,

Ingat Krakatau, Ingatlah Tukirin Partomihardjo

Pulau Sertung tahun 1999. Dua peneliti Indonesia dan beberapa awak film dokumenter asal Inggris tengah berunding untuk memutuskan apakah mereka akan bergerak maju ke pulau aktif Anak Krakatau atau sebaliknya, kembali ke Carita, Banten. Mengingat, dalam dua hari terakhir, sudah tidak ada lagi letusan Anak Krakatau. Peneliti gunung api pun menganggap bahwa Anak Krakatau memang tidak akan meletus lagi.

Tanda-tanda tersebut terlihat dari hujan abu yang telah reda. Berdasar perhitungan dan perkembangan kondisi lapangan, diperkirakan tidak akan ada lagi letusan. Namun demikian, faktor alam dan segala ketidakpastiannya patut diperhitungkan.

Malam itu, diskusi menghasilkan kesepakatan, liputan tetap dilanjutkan, esok pagi. Tim survei awal yang terdiri dari Tukirin dan peneliti vulkanologi ditambah satu awak film akan berangkat lebih dahulu. Tim ini bertugas memastikan lokasi benar-benar aman untuk pengambilan gambar Krakatau.

Pagi datang. Langit cerah, sebagaimana perkiraan. Gelombang laut bersahabat tanpa riak. Menggunakan speedboat karet, tim kecil ini merapat ke daratan Anak Krakatau, sementara awak film yang lain menunggu di atas kapal. Jarak Sertung ke Anak Krakatau sekitar 3 kilometer ke arah selatan.

Namun, baru beberapa saat tim ini menjejakkan kaki, dentuman keras terdengar. Anak Krakatu yang dianggap telah berdamai, ternyata memuntahkan lava pijarnya. Abu vulkanik penyelimuti angkasa. Langit berubah gelap.

Kerikil panas berhamburan di udara. Keluar dari kepundan, mendesing bak peluru. Tidak ada tempat berlindung dan tiada pula pepohonan yang mampu melindungi. Lingkungan sekitar hanyalah hamparan pasir dan tebaran abu  vulkanik.

Setengah jam, tim bertahan menghadapi murka alam. Dalam kondisi kritis, setegar mungkin mereka bertahan di hamparan pasir, menutupi sekujur tubuh dengan mantel. Tak lupa, berdo’a pada sang Pencipta dan pasrah “mengikuti” kehendak alam.

“Itu pengalaman paling menegangkan yang pernah saya rasakan selama 34 tahun menjadi peneliti Krakatau. Syukurlah, semua selamat. Bagi saya, kondisi seperti itu, harus siap saya hadapi,” kenang Tukirin Partomihardjo, saat ditemui di ruang kerjanya, Gedung Botani LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Cibinong, Bogor, Senin (6/4/2015).

Inilah anak Krakatau. Foto: Dok. Tukirin
Inilah Anak Krakatau. Foto: Dok. Tukirin Partomihardjo

Tegakan cemara laut merupakan vegetasi utama di Anak Krakatau. Foto: Dok. Tukirin

Tegakan cemara laut merupakan vegetasi utama di Anak Krakatau. Foto: Dok. Tukirin Partomihardjo

Krakatau

Karakatau merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di tengah bentangan Selat Sunda. Tiga pulau utama yang kita kenal saat ini adalah Rakata, Panjang, dan Sertung. Dulunya, Karakatau merupakan sebuah gunung api purba yang tingginya 3 ribu meter dengan diameter sekitar 11 kilometer. Akibat letusan dahsyat masa prasejarah itu, Krakatau Purba musnah.

Namun, erupsi luar biasa yang tidak tercatat sejarah itu memunculkan tiga kepundan aktif yaitu Danan, Perbuatan, dan Rakata yang kemudian menyatu, membentuk satu pulau memanjang.

Tahun 1883, letusan mahadahsyat kembali terjadi yang kali ini melenyapkan puncak Danan dan  Perbuatan serta dua per tiga Rakata. “Letusan Krakatau ini yang selalu dikenang dunia karena lebih dari 36.000 penduduk di sepanjang pesisir Selat Sunda tewas tersapu gelombang pasang (tsunami). Bunyi letusannya, berdasarkan pemberitaan saat itu, terdengar hingga Astralia utara dan India, sementara gelombang pasangnya terdeteksi hingga Kagoshima, Jepang,” ungkap Tukirin.

Barulah sekitar tahun 1930, terbentuk daratan yang diberi nama Anak Krakatau. Daratan baru ini terus bertambah luas dan tinggi seiring aktivitas vulkanis. Sekarang, ketinggiannya sudah 450 meter dengan garis tengahnya sekitar 3 kilometer.

Apa yang membuat Tukirin tertantang untuk meneliti Karakatau? Krakatau merupakan laboratorium alam yang disediakan Tuhan untuk manusia. Meski terkesan angker, namun bersahaja. Di komplek Krakatau tidak ada binatang buas atau nyamuk malaria. “Bahaya hanya datang dari letusan dan longsoran gunung saja” paparnya.

Krakatau juga mempertontonkan proses pembentukan komunitas hutan alam secara bertahap: perkembangan vegetasi dari lumut hingga hutan yang disertai persaingan hidup. Meski masih meletus dengan menimbulkan pola kerusakan baru, namun kehancuran itu dibarengi pemulihan alaminya. Krakatau mendukung perjalanan biologi, biogeografi, dan adaptasi.

Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau merupakan komplek Krakatau dengan desain alami. “Inilah keajaiban dunia yang hanya ada di Indonesia” paparnya.

Letusan Krakatau yang terjadi pada 1883. Sumber: Wikimedia commons
Bongkahan batu koral besar di dekat pantai Anyer yang terdampar akibat dorongan gelombang besar letusan Krakatau 1883. Sumber: Wikipedia
Posisi Krakatau dalam peta. Sumber: Vansandick.com

Suksesi

Salah satu keajaiban yang telah tersibak di Karakatau adalah pengetahuan perkembangan vegetasi atau yang dikenal dengan sebutan suksesi. Proses alam yang  mengagumkan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti posisi geografi pulau, pola arah angin, curah hujan, suhu yang biasa dikenal sebagai iklim, kondiisi fisik habitat dan gelombang, serta lingkungan laut.

Burung dikenal sebagai pemencar biji yang sangat efektif dalam proses suksesi Krakatau. Pulau Sebuku dan Sebesi merupakan loncatan (hopping island/stapping stone) bagi burung-burung dari Sumatera untuk menyeberangi Selat Sunda dan hinggap di komplek Krakatau. “Temuan ini merupakan pengetahuan penting tentang mekanisme pemencaran biji dalam proses suksesi,” ujar lelaki kelahiran Cilacap ini.

Catatan jurnal ilmiah tahun 1990 pernah melaporkan bahwa burung diindikasikan hadir pertama kali di komplek Krakatau satu atau dua dekade pasca-letusan dahsyat tahun 1883. Thornton, et.al., (1990) menyatakan, berdasarkan hitungan dari data dua periode survei, jumlah keseimbangan spesies (S) untuk Rakata sebagai pulau terbesar adalah antara 48-56 spesies. Secara keseluruhan, jumlahnya adalah 44-58 jenis. Dalam kolonisasi menyeluruh,  penghuni kepulauan tersebut diperkirakan sebanyak 36 spesies.

Perkiraan ini, tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan MacArthur & Wilson (1967) sebanyak 30 jenis dan Mayr (1965) sekitar 40-45 jenis. Pembentukan hutan sekunder dan penutupan kanopi diduga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan kolonisasi burung teresterial residen sejak 1883.

Pantai utara Anak Krakatau dengan aliran lavanya. Foto: Dok. Tukirin
Pantai utara Anak Krakatau dengan aliran lavanya. Foto: Dok. Tukirin Partomihardjo

Harapan

Suksesi telah memberikan hikmah luar biasa bagi kehidupan Tukirin. Menurutnya, dalam kehidupan manusia, suksesi merupakan perjuangan, persaingan, dan kerja sama untuk bisa mapan dan meraih keberhasilan. Sementara, suksesi dari alam merupakan cara bagaimana mengelola dan memanfaatkan sumber daya dengan bijak. Karena, bila alam rusak butuh waktu lama untuk memperbaiki ekosistem tersebut seperti semula.

Inilah perbedaan mendasar antara kerusakan yang dibuat oleh manusia dengan kehancuran alami Krakatau. Kerusakan akibat letusan Krakatau dapat pulih secara alami. “Sementara, kerusakan akibat tangan manusia tidak bisa mengandalkan kemampuannya sendiri, harus dibantu mengatasinya.”

Apa harapan terbesar Tukirin terhadap Krakatau? Pertama, ia ingin menerbitkan buku tentang Krakatau untuk dibagikan kepada masyarakat luas. Alasannya jelas, laboratorium alam ini harus mendapat perhatian masyarakat agar bisa dipahami dan dinikmati kedahsyatannya sebagi sumber pengetahuan alam tropik.

Kedua, adanya wacana perubahan status Karakatu dari cagar alam menjadi taman wisata alam yang didengungkan Pemerintah Lampung tahun 2013, menurut Tukirin, hendaklah dikaji kembali. Memang, perubahan status dapat meningkatkan jumlah wisatawan.

Namun, yang harus diperhatikan adalah konsekuensi bencana, yaitu letusan Anak Krakatau yang terjadi sewaktu-waktu. “Pengalaman saya, Anak Krakatau dapat meletus kapan saja tanpa dapat diprediksi. Bila wisatawan berkunjung dan terjadi erupsi, siapa yang bertanggung jawab?” paparnya.  

Ketiga, di usianya yang 63 tahun, Tukirin belum juga menemukan sosok peneliti tangguh yang dapat mencurahkan perhatiannya untuk Krakatau. Padahal, periset asing berlomba menggali keagungan Krakatau. Tukirin khawatir, jangan-jangan nantinya kita harus ke luar negeri hanya untuk mendapatkan referensi, sementara Krakataunya ada di Indonesia. “Aneh kan?” urai profesor riset ini.

Kekhawatiran Tukirin memang beralasan. Dan, tidak berlebihan, saat kita menyebut Krakatau akan terucap pula nama Tukirin Partomihardjo di belakangnya.

Perjalanan menuju Krakatau di pagi hari. Foto: Dok. Tukirin
Perjalanan menuju Krakatau di pagi hari. Foto: Dok. Tukirin Partomihardjo
Tukirin_bersama_calon peneliti_asal_Jepang_di_punggung bukit_Anak Krakatau. Foto: Dok. Tukirin
Tukirin bersama calon peneliti asal Jepang di punggung Anak Krakatau. Foto: Dok. Tukirin Partomihardjo
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,