, , ,

Kala Tambang Abai Reklamasi dan Ciptakan Masalah Lingkungan

Pertambangan di Indonesia menyisakan banyak masalah lingkungan dan sosial. Salah satu,  perusahaan kerab tak mereklamasi bekas tambang hingga lubang-lubang menganga bak danau atau kolam raksasa. Alhasil, seperti di Samarinda, dari 2011-2014, sembilan anak tewas tenggelam di dalam lubang ‘neraka’ buatan manusia itu.

“Lubang tambang menganga dibiarkan begitu saja tanpa ada papan peringatan. Anak-anak bebas main. Kita berharap jangan sampai ada korban lain lagi,” kata Mareta Sari, divisi riset dan pendidikan Jatam Kaltim saat berdiskusi di Jakarta, Rabu (25/3/15).

Dia mengatakan, 71% luas Samarinda sudah menjadi 52 izin pertambangan. Hingga ruang gerak masyarakat mendapatkan lingkungan sehat, aman dan bersih berkurang.

“Ancaman tidak hanya terjadi bagi kalangan dewasa juga anak-anak. Tambang bersinggungan langsung dengan pemukiman warga. Air bersih, udara sehat dan tanah pertanian terancam. Ini sengaja dilakukan pemerintah daerah dan pengusaha.”

Mareta mengatakan, Samarinda tidak layak ditempati manusia. Ketersediaan air bersih kurang sampai ada warga mengambil air lubang bekas tambang. Padahal, kotor dan beracun.

“Pemerintah Samarinda tak serius menangani ini.  Padahal walikota menyatakan Samarinda kota layak anak,” katanya.

Dia heran mengapa aturan reklamasi tak jalan pemerintah diam saja. Padahal, ada peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2010 soal kewajiban reklamasi. Ada juga peraturan menyebut lokasi pertambangan harus berjarak minimal 500 meter dari pemukiman warga. Faktanya, banyak lokasi pertambangan, berjarak hanya 50 meter.

Merita menilai, peraturan terkait kewajiban reklamasi masih lemah. Begitu juga penegakan hukum. Hingga ada celah perusahaan melanggar dan mengelak dari kewajiban.

“Ibu korban ingin ada penegakan hukum. Dia hanya ingin lubang tambang ditutup agar tak ada korban. Jangan ada lagi pemberian izin bagi perusahaan pertambangan merusak. Pertambangan jangan di dekat pemukiman.”

Beberapa waktu lalu, ibu korban tambang mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) juga Komnas HAM. Jatam juga melayangkan surat kepada kapolri mempertanyakan kinerja kepolisan.

Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jatam Nasional mengatakan, peraturan pemerintan terkait kewajiban reklamasi perlu dikritisi kembali. “Keseluruhan peraturan perundang-undangan ini tidak tegas baik UU maupun turunan. Kewajiban apa saja yang harus dilakukan perusahaan, siapa mereklamasi tidak diatur rinci.”

Dalam UU dan turunan, ada mandat membentuk komisi pengawasan reklamasi pasca tambang namun sampai hari ini tidak ada.

Gak heran karena sudah memberikan dana jaminan reklamasi, perusahaan lepas tangan begitu saja. Kalau kita berbicara soal reklamasi dan pasca tambang kan seharusnya bagaimana lingkungan sosial ditinggalkan tambang bisa pulih lagi.”

Selama ini,  perusahaan mengklaim tanggung jawab sosial. Padahal,  itu kegiatan sukarela. “Selain sembilan anak di Samarinda, di Kukar ada empat anak dan dua dewasa di lubang tambang. Jika dibiarkan, pemerintah daerah maupun pusat tak jauh dengan keledai. Masuk ke lubang sama berkali-kali,” katanya.

Tak hanya itu. Dana jaminan reklamasi perusahaan sebagai syarat mendapatkan IUP sebenarnya berpotensi menjadi ladang korupsi.”Menurut Dinas Pertambangan Kalsel, biaya reklamasi pasca tambang itu Rp60 juta per hektar. Siapa yang memegang dana jaminan dan melaksanakan?”

Menurut Bagus, di Kalimantan ada 8.000 izin tambang, tetapi hanya 210 perusahaan memberikan dana jaminan reklamasi. Hasil temuan BPK 2013,  menyebut ada kekurangan pembayaran kepada negara dari royalti, pajak dan lain-lain mencapai Rp94 miliar.

“Kalau dibandingkan reklamasi dengan negara lain, Indonesia jauh tertinggal. Di Australia, perusahaan tambang harus membayar biaya per hektar mencapai $40-100 juta Australia. Sangat jauh.”

Yodisman Sorata, mediator Komnas HAM mengatakan, negara dan korporasi melakukan simbiosis mutualisme salah dalam ekspansi pertambangan. Mereka abai pemenuhan HAM.

“Negara mengincar pajak, retribusi, bagi hasil. Korporasi jelas hanya mengincar keuntungan. Praktik pertambanhan ini tidak mensejahterakan masyarakat sekitar.”

Masalah dalam pertambangan, katanya, karena masyarakat tidak dilibatkan. Relasi sosial dan budaya masyarakat luput dari perhatian pengambil kebijakan.

“Pengawasan ada tetapi tindak lanjut tak ada. Ketika masyarakat dilaporkan proses cepat. Ketika perusahaan dilaporkan, lama.”

Untuk mengatasi beragam masalah ini, Komnas HAM mendorong terbentuk panduan bisnis dan HAM. PBB pada 2011, mengadopsi ini. Di level nasional, Indonesia belum punya.

Menanggapi ini, Asisten Deputi Pertambangan Energi dan Migas KLHK Sigit Reliantoro mengatakan, seharusnya jika reklamasi berjalan benar,lahan bisa bermanfaat bagi masyarakat.

“Kita berkaca pada Malaysia. Lokasi pertambangan premium dekat kota setelah direklamasi bisa jadi pemukiman baru juga perkebunan.”

Dampak penggalian nikel di hutan dan tumpukan ore di jetty menyebabkan air sungai hingga mengalir ke laut berubah warna di Morowali, Sulawesi Tengah. Air tak lagi jernih tapi berwarna orange. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,