Di Indonesia, Harga BBM Masih Tak Cerminkan Kualitas

Sejak Presiden Joko Widodo menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pengguna kendaraan bermotor banyak yang mengalihkan konsumsi BBM ke Pertamax, Pertamax plus, atau BBM impor yang banyak dijual di Jakarta dan kota besar lain.

Namun, pada saat yang sama, masih ada juga yang bertahan dengan tetap menggunakan BBM bersubsidi, salah satunya jenis premium. Harga yang berlaku untuk BBM yang sudah tidak bersubsidi tersebut sepenuhnya mengikuti harga pasar minyak dunia.

Karenanya, walau premium termasuk BBM dengan harga termurah yang dijual Pertamina, tetapi harganya bergerak dinamis setiap hari mengikuti harga minyak dunia. Pengguna BBM premium adalah mereka yang sebelumnya sudah menjadi pengguna premium bersubsidi.

Namun, walau termurah untuk harga BBM produksi Pertamina, kualitas premium masih jauh dari standar yang berlaku di dunia internasional. Saat ini, dengan harga Rp7.400 per liter per Rabu (08/04/2015), kualitas premium masih belum memenuhi standar Euro 1 sesuai World Wide Fuels Charter (WWFC).

Seperti data yang dirilis Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), semakin tinggi level kategori euro, maka semakin bagus kualitasnya. Ada lima tingkatan kualitas BBM. Di Australia, salah satu negara maju yang geografisnya berdekatan dengan Indonesia, BBM yang dijual untuk publik seharga Rp 9.400 per liter, namun kualitasnya sangat baik karena masuk kategori Euro 4.

“Kenapa harga yang berlaku sekarang tidak mencerminkan dari kualitas yang sesungguhnya? Harusnya, Indonesia sudah mengikuti jejak negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam yang sudah menerapkan standar kualitas produksi BBM untuk konsumsi warganya,” kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safruddin, di kantornya di Jakarta pada Rabu (08/04/2015).

Melihat kenyataan itu, Ahmad yang lebih akrab dipanggil Puput mengatakan pemerintah Indonesia sudah seharusnya cepat tanggap karena saat ini Indonesia termasuk negara yang lambat dalam memberlakukan standar kualitas BBM. Bandingkan dengan Thailand yang sudah menerapkan standar kualitas BBM sejak 2012 dan Malaysia memberlakukannya sejak 2014.

Puput menjelaskan penetapan harga BBM bersubsidi di Indonesia selama ini mengacu pada Mild Oil Plats Singapore (MOPS), yaitu penetapan harga dengan mengacu pada harga minyak mentah dunia yang ditambah dengan alpha sebagai profit margin bagi Pertamina. Detilnya, per Maret 2015, harga minyak mentah dunia di level USD 60-70/BBL, maka harga menurut MOPS adalah USD60 sen per liter. Dengan rincian, harga tersebut mencakup bensin kualitas RON 95, kadar benzene maksimal 2,5%, kadar aromatic maksimal 40%, kadar olefin maksimal 20%, dan kadar belerang maksimal 50 ppm. Ringkasnya, BBM dengan acuan MOPS tersebut kualitasnya di atas Pertamax Plus saat ini.

“Namun kenyataannya, acuan tersebut juga tidak sepenuhnya diikuti dalam penerapan harga premium bersubsidi. Karena, premium bersubsidi kualitasnya hanya RON 88, kadar benzene 5%, kadar aromatic 50% dan kadar olein 35%,” papar Puput.

10 Tahun Masih Tetap Sama

Walau saat ini Indonesia dinilai sebagai negara yang lambat dalam mengikuti irama kebijakan BBM berkualitas, namun kenyataannya Indonesia pernah dimasukkan dalam kategori negara yang baik penerapan BBM berkualitas. Pada 1994, Indonesia masih mengungguli negara lain di Asia Tenggara dan bahkan di Afrika untuk kualitas penggunaan BBM. Namun, 10 tahun kemudian, Indonesia sudah disalip oleh negara-negara tersebut karena BBM yang digunakan negara-negara tersebut sudah sangat baik dan mendekati kualitas sempurna.

“Tidak ada perbaikan sama sekali. Yang ada, bahkan terus menurun. Kadar belerang yang ada dalam BBM juga masih tinggi dan itu seharusnya segera diturunkan,” jelasnya. Saat ini, kadar belerang yang ada dalam kandungan BBM di Indonesia masih di kisaran 500-2000 ppm atau jauh dari batas maksimal standar WWFC 50 ppm.

Penerapan Kebijakan Economic Fuels

Untuk bisa mengejar ketertinggalan dari negara lain, Indonesia bisa menerapkan kebijakan Economic Fuels yang sepenuhnya dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dituntut untuk bisa menerapkan Vehicle Emission Standard dengan level Euro 4 atau lebih tinggi, dan penerapan Fuel Economic Standard.

“Jika Indonesia tidak berani menerapkan kebijakan tersebut, maka pada 2019 konsumsi BBM di Indonesia akan meningkat tajam. Untuk bensin diprediksi bisa mencapai 33 juta kilo liter dan solar mencapai 19 juta kilo liter,” tutur Puput.

Namun, dia menegaskan, jika sebaliknya Indonesia berani menerapkan kebijakan Economic Fuels, maka akan ada manfaat yang didapat, yaitu penurunan emisi local air pollution dan global green house gas. Selain manfaat tersebut, Indonesia juga akan mendapatkan keuntungan lain dari penerapan kebijakan Economic Fuels melalui Vehicle Emission Standard, yaitu adanya penghematan anggaran hingga mencapai Rp3.973 triliun yang diprediksi bisa tercapai pada 2030. Sementara, untuk penerapan 10% efisiensi BBM, Indonesia akan mendapatkan manfaat ekonomi hingga Rp4.400 triliun pada 2030.

“Tentunya dengan penerapan kebijakan ini, daya saing industri otomotif di pasar Asia Tenggara akan meningkat tajam,” tandas Puput.

Dengan penerapan kebijakan Economic Fuels, pemerintah bisa memaksa industri otomotif untuk mengikuti aturan yang ada, sehingga nantinya setiap produk otomotif yang ada akan sesuai dengan standar kualitas BBM yang berlaku.”Ini akan menguntungkan masyarakat sebagai pengguna produk otomotif dan juga menguntungkan lingkungan. Di samping itu, secara ekonomi juga Indonesia mendapatkan keuntungan,” ungkapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,