,

Walhi Jatim Buat Petisi Tolak Tambang Pasir di Banyuwangi

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengeluarkan Petisi Tolak Ijin Penambangan Pasir Laut oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) di Kawasan Pesisir Banyuwangi. Petisi itu ditujukan kepada Gubernur Jawa Timur Soekarwo, serta Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Petisi yang dibuat sejak 5 hari lalu (03/04/ 2015) di media sosial www.change.org telah ditandatangani oleh lebih dari 3.370 pendukung.

Rere Christanto dari Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim mengatakan, petisi ini dibuat untuk meminta gubernur tidak mengeluarkan ijin pertambangan yang diajukan PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), yang akan menambang pasir di 3 kecamatan di Banyuwangi, yakni Srono, Rogojampi dan Kabat.

“Ijin saat ini belum turun, mereka sedang menunggu untuk mengajukan ijin ke gubernur,  setelah di Kabupaten Banyuwangi tidak bisa mengeluarkan ijin karena kewenangannya di provinsi. Kita minta gubernur menolak permintaan ijin itu,” kata Rere.

PT. TWBI berencana melakukan reklamasi Teluk Benoa dengan menimbun pesisir laut seluas 700 hektar, dengan pasir yang diambil dari wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun usaha pengerukan itu telah ditolak oleh pemerintah daerah dan masyarakat di NTB. Gubernur NTB, M. Zainul Majdi menegaskan bahwa pengerukan pasir akan merusak ekosistem lingkungan di wilayahnya.

Pasca penolakan di NTB, pihak PT. TWBI memilih Banyuwangi sebagai tempat pengerukan pasir untuk reklamasi Benoa. Pantai Muncar yang selama ini dikenal sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia, terancam hancur bila pasir yang ada disana berhasil ditambang untuk reklamasi Teluk Benoa.

“Bagi Banyuwangi sendiri penambangan pasir itu pasti akan merusak seluruh ekosistem pantai dan laut yang ada disana. Jadi masyarakat disana sudah menganggap kalau reklamasi berjalan maka ada banyak hak-hak mayarakat terutama yang di pesisir yang akan hilang. Kalau pasir dibawa ke Benoa, maka itu juga akan menghancurkan struktur ekologi yang ada di Benoa,” terang Rere.

Pengerukan pasir laut di Banyuwangi dikhawatirkan akan mengancam kelestarian kawasan pantai dan laut di wilayah tersebut, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, serta sumber daya hayati yang terkandung didalamnya. Selain ancaman bencana abrasi dan banjir rob, kehancuran ekologi kawasan pantai dan pesisir dipastikan akan menimbulkan dampak yang luas bagi lingkungan seperti hilangnya biota laut, yang menjadi sumber pendapatan masyarakat pesisir.

Menurut data BPS tahun 2014, terdapat 12.714 jiwa yang berprofesi sebagai nelayan di Muncar. Di wilayah Srono, Rogojampi dan Kabat sendiri, setidaknya ada 1.488 warga yang bekerja di sektor perikanan.

“Itu belum termasuk tenaga kerja pada 309 Unit Pengolahan Ikan yang tumbuh di wilayah itu. Di Pelabuhan Muncar terdapat 27 industri penepungan ikan, 13 industri pengalengan ikan, dan 27 unit pembekuan ikan,” tambah Rere.

Pantai Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi yang diincar   sebagai lokasi pertambangan pasir laut. Foto : Petrus Riski
Pantai Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi yang diincar sebagai lokasi pertambangan pasir laut. Foto : Petrus Riski

Ancaman bahaya pertambangan lanjut Rere, dapat dilihat dari contoh nyata bencana ekologi yang terjadi pada sumur pengeboran milik PT. Lapindo Brantas di Porong Sidoarjo. Suatu wilayah harus mengalami bencana besar, hanya karena ketidakmampuan pemerintah untuk membuat tata kelola lingkungan hidup yang terjaga dengan benar.

“Hal-hal seperti ini yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik dan ancaman bencana ekologi dikemudian hari. Itu yang kami tolak di Banyuwangi, agar tidak menjadi pijakan pihak lain untuk membuat yang sama di daerah lain,” tandasnya.

Walhi Jawa Timur akan melakukan gugatan, bila Gubernur Jatim tidak menghiraukan petisi yang dibuat para aktivis lingkungan ini, dengan tetap mengeluarkan ijin penambangan pasir laut di Banyuwangi. Selain mengajukan gugatan, Walhi bersama jaringannya juga akan melakukan aksi untuk menekan pemerintah menolak pemberian ijin penambangan untuk PT. TWBI.

“Kita akan gugat kalau ijin jadi diberikan, kita juga akan terus melakukan aksi penolakan,” imbuh Rere.

Ancaman bencana ekologis akibat aktivitas pertambangan di Jatim menjadi kekhawatiran sendiri bagi Walhi, karena ijin yang diajukan perusahaan pertambangan sudah banyak yang masuk ke pemerintah daerah untuk diproses. Masyarakat diajak untuk menyadari bahwa pembiaran maupun persetujuan aktivitas pertambangan akan membawa dampak yang buruk serta kerugian di pihak masyarakat.

“Pengajuan ijin usaha pertambangan di Jatim cukup massif. Ada 370 lebih ijin usaha pertambangan yang hampir semuanya beririsan dengan ruang hidup rakyat, bahaya yang akan ditimbulkan ini harus diwaspadai masyarakat,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,