,

Bali Terancam Krisis Air, Mengapa?

Tourism in Bali is killing people,” kata Dr. Stroma Cole, dosen senior Geography and Environmental Management University of The West of England, setelah mempresentasikan hasil riset tentang krisis air Bali di Denpasar, Selasa (14/4/15).

Cole menyimpulkan, krisis air akan terjadi di Bali pada 2020-2025, jika tak ada aksi nyata dalam penyadaran, konservasi, dan koordinasi kebijakan. Pariwisata, katanya, hanya bisa berlangsung di tempat dengan cukup air.

Berdasarkan riset dengan mewawancarai lebih 100 turis asing pada 2010, sebanyak 90% turis meyakini air masih melimpah di Bali. Lalu 50% kaget ketika diberitahu ada ancaman krisis air. Sebanyak 68% akan berusaha hemat air jika diberitahu pihak hotel misal, dan 36% bersedia bayar pajak lingkungan.

Pada 2010, PBB mengeluarkan konsensus bahwa air dan sanitasi adalah hak asasi. “Harusnya biaya air tak lebih dari 4% dari penghasilan, aman tak terkontaminasi, mudah diakses, dan ketersediaan cukup.” Cole meneliti air bersama Wiwik DA dari Universitas Udayana.

Keduanya mewawancarai 39 pemangku kepentingan di Bali. Sejumlah faktor pendorong krisis air ini sangat kompleks. Pertama, tekanan insustri pariwisata, mayoritas akomodasi seperti hotel dan villa menggunakan air bawah tanah dengan mengebor sangat dalam, di atas 60 meter. Sumur warga dengan kedalaman belasan meter sudah kering. Kedua, sebagian besar responden yang terdiri dari pengusaha kecil dan sedang tak membayar pajak air bawah tanah. Mereka beralasan sudah terkompensasi di biaya listrik untuk menarik air.“Pembangunan juga banyak di jalur hijau,” kata Cole.

Ketiga, banyak petani memilih menjual lahan hijau yang penting dalam peresapan air hujan karena sistem pajak sangat tidak adil. Sedang penghasilan tak cukup terutama karena biaya hama dan pengendalian. “Jumlah burung tetap banyak dan makan padi tapi sawah makin sedikit.”

Keempat, dari sisi pengelolaan pemerintah, unit yang mengurus air terlalu banyak, ada 11. “Apakah semua bisa duduk di satu ruangan dan memecahkan masalah? Oh ini bukan urusan kita, itu di sana. Tak ada yang mau tanggung jawab,” cerita Cole.

Kelima, Cole menekankan kesadaran konservasi warga dan kebijakan kurang. Sebagai negara tropis, katanya, harus mengolah air hujan dan air limbah. “Di Inggris,  saya tidak tahu mungkin air di pipa mungkin sudah tujuh kali dikencingi.” Dia membandingkan upaya reclaim dan reuse air limbah di Inggris.

Jika tidak ada kesadaran, maka konsekuensi terjadi eksploitasi air permukaan seperti sungai, instrusi air laut makin parah, penurunan kualitas air, peningkatan biaya air warga sekitar 25% dalam tiga tahun, dan alih fungsi lahan pertanian meningkat. “Inilah pangkal konflik air itu.”

Apakah bisnis pariwisata memang ekspoitatif air? Kepala Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia daerah Bali Tjokoda Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace tak bisa menyimpulkan. Namun, dia membagi data penggunaan air dan listrik akomodasi pariwisata.

Memercikkan tirta, simbol air  yang  jadi kebutuhan penting bagi manusia termasuk  Bali, yang sudah mengalami krisis air. Foto: Luh De Suryani
Memercikkan tirta, simbol air yang jadi kebutuhan penting bagi manusia termasuk Bali, yang sudah mengalami krisis air. Foto: Luh De Suryani

Data Bali Hotel Association (BHA) dan Howarth HTL memperlihatkan makin mahal atau makin banyak bintang, penggunaan listrik dan air makin tinggi. Hotel dengan tarif lebih US$440 mengkonsumsi air lebih empat meter kubik atau 4.000 liter per orang. Jauh dari asumsi kebutuhan air penduduk 183 liter per hari di Bali. Konsumsi turis paling sedikit di hotel dengan harga kurang US$59, hampir 1.000 liter per orang.

Penduduk Bali berdasarkan angka sensus 2010, sejumlah 3.890.757 jiwa, angka proyeksi BPS 2014,  berjumlah 4,1 juta. Dengan rata-rata penggunaan air setiap orang 183 liter/hari, berarti kebutuhan lebih 750 juta liter per hari.

Belum lagi kebutuhan turis. Data PHRI 2014, kamar hotel 77.496.  Jika rata-rata per kamar perlu 2.000 liter, kalau terisi 50% perlu 160 juta liter per hari. Namun ada ratusan villa tak teregistasi, kondotel, dan lain-lain. Konsumsi air biasa lebih banyak karena menyediakan kolam renang per unit.

“Kebutuhan air disesuaikan klasifikasi hotel (bintang dan non bintang) karena menyangkut fasilitas tersedia. Kalau mahal ya pasti ada pool, bathtub,” ujar Ace.

Tawaran solusi

Ubud, kampung turis yang lebih hijau dibanding kawasan lain di Bali ternyata mengonsumsi paling banyak air. Menurut data BHA dan Howart, selama empat tahun terakhir konsumsi air per tamu di hotel-hotel sekitar 3.000-5.000 liter per orang. Jauh dari kawasan lain seperti Nusa Dua, Kuta, dan Seminyak, rata-rata kurang dari 1.000-2.000 liter.

“Belum tentu quality tourism itu lebih hemat air,” kata Sunarta, Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, juga peneliti air.

Dia menyebutkan, kolonial yang menetapkan Singaraja sebagai ibukota Bali masa lalu ingin berinovasi dalam pemenuhan air di daerah yang kering. Saat ini, Denpasar ada di Selatan,  yang menjadi hilir distribusi air namun makin seret. Menurut dia, banyak konsultan ke hotel-hotel mulai menawarkan teknologi pengolahan air laut.

Pilihan pemerintah, katanya, masih memanfaatkan air permukaan seperti sungai. Ada proyek pemasangan jaringan pipa puluhan ribu meter di Denpasar sampai 2017 dengan nama program Sarbagita. Ini lintas kabupaten karena mengambil bahan baku air di sejumlah sungai luar Denpasar seperti Tukad Petanu dan Unda.

Bagus Sudibya, tokoh pariwisata dan Bali Tourism Board mengusulkan kewajiban konservasi bagi pengusaha akomodasi yang ingin membangun. Misal, jika tiap turis perlu 2.000 liter per hari per kamar, perlu kompensasi berapa pohon harus ditanam untuk menangkap air sejumlah itu. “Ini harus masuk kalkulasi investasi bisnis dan syarat mendapat IMB.”

Sedang Cok Ace meminta,  pemerintah benar-benar menghentikan izin pembangunan akomodasi baru untuk menata. Sebelumnya sudah ada Surat Edaran Gubernur pada 2011 tentang moratorium pembangunan akomodasi tapi hanya Denpasar, Badung, dan Gianyar. Namun beberapa tahun ini pembangunan malah masif.

Tahun lalu, sudah keluar izin 1.000 kamar baru di Badung. Salah satu menjadi kambing hitam adalah UU Otonomi Daerah yang memberikan wewenang kepala daerah memanfaatkan potensi daerah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,