Kerahkan Brimob, PTPN XIV Takalar Ratakan Lahan Pertanian Warga

Pukul 20.00, Arif barencana beranjak tidur ketika terdengar suara ribut di depan rumah. Sejumlah kendaraan, datang satu persatu. Ada traktor, mobil patroli Brimob sampai mobil milik PTPN XIV. Belasan orang berseragam Brimob, bersenjata lengkap, tampak berjaga-jaga.

Arif panik. Mobil-mobil itu menuju lahan pertanian tepat di belakang rumahnya. Ada empat traktor meratakan semua tanaman. Tanaman wijen, kacang panjang, ubi jalar, jagung dan sawah hancur dalam hitungan menit.

Kamis (9/4/15) malam, PTPN XIV Pabrik Gula Takalar memang sedang operasi pembongkaran paksa lahan pertanian warga di Kelurahan Parangluara, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulsel.

Aktivitas berlangsung hingga dini hari ini dijaga ketat belasan Brimob Polda Sulselbar. Tak ada warga boleh mendekat selama operasi ini.

Arif bercerita, warga bernama Baso Daeng Toro tak bisa mendatangi sawahnya malam itu. Di tengah jalan, dia ditodong senjata oleh Brimob.

Daeng Toro datang untuk meminta lahan jangan diratakan. Permintaan, tak digubris. Dia disuruh pulang dengan todongan senjata.

“Besoknya, Daeng Toro melihat masih ada tanaman padi belum diratakan, dia segera panen, padahal belum waktunya.”

Arief memperkirakan, lahan dibongkar paksa malam itu sekitar delapan hektar, sebagian besar tanaman siap panen, menunggu dua minggu lagi.

Ketika saya mendatangi lokasi, Jumat siang (10/4/15), terlihat hamparan lahan sudah rata. Sebagian besar lahan tak ada lagi tanaman tersisa. Di kejauhan,  terlihat beberapa petani memanen padi.

“Itu mereka cepat-cepat panen sebelum dirusak,” kata Daeng Genda, warga Parangluara.

Genda mengaku mengalami kerugian cukup besar. Wijen menjelang panen, dan ubi jalar dibabat. Dengan sedih dia menunjuk hamparan kebun yang kosong tanpa tanaman apapun.

Di bawah kolong rumah, ada beberapa karung sisa ubi jalar.“Ini umbi masih kecil, belum bisa dimakan tapi tetap diambil. Daripada dibuang, ini bisa untuk makanan ternak.”

Direktur Walhi Sulsel, Asmar Eswar, menilai, pembongkaran paksa lahan warga ini terencana dan sistematis. Ini terlihat dari pemilihan waktu dan strategi pengamanan.

“Mereka belajar strategi meminimalkan perlawanan dari warga. Mereka memilih waktu malam ketika kondisi gelap dan warga siap-siap istirahat,” katanya.

Asmar mengatakan, tindakan PTPN ini sebagai test case untuk upaya lebih besar lagi.

“Kalau ini dinilai sukses tanpa perlawanan berarti dari warga, bisa jadi luas lahan yang akan diambil paksa jauh lebih banyak.”

Rizki Anggriana Arimbi, Divisi Advokasi Walhi Sulsel, segera turun ke lokasi setelah mendengar informasi dari warga. Dia mencatat, pembongkaran paksa lahan ini sudah sejak Jumat (3/4/15), mulai di Desa Lassang Barat, Polongbangkeng Utara.

“Modus sama, malam hingga dini hari dan dijaga ketat Brimob.”

Di Lassang Barat, lahan dibongkar mencapai 35 hektar. Sebanyak 15 hektar, lahan kelola dan ditanami wijen, ubi jalar dan padi. Lalu, 20 hektar belum terkelola. Warga juga melaporkan ada satu sapi mati tiba-tiba.

Perihal sapi mati Rizki, belum bisa memastikan bagian dari upaya pengambilan paksa lahan. Namun ada kemungkinan jika merujuk pada kasus di kabupaten lain,  dimana staf PTPN mengaku sengaja meracuni sapi warga.

“Hal serupa saja bisa jadi terjadi di sini. Apalagi ancaman itu pernah ada. Setahun terakhir sudah 20 sapi mati, padahal tidak sakit sama sekali.”

Desa lain yang mengalami nasib serupa adalah Desa Timbuseng, Kecamatan Polongbangkeng Selatan. Belum ada informasi pasti tentang luas lahan dibongkar.

“Sementara informasi, sekitar lima hektar.” Jadi, total, lahan dibongkar paksa 48 hektar.

Rizki memperkirakan, kerugian materi warga mencapai Rp1 miliar, karena sebagian besar tanaman siap panen.

 Terdapat puluhan hektar lahan yang dikelola warga di Kelurahan Parangluara terancam dimabil alih oleh PTPN XIV Pabrik Gula Takalar. Di kejauhan terlihat sejumlah sawah telah dibongkar paksa dan warga yang mempercepat panen.Foto: Wahyu Chandra
Terdapat puluhan hektar lahan yang dikelola warga di Kelurahan Parangluara terancam dimabil alih oleh PTPN XIV Pabrik Gula Takalar. Di kejauhan terlihat sejumlah sawah telah dibongkar paksa dan warga yang mempercepat panen.Foto: Wahyu Chandra

Konflik antara warga dengan PTPN XIV mulai mencuat 2007. Sekitar 723 keluarga petani di sembilan desa di Polungbangkeng Takalar, menuntut perusahaan mengembalikan tanah petani yang dikuasai pemerintah sejak 1982, sekitar 4.500 hektar.

Tuntutan petani cukup beralasan, karena penguasaan lahan PTPN berdasar pada hak guna usaha (HGU) selama 25 tahun berakhir 2004. Kenyataan, lahan ini tak juga diberikan kepada pemilik awal. Warga mengaku tidak ingin memperpanjang kontrak karena nilai sangat rendah.

Walhi, kata Rizki, berupaya mengadvokasi kasus ini di tingkat nasional. “Katanya sudah ada pertemuan dengan Wakapolri, katanya akan menarik Brimob dari lokasi.”

Kecaman

Aksi paksa PTPN dan Brimob ini sontak mendapat kecaman dari sejumlah pihak. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi langsung melayangkan surat terbuka kepada Gubernur Sulsel, Polda Sulselbar dan Komnas HAM mengecam pembongkaran paksa ini.

“Perlindungan dan pengamanan Brimob disertai intimidasi kepada warga, jelas memperburuk upaya reformasi institusi kepolisian,” isi bagian dari surat itu.

Menurut Kontras, sudah seharusnya, Polda Sulselbar meninjau ulang atau menarik pasukan pengamanan dari lokasi.

Kontras mendesak Gubernur Sulsel beserta lembaga pemerintahan untuk segala upaya demi pemenuhan hak-hak petani Takalar. Salah satu, menghentikan pengolahan lahan disertai perusakan tanaman PTPN XIV. Juga memberikan jaminan kepada petani Takalar untuk mengolah lahan mereka.

Kepada Komnas HAM, Kontas  mendesak segera pemantauan lapangan atas tindakan kekerasan aparat kepolisian ini.

Kecaman serupa disampaikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel.

“Ini arogansi kekuasaan yang ditunjukkan nyata oleh PTPN dan kepolisian. Menambah daftar panjang catatan kekerasan pada petani dalam setahun terakhir,” kata Armansyah Dore, pengurus AMAN Sulsel.

Armansyah berharap, kasus Takalar ini bisa menjadi agenda nasional dan menjadi perhatian dalam reformasi agraria pemerintahan Jokowi-JK.

Wahyullah dari Gertak Sinjai menilai, apa yang terjadi di Takalar bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai konflik agraria.

Di Facebook, berbagai kecaman dan solidaritas juga ditunjukkan netizen dari berbagai daerah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,