,

Petani Sawit Swadaya Ini Hibahkan Tiga Hektar Lahannya untuk Rumah Satwa

Sorot mata Suratno Warsito liar. Langkah kakinya lincah menyusuri jalan setapak di antara rerimbunan pohon sawit swadaya milik warga Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Sepanjang jalan, lelaki 47 tahun itu menjelaskan riwayat budidaya sawit di desanya. “Nah, ini yang disebut tanaman tumpang sari. Warga sengaja menanam sayur dan pohon buah,” katanya, Kamis (9/4/2015), sambil menunjuk ke salah satu jalur di antara pohon sawit yang sudah ditanami pohon pepaya, cabai, tomat, dan jenis sayuran lainnya.

Sekitar 15 menit berjalan kaki, tibalah di sebuah kawasan dengan lansekap yang berbeda. Dari kejauhan terlihat kanopi kawasan tersebut tertutup rapat. Berbagai jenis pepohonan tumbuh subur dan menjulang tinggi.

“Sebenarnya itu lahan saya. Luasannya tiga hektar lebih. Saya sengaja tidak menggarap jadi kebun sawit. Biarlah itu menjadi rumah bagi satwa-satwa yang ada di sekitar sini. Kasihan kalau semua jadi sawit, mau tinggal di mana mereka,” kata Suratno.

Awalnya, pria berkacamata minus ini hanya melihat segerombolan monyet yang tampak kebingungan ketika warga desa membuka lahan untuk dijadikan kebun sawit. Terenyuh melihat perilaku satwa itu, Suratno kemudian berjanji dalam hati untuk tidak menggarap kawasan tersebut.

Penasaran dengan isi rimba, Mongabay Indonesia mencoba menorobos masuk kawasan, namun gagal lantaran terhadang genangan rawa cukup dalam. Di sekitar kawasan hutan sekunder itu, masih terlihat flora endemik Kalimantan seperti kantong semar (Nepenthes gracilis).

Hasil studi keanekaragaman hayati yang dilakukan WWF-Indonesia pada 2015 menyebutkan bahwa kawasan hutan ini berbatasan dengan perkebunan sawit PT. SDK III dan perkebunan sawit Koperasi Produksi Rimba Harapan. Status hutan berada di kawasan budidaya non-kehutanan atau areal penggunaan lain (APL).

Pada kawasan ini ditemukan 80 jenis tumbuhan dari 50 famili dan dua jenis belum diketahui identitasnya. Sementara satwa tercatat sebanyak 27 jenis dari 18 famili.

Petani berperspektif lingkungan

Dari sinilah, nama Suratno Warsito jadi pusat perhatian warga desa. Kurun waktu sewindu terakhir, ia coba menciptakan terobosan baru. Selain menerapkan kawasan konservasi, dia juga mencoba menerapkan pola pertanian sawit swadaya lestari dengan sistem tumpang sari.

Sebagai warga transmigran, sedari awal ayah dua anak ini menyadari pentingnya inovasi. Dia mulai merintis hidupnya di tanah rantau sejak 1981 silam. Membuka lahan untuk kebun sayur, buah, dan karet, adalah pilihan utama.

Namun seiring waktu, Ratno, biasa dipanggil, coba mengembangkan pundi-pundi ekonominya. “Sebagai petani, saya tentu ingin lebih maju,” katanya dalam perbincangan di Desa Merarai Satu.

Tim dokumentasi WWF-Indonesia bersama warga sedang menyusuri jalan setapak menuju kawasan bernilai konservasi tinggi di Desa Merarai Satu. Foto: Andi Fachrizal
Perjalanan menelusuri jalan setapak menuju kawasan bernilai konservasi tinggi di Desa Merarai Satu. Foto: Andi Fachrizal

Pada 2007, ia pun mengambil inisiatif. Kala itu, Ratno hanya punya modal untuk membeli lahan bekas ladang berpindah seluas tiga hektar. Pembukaan lahan dilakukan sendiri dengan cara manual. Ia tidak menebas seluruh lahannya. Kecuali lokasi yang akan ditanami sawit. Selebihnya dibiarkan rimbun.

“Karena lahan saya waktu itu hanya tiga hektar, maka saya garap tiga hektar. Itu pun dengan sistem seadanya. Saya ini petani tradisional. Belum mengerti bagaimana budidaya sawit yang baik. Pokoknya, waktu itu serba terbatas. Dari modal, bibit, sampai teknik pengelolaannya,” urai Ratno.

Tiga tahun berselang, sawit yang ia tanam mulai tumbuh walau kondisinya tidak sehat. Ratno mulai sadar. Ternyata seluruh lahan sawit harus bersih dari pepohonan dan semak. Tak ada pilihan lain kecuali membersihkan seluruh lahan yang ada. “Saya tebas lagi. Orang kampung menyebut tebas layang. Yang penting tumbuhan di sekitar sawit tumbang saja,” jelasnya.

Usia empat tahun tanam, Ratno coba terapkan sistem tumpang sari. Dia menanam sayuran di sekitar sawit. Dari situ hasilnya mulai tampak. Sawit belum ada hasil panen, tapi sayuran sudah bisa menghasilkan uang.

Dari hasil penjualan sayuran, Ratno memanfaatkan untuk beli pupuk. Usia lima tahun pasca-tanam, barulah bisa melakukan pemupukan.

Persoalan tak berhenti, setelah sawit yang ditanam berbuah pasir, mau dijual kemana kelak? Ratno galau. Segera ia urung rembuk dengan sesama petani sawit swadaya. Ujung-ujungnya, buah sawit jatuh ke tangan tengkulak.

“Waktu itu, kita memang tak lagi memikirkan keuntungan. Saya pribadi sudah pasrah, yang penting laku saja sudah cukup. Harganya variatif. Dari Rp500 hingga Rp700 per kilogram,” katanya.

Kondisi seperti ini berlangsung hingga 2010. Kala itu, petani sawit swadaya sudah mampu memanen sawit hingga 28 ton. Seiring waktu berjalan, lahan sawit warga kian bertambah. Namun solusi pemasaran kian sumir.

M. Munawir dari WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat hadir di tengah kegalauan panjang para petani sawit swadaya itu. Munawir hadir bersama sejumlah pihak, di antaranya Fasda Sawit Lestari dan para ahli flora fauna.

Tujuan mereka sebatas ingin mendampingi petani kelapa sawit swadaya (independence smallholder) sekaligus membantu menerapkan praktik-praktik terbaik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Praktik-praktik terbaik ini diindikasikan dengan teknik budidaya yang baik, ramah lingkungan, memperhatikan aspek sosial budaya, dan menguntungkan secara ekonomi. Petani kelapa sawit swadaya ini merupakan petani yang bekerja sendiri dengan kelapa sawit sebagai komoditi utama penopang ekonomi keluarga.

Akhirnya, 23 April 2014, para petani sawit swadaya Desa Merarai Satu bersepakat mendirikan koperasi produksi. Lembaga itu diberi nama Koperasi Produksi Rimba Harapan.

Kini, anggotanya berjumlah 81 petani yang terdiri dari kelompok tani Rimba Sawit sebanyak 35 petani di Desa Merarai Satu dan Merarai Dua, Harapan Baru sebanyak 7 petani di Desa SP 4, dan Sumber Rezeki sebanyak 39 petani di Desa Kenyabur Baru.

Data WWF per Oktober 2014, jumlah petani kelapa sawit swadaya di Kecamatan Sungai Tebelian sebanyak 112 petani dengan luas areal mencapai 680 hektar. “Ini angka yang sangat besar. Jika petani tidak mendapat pendampingan, dapat dipastikan kerusakan lingkungan akan sangat massif,” ucapnya.

Inisiatif lokal ini, kata Munawir, hendaknya menjadi semangat bagi semua pihak agar mengelola kawasannya secara bijak,. “Mari kita memberikan ruang bagi keanekaragaman hayati. Inisiatif seperti ini dapat menjadi model pengelolaan kawasan hutan, khususnya di areal perkebunan kelapa sawit swadaya,” ucapnya.

Kantong semar (Nepenthes gracilis). Foto: Rhett Butler
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,