Julang Sumba: Mengapa Jenis Enggang ini Ada di Kepulauan Nusa Tenggara?

Inilah satu-satu jenis enggang endemik Indonesia yang ada di kepulauan Nusa Tenggara, tepatnya di Sumba seperti nama yang diberikan kepadanya.  Mengapa ia ada di wilayah ini?

Burung julang dikenal sebagai ‘petani’ dari dalam hutan, burung ini memakan biji-bijian dari dalam hutan dan menyebarkannya ke seluruh wilayah hutan lain. Burung ini juga memakan binatang kecil seperti kadal, kelelawar, tikus, ular dan serangga.

Dari sekitar 57 jenis julang yang ada di dunia, tigabelas diantaranya dapat ditemukan di Indonesia. Julang (nama lainnya: enggang, rangkong, kangkareng, dalam bahasa inggris: hornbill), termasuk dalam famili bucerotidae. Bucerotidae sendiri terambil dari bahasa yunani, yang berarti ‘tanduk sapi’ yang merujuk pada bentuk ciri khas paruh burung ini.

Diantara tiga jenis julang endemis Indonesia, julang sumba (Rhyticeros everetti) terbilang paling unik, karena berada jauh dari daratan lain yang menjadi habitat julang.

Dari segi corak warna, mungkin penampilan julang sumba barangkali dianggap masih kalah dibanding julang sulawesi, namun burung berbulu dominan hitam ini, justru terletak pada keberadaannya di pulau yang sohor dengan kebudayaan megalitikum tersebut. Tidak ada sebaran julang yang dapat ditemukan di pulau-pulau Nusa Tenggara lain.

Berdasarkan salah satu teori yang berkembang, pulau Sumba diduga berasal dari pecahan benua Asia. Sementara pulau-pulau lain di Nusa Tenggara merupakan pulau vulkanis yang terbentuk akibat aktivitas gunung api.

“Karena itu, beberapa jenis burung khas daratan Asia dapat dijumpai di Sumba meskipun jenis-jenis tersebut tidak terdapat di pulau lain di Nusa Tenggara,” jelas Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia.

Sejak terpisah dari benua Asia, jenis-jenis tersebut berevolusi menyesuaikan kondisi alam Sumba sehingga menjadi jenis unik yang endemis. Sayangnya, julang sumba saat ini masuk dalam kategori rentan (vulnerable), karena populasi dan area sebarannya yang kecil.

Populasinya di seluruh Sumba diperkirakan kurang dari sepuluh ribu individu. Meskipun perlindungan terhadap hutan dataran rendah di kawasan konservasi terus dilakukan, tetapi fragmentasi masih tetap terjadi di luar kawasan tersebut. Akibatnya, saat ini diperkirakan terjadi penurunan populasi burung yang dikenal dalam nama lokal goanggali ini hingga sekitar 30-49%.

Burung jantan dan betina mudah dibedakan. Kepala dan leher burung jantan berwarna merah, sedang burung betina memiliki kepala dan leher berwarna hitam. Burung ini memiliki paruh kekuningan dengan kantung leher biru. Panjang burung ini termasuk besar lebih kurang 70 centimeter, dan dapat ditemukan baik secara soliter maupun berkelompok hingga limabelas ekor. Julang sumba ditemukan dari dataran rendah hingga ketinggian 950 m dpl.

Penyelamatan hutan yang tersisa di Sumba dapat membantu menyelamatkan jenis ini dari kepunahan. Sebab, julang sumba sejatinya dapat dijumpai di semua tipe habitat berhutan di Sumba. Burung ini paling sering mengunjungi hutan dataran rendah dengan pohon-pohon besar dan bertajuk rapat, terutama yang berada dalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru (TNMT), salah satu kawasan yang memiliki populasi Julang sumba terbesar di Pulau Sumba.

Dalam artikel kerjasama antara Mongabay-Indonesia dan Burung Indonesia bulan April 2015 ini, Anda bisa mengunduh kalender digital untuk gadget atau komputer Anda. Silakan klik tautan ini dan simpan dalam perangkat anda

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,