,

Mengapa Sawit Berkembang Menjadi Komoditas Utama Indonesia?

Perkembangan sawit saat ini cenderung menjadi tidak terkendali karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di daerah.

Sawit dan produk turunannya adalah komoditas tanaman perdagangan terpenting Indonesia. Pada tahun 2014, Indonesia memproduksi 33,5 juta ton minyak sawit, [1] yang menghasilkan $ 18,9 miliar dari pendapatan ekspor. [2] Sawit telah menjadi ekspor paling berharga dibelakang batubara dan migas. [3] Laju minyak sawit Indonesia adalah fenomena yang relatif baru dengan pertumbuhan luar biasa industrinya dalam 30 tahun terakhir.

Laju perkembangan industri kelapa sawit Indonesia merupakan hasil dari kombinasi beragam faktor. Sebagai komoditas perkebunan, sawit merupakan tanaman yang sangat produktif yang mampu menghasilkan 7 kali lebih banyak dari minyak rapeseeds (Brassica napus) dan 11 kali lebih banyak dari kedelai per hektar. [6] Selain itu, minyak sawit baik tinggi dalam kualitas dan sangat serbaguna. [7] Minyak sawit sekarang digunakan sebagai dasar untuk sebagian margarin, sabun, lipstik, berbagai ragam kembang gula, minyak goreng, es krim, pelumas industri, dan berbagai produk lainnya. [8]

Faktor-faktor lain terkait dengan kondisi ekonomi Indonesia. Perkembangan perkebunan sawit memiliki hubungan yang signifikan dengan industri penebangan (logging), sebuah industri yang mulai berkembang pesat di tahun 1970-an. Di paruh kedua 1970-an, Indonesia adalah eksportir terbesar kayu di dunia, [9] [10] yang didorong oleh investasi asing [11] termasuk pembangunan akses jalan yang membuka hutan hujan yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. [12]

Penggabungan aktivitas logging dengan kelapa sawit yang cepat tumbuh menciptakan model bisnis yang sangat menguntungkan. Penebangan kayu menghasilkan pendapatan hingga $ 10.000 per hektar, yang cukup untuk memberikan modal awal untuk mengkonversi lahan masih lebih menguntungkan perkebunan kelapa sawit. [13]

Selain itu, permintaan akan minyak nabati telah mengubah cara di mana minyak sawit dibudidayakan. Selama dekade terakhir, permintaan global untuk minyak nabati telah meningkat lebih dari 5 persen per tahun. [14] Kecenderungan ini didorong oleh masalah kesehatan, dengan produsen produk mencari pengganti lemak hewani, yang tinggi kolesterol, dan minyak terhidrogenasi parsial-yang tinggi lemak jenuh. [15] Tingginya permintaan minyak sawit telah menyebabkan budidaya bergeser dari metode subsisten tradisional, yaitu penanaman lewat sistem pertanian skala kecil, menjadi satu-satunya tanaman homogen yang ditanam dalam perkebunan luas. [16]

Pembukaan lahan sawit di Riau yang membuka hutan, tampak udara. Foto: Rhett A. Butler

Akhirnya, masalah politik di masa tersebut, yaitu lewat oligarki dan nepotisme yang telah memainkan peranan besar dalam kebangkitan perkebunan sawit. Pada era Presiden Soeharto, yang berkuasa 1967-1998, hutan dibagi-bagi untuk mempererat hubungan kroni dengan jenderal tentara dan sekutu politik. [17] Sebagian besar tanah ini diratakan dan dikonversi menjadi perkebunan sawit. Persentase terbesar dari sektor minyak kelapa sawit tetap di bawah kendali keluarga Suharto dan rekan bisnis. [18]

Saat ini, industri kelapa sawit Indonesia terus tumbuh pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Indonesia memiliki 8,1 juta hektar perkebunan kelapa sawit, [19] sekitar 37 persen yang didirikan di atas tanah gundul. [20] dan jumlah areal diproyeksikan mencapai 13 juta hektar pada tahun 2020. [21] Sebagai bentuk perkebunan yang terus berkembang, sawit beresiko terhadap laju kerusakan hutan.

Salah satu alasan mengapa pertumbuhan sawit tidak terkendali saat ini adalah ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menjangkau berbagai tata kelola lahan di tingkat lokal, dimana sebagian besar perkebunan sawit masih berada di bawah kendali jejaring de facto dari pejabat setempat. [22]  Para pejabat menuai keuntungan pribadi dari perkebunan dan tetap melanjutkan ekspansi. Politisi lokal memberikan izin (kerap ilegal) kepada konsesi sawit dan perusahaan sumber daya alam lainnya dalam rangka memperoleh komisi, yang sering disalurkan ke kampanye politik pilkada. [23]

Pemusnahan kebun sawit ilegal yang masuk wilayah konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Jaringan korupsi diperpanjang lewat hubungan keluarga dan birokrasi. Pada tahun 2011, Morkes Effendy, bupati Ketapang, ditemukan telah mengeluarkan izin ilegal untuk PT Kayong Agro Lestari, sebuah perusahaan sawit yang dimiliki oleh anaknya. [24] Pemerintah Kabupaten Ketapang juga ditemukan untuk memiliki saham di Golden Youth Plantation, perusahaan yang terkait dengan perampasan tanah dan perusakan hutan lindung. [25] Pemerintah pusat sendiri pun memiliki keterbatasan untuk melakukan pemantauan yang akurat terhadap deforestasi. Sebuah penelitian terbaru di jurnal Nature Climate Change merilis bahwa laju deforestasi lebih besar dari angka yang dirilis, yaitu 1 juta hektar hutan primer, selama 12 tahun terakhir. [26]

Selain itu, perencanaan penggunaan lahan dan pemetaan  yang lemah sering membuat Pemerintah Pusat tidak mampu untuk mengungkap tujuan dari penggunaan lahan. [27] Pengamat eksternal juga mengungkapkan kelemahan dan kinerja buruk Kementerian Kehutanan dalam hal transparansi anggaran. Kemenhut telah melakukan transfer penggunaan dana hingga ratusan juta dollar bagi reboisasi, namun akuntan publik hanya sedikit tahu tentang kebenaran alokasi dana tersebut. [28]

Kelemahan ini dimanfaatkan oleh perusahaan sawit untuk mengambil keuntungan dari kurangnya pengawasan dan cara-cara ilegal untuk membantu ekspansi mereka. Perusahaan mengembangkan lahan tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin penggunaan lahan atau melakukan analisa dampak lingkungan yang diperlukan. [29]  Tanpa pemeriksaan di tingkat daerah, perkebunan mulai merambah ke daerah-daerah sensitif seperti zona penyangga di sekitar hutan lindung, yang merupakan rumah bagi spesies yang terancam punah seperti orangutan. [30] Beberapa perusahaan tidak melaporkan luas kepemilikan mereka sehingga mereka terus mengeksploitasi lahan. [31] Bahkan, perusahaan lain tidak pernah mendapatkan izin ini sama sekali. [32]

Pembukaan lahan sawit baru di Aceh. Foto: Rhett A. Butler

Penggunaan teknik tebas dan bakar (slash-and-burn) untuk membersihkan lahan terus dilakukan oleh pengembang perkebunan sawit. [33] Meskipun ilegal, tebas bakar memungkinkan pengembang untuk membersihkan lahan jauh lebih murah dan cepat daripada metode lainnya, teknik ini pun kadang lepas tanpa deteksi dan hukuman dari aparat hukum. [34]

Hal yang terjadi, cara menebas lahan seperti ini menghasilkan kebakaran yang diluar kendali untuk waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, terutama di kawasan lahan gambut yang sangat mudah terbakar. [35] Ekspor kabut asap yang dihasilkan ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Singapura [36] telah menimbulkan beragam penyakit pernapasan yang mengancam kesehatan ratusan ribu warga negara. [37]

Akhirnya, perusahaan sawit nakal menggunakan berbagai tipu muslihat yang membuat sulit untuk membawa si pelanggar hukum ke pengadilan. Perusahaan sering terhubung melalui jaringan rumit dari anak perusahaan, sehingga sangat sulit untuk melacak aktivitas ilegal ke sumber tunggal. [38] Ketika perusahaan yang dicurigai melakukan kegiatan ilegal, mereka sering berganti nama, restrukturisasi atau ditransfer ke kepemilikan yang berbeda. [39] [40]  Mungkin waktu bertahun-tahun sebelum para pelanggar aturan ditemukan dimana saat yang sama kerusakan hutan telah terlanjur parah. [41]  Diterjemahkan oleh: Ridzki R. Sigit

Tautan asli artikel: 

Rujukan 

[1] “Palm Oil Production by Country in 1000 MT,” Index Mundi, accessed March 10 2015, http://www.indexmundi.com/agriculture/?commodity=palm-oil&.
[2] “Palm Oil,” Indonesia Investments, accessed March 10 2015, http://www.indonesia-investments.com/doing-business/commodities/palm-oil/item166.
[3] “From Palm Fruit to Product: Indonesia’s Palm Oil Industry,” Schuster Institute Investigations, accessed March 10 2015, http://www.schusterinstituteinvestigations.org/#!indonesias-palm-oil-industry/c1lfi.
[4] Rully Prassetya, Palm Oil Industry in Indonesia: Moving Up the Value Chain (working paper, University of Tokyo, 2013), accessed March 10 2015, http://www.academia.edu/5351767/Intro_to_Indonesias_Palm_Oil_Sector, p6-7.
[5] Ibid.
[6] Yusof Basiron, Drivers & Challenges in the Plantation Industry in the Next Decade, presentation, http://www.mpoc.org.my/upload/Drivers-and-challenges-Salcra-2012.pdf.
[7] “Palm Oil: Productive and Versatile,” World Wildlife Fund, accessed March 10 2015, http://wwf.panda.org/what_we_do/footprint/agriculture/palm_oil/about/.
[8] Ibid.
[9] “Govt Plan to Lift Ban on Log Exports Questioned,” The Jakarta Post, Dec 16 2013.
[10] Ian Bourke, Trade in Forest Products: A Study of the Barriers Faced by the Developing Countries, FAO Forestry Paper 83 (1988), p133.
[11] “Underlying Causes of Deforestation and Forest Degradation: Summary of Indonesia Case Study,” World Rainforest Movement, accessed March 10 2015, http://wrm.org.uy/oldsite/deforestation/Asia/Indonesia.html.
[12] Frans Welman, Borneo Trilogy Book 3 Volume 1: Brunei Kalimantan, Bangkok, Thailand: BooksMango, 2013, p211.
[13] “Palm Oil,” The Sustainable Trade Initiative, accessed March 10 2015, http://www.idhsustainabletrade.com/palm-oil.
[14] Recipes for Success: Solutions for Deforestation-Free Vegetable Oils , Cambridge, MA: UCS Publications, 2012, p1.
[15] Ibid., p2-3.
[16] “Palm Oil,” World Wildlife Fund.
[17] Frans Welman, Borneo Trilogy Book 3 Volume 1, p211.
[18] George Aditjondro, “Suharo’s Fires,” Inside Indonesia 65 (Jan-Mar 2011).
[19] Satria Eka Hadinaryanto, “Special Report: Palm Oil, Poltiics, and Land Use in Indonesian Borneo,” Mongabay.com, April 24 2014.
[20] Rhett Butler, “3.5 Million Ha of Indonesian and Malaysian Forest Converted for Palm Oil in 20 Years,” Mongabay.com, November 12 2013.
[21] “Palm Oil,” Indonesia Investments, accessed March 10 2015, http://www.indonesia-investments.com/doing-business/commodities/palm-oil/item166.
[22] “Can Palm Oil Go Sustainable in Indonesia?,” Food Tank, October 13 2014, accessed March 10 2015, http://foodtank.com/news/2014/10/can-palm-oil-go-sustainable-in-indonesia.
[23] Satria Eka Hadinaryanto, “Special Report.”
[24] Ibid.
[25] Commodity Crimes , Washington, D.C.: Friends of the Earth, 2013, p13.
[26] Belinda Margono et al., “Primary Forest Cover Loss in Indonesia over 2000-2012,” Nature Climate Change 4 (2014), 730-735.
[27] Certifying Destruction: Why Consumer Companies Need to Go Beyond the RSPO to Stop Forest Destruction , Amsterdam, the Netherlands: Greenpeace, 2013, p27.
[28] Rhett Butler, “Indonesia’s Corruption Legacy Clouds a Forest Protection Plan,” Yale Environment360, December 27 2010.
[29] Commodity Crimes, Friends of the Earth, 2013, p10.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid., p4.
[33] “Impact of Indonesian Slash-and-Burn Fires Seen in Satellite Photo,” UPI, August 27 2013.
[34] Certifying Destruction , Greenpeace, 2013.
[35] Samuel Oakford, ”Indonesia Is Killing the Planet for Palm Oil,” Vice News, July 4 2014.
[36] “The Asian Forest Fires of 1997-1998,” Mongabay.com, accessed March 10 2015, http://rainforests.mongabay.com/08indo_fires.htm.
[37] Angelika Heil, Indonesian Forest and Peat Fires: Emissions, Air Quality, and Human Health (PhD diss., Max Planck Institute for Meteorology, 2007).
[38] Ibid., p13.
[39] Ibid.
[40] Eric Wakker, Greasy Palms: The Social and Ecological Impacts of Large-Scale Oil Palm Plantation Development in Southeast Asia, Jakarta, Indonesia: Friends of the Earth, 2005, p28.
[41] Certifying Destruction, Greenpeace, 2013.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,