam kelompok Ibu-ibu Namber Bur dan Namber May, dalam bahasa Marind Kanum berarti Satu Hati Satu Tujuan. Kelompok ini binaan Dinas Perikanan dan Kelautan. “Ini hasil jual udang halus ini sumber pendapatan keluarga,” kata ibu tiga anak ini.

Tak hanya terasi atau ikan asin buatan kelompok perempuan ini. Mereka juga memiliki usaha ekonomi rumah tangga dengan produk minyak kelapa, sampai abon.

Kepala Kampung Onggaya Bambang Sokran. Foto: Agapitus Batbual
Kepala Kampung Onggaya Bambang Sokran. Foto: Agapitus Batbual

Abrasi dan menjaga kampung

Sayangnya, kawasan pesisir pantai tempat mereka mencari ikan terus mengalami abrasi. Mangrove yang ditanam tak bertahan lama terkena hantaman ombak. Para ibupun sulit mencari udang.

Bambang Sokran (50), Kepala Kampung Ongaya mengatakan, mereka pernah menanami mangrove mencegah abrasi dan mengundang ikan-ikan dan udang mendekat. Namun, bibit mangrove langsung tercerabut tersapu ombak. “Mangrove ditanam pasti tersapu ombak. Pantai ini labil hingga warga hanya tanam kelapa,” katanya.

Namun, tak membuat mereka menyerah berupaya menjaga pantai ini, salah satu dengan menetapkan berbagai larangan itu. Sokran menceritakan, dulu warga kampung tetangga mengungsi karena abrasi, salah satu karena pasir laut mereka dikeruk. ”Jangan kita lagi. Leluhur dan Tuhan telah menciptakan tanah ini dengan sangat baik hingga jangan dirusak.”

Dia melihat dampak buruk dari penggalian pasir besar-besaran ini seperti di Kampung Nasem, Dusun Ndalir, Kuller dan Tomer.

Untuk itu, Onggaya tak ingin mengalami nasib serupa. Aparat kampung dan Lembaga Adat Kampung Onggaya tegas melarang dan mencegah penggalian pasir ini dan penebangan pohon.

Berkat bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai Taman Nasional Wasur dan Dinas Kehutanan, warga giat memelihata pantai. Mereka juga punya industri rumahan pembuatan terasi, abon, ikan asin dan lain-lain.

Terasi, salah satu produksi kelompok ibu-ibu Kampung Onggaya. Foto: Agapitus Batbual
Terasi, salah satu produksi kelompok ibu-ibu Kampung Onggaya. Foto: Agapitus Batbual
Artikel yang diterbitkan oleh