,

Transparansi Informasi, Cara Cerdas Menyingkap Tabir Pengelolaan Sumber Daya Alam (bagian – 1)

Di pintu gerbang Kantor Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo Pontianak, Syamsul Rusdi telah menanti. Syamsul memang istimewa. Dia perintis terwujudnya keterbukaan informasi publik di Kabupaten Ketapang sekaligus keseluruhan Kalimantan Barat.

Tanpa ragu, lelaki 30 tahun ini menjelaskan perjuangannya demi tegaknya transparansi informasi yang selama ini dianggap “tabu” oleh Pemerintah Kabupaten Ketapang. Terlebih, perihal industri ekstraktif. Industri yang mengeruk langsung isi alam dari perut bumi seperti batubara, gas, minyak bumi, dan mineral, yang acap kali tertutup.

Berbekal UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Peraturan Presiden No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Didapat dari Industri Ekstraktif, Syamsul memulai petualangannya. Perjalanan bak menelusuri lorong gelap, ia tempuh dengan menggunakan dua aturan legal tersebut sebagai lampu penerangnya.

Kala itu, 26 November 2013, Syamsul yang membutuhkan data terkait risetnya mengenai analisis kebijakan sektor pertambangan mengajukan surat permohonan informasi ke Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ketapang. Informasi yang diminta adalah analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) beserta peta, izin usaha pertambangan (IUP), dan dokumen rencana reklamasi tahunan lima perusahaan pertambangan: PT. Sandai Inti Jaya Tambang, PT. Harita Prima Abadi Mineral, PT. Ketapang Karya Utama, PT. Laman Mining, dan PT. Kendawangan Putra Lestari.

Link-AR Borneo mencatat, berdasarkan data kompilasi Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ketapang 2012, ada enam perizinan hak pengusahaan hutan (HPH) dengan luasan 411.580 hektar dan hutan tanaman industri (HTI) 547.455,74 hektar yang beredar. Sementara, perkebunan sebanyak 67 perizinan dengan luasan 871.550 hektar serta 27 izin eksplorasi tambang seluas 967.563 hektar dan operasi produksi-KP 186.367 hektar yang telah ditetapkan Gubernur Kalimantan Barat.

Syamsul berharap, suratnya itu sebagai jalan pembuka transparansi. Apa daya, harapan tak sesuai kenyataan. Dua minggu menunggu tanpa kepastian, Syamsul melayangkan surat permohonan ke Dinas Pertambangan, tertanggal 13 Desember 2013. Isinya, menanyakan nasib permohonan informasi yang telah ia ajukan pada surat pertamanya. 14 hari merupakan batasan normal yang memang diperkenankan untuk menanyakan kembali permohonan surat.

Lagi-lagi, Syamsul gigit jari. Surat keduanya itu ditakdirkan sama sebagaimana surat pertama, tanpa respon. Gerah tanpa kepastian, Syamsul membawa permasalahan tersebut ke Komisi Informasi Pusat pada 25 Januari 2014.  Permohonan penyelesaian sengketa informasi publiknya itu terdaftar dalam registrasi bernomor 027I/KIP-PS/2014.

Alasan gugatan Syamsul adalah UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Peraturan Presiden No 26 tahun 2010. “Harusnya, melalui regulasi tersebut, publik berhak tahu bagaimana pengelolaan industri ekstraktif, terlebih pertambangan yang selama ini tidak jelas. Mulai dari perizinan, luasan, hingga pendapatan,” jelasnya.

Proses berlanjut. 20 Mei 2014 mediasi digelar. Namun, dalam pertemuan tersebut, tidak tercapai kata mufakat. Dinas Pertambangan Ketapang menganggap, peta dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagaimana yang dimohonkan Syamsul merupakan dokumen terlarang.

Argumennya, lampiran peta dalam dokumen amdal perusahaan tambang bukan dokumen publik, sehingga tidak bisa dibuka kepada khalayak ramai. Dikhawatirkan, nantinya berpotensi memunculkan persaingan tidak sehat serta melanggar hak akan kekayaan intelektual (HAKI). Karena itu, informasi yang diberikan cukup sebatas izin usaha pertambangan perusahaan. Argumen ini ternyata diamini oleh Komisi Informasi Pusat.

Iringan mobil dump truck yang mengangkut hasil tambang di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Kecewa berat dengan pernyataan tersebut, Syamsul menarik diri dari perundingan. Menurut Syamsul, putusan Komisi Informasi Pusat bertentangan dengan Peraturan Komisi informasi (Perki) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik yang menyatakan bahwa amdal merupakan keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh badan publik yang merupakan informasi publik dan sifatnya terbuka. “Peta itu kan bagian dari amdal. Bagaimana masyarakat bisa mengawasi kegiatan perusahaan bila petanya tidak diketahui. Sebaliknya, bagaimana kita tahu bila ada perusahaan yang melibas tanah masyarakat yang tidak ada dalam peta kerjanya?” jelasnya.

Syamsul pun menolak putusan Komisi Informasi dan melanjutkannya melalui proses judikasi non-litigasi. Kali ini, giliran Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Pontianak yang ia sambangi guna melayangkan gugatannya, 4 Juni 2014.

Harapan muncul. Setelah lima kali persidangan, Kamis (16 Oktober 2014), PTUN mengabulkan gugatan Syamsul. Permintaan Syamsul direstui. Atas kemenangan itu, Syamsul yang dibantu Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalimantan (GBHRK) dalam persidangannya berpendapat bahwa sudah sepatutnya konstitusi memberi jaminan warga untuk mendapatkan hak informasi. Aturan itu jelas sebagaimana Pasal 28 F UUD 1945 dan tertuang dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Namun, kemenangan Syamsul yang jelas-jelas nyata ini tidak diakui seterunya. Tidak ingin dipecundangi, Dinas Pertambangan dan Energi Ketapang melalui kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Jakarta tertanggal 20 November 2014 terhadap putusan PTUN tersebut.

Dinas berdalil, peta dalam dokumen amdal pertambangan berpotensi mengganggu kepentingan perlindungan HAKI dan menggganggu perlindungan dari persaingan usaha yang tidak sehat bila diberikan dengan mudahnya kepada setiap orang. Terlebih, kepada pemohon informasi –dalam hal ini Syamsul Rusdi- yang secara gamblang tidak dikenal oleh Dinas Pertambangan dan Energi Ketapang. Dikhawatirkan, peta tersebut nantinya akan dipergunakan untuk maksud yang tidak baik oleh pemohon yang menggunakan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, sebagai tamengnya.

“Semua tengah berproses,” ujar Syamsul sembari menyeruput kopi hitam di siang yang terik itu.

**

Berdasarkan kertas posisi yang dikeluarkan Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, Rabu (28/1/2015), sejak UU No 14 Tahun 2008 terbit, hanya empat daerah di Kalimantan yang belum memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Padahal, UU ini mengamanatkan setiap daerah harus memiliki PPID.

Daerah yang telah memiliki PPID tersebut adalah Pemerintah Provinsi Kalbar, Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Kapuas Hulu, Ketapang, Sekadau, dan Melawi, dan Kayong Utara . Empat kabupaten lain yang belum mempunyai PPID adalah Mempawah, Landak, Sanggau, dan Sintang.

Denni Nurdwiansyah, Program Manajer Sampan, menuturkan bahwa pembentukan PPID di daerah bertujuan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan yang baik terlebih tata kelola hutan dan lahan. “Karena, salah satu tugas PPID adalah memberikan layanan informasi kepada masyarakat secara cepat, akses yang mudah, dan biaya murah. Kasus Syamsul merupakan contoh konkrit betapa sulitnya mengakses informasi terkait pengelolaan hutan dan lahan,” ujar Denni.

Pengerukan sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Transparansi informasi diperlukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan izin pada perusahaan ekstraktif. Foto: Sampan Kalimantan

Apa yang membuatnya sulit? Denni menuturkan, harusnya, ketika berbicara informasi tata kelola hutan dan lahan maka dokumen perizinan suatu perusahaan mulai dari lokasi izin, amdal, hingga hak guna usaha harus transparan. Bila disembunyikan, artinya ada hal yang sengaja ditutup-tutupi.

Ini salah satu aspek yang membuat konflik di Kalbar tetap terjaga, karena masyarakat tidak tahu informasi, sementara perusahaan dan pemerintah tidak membuka informasinya. Padahal, dengan transparannya tata kelola hutan dan lahan maka akan semakin baik pula terwujudnya pemerintahan yang terbuka, efektif, dan bertanggung jawab. “Di lain pihak, masyarakat tentunya dapat mengetahui dan mengawasi pengelolaan sumber daya alam tersebut.”

Media dan Kampanye Sampan Kalimantan, Liu Purnomo, menuturkan tujuan UU No 14/2008 adalah sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan empat hal. Yaitu, hak setiap orang untuk memperoleh informasi; kewajiban badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; pengecualian bersifat ketat dan terbatas; dan kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi.

Menurut Liu, pemerintah kabupaten yang belum membentuk PPID tentunya telah melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI No 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 14/ 2008 yang mengatur bahwa PPID harus sudah ditunjuk paling lama satu tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini diterbitkan.

Hal lain yang harus dicermati menurut Liu adalah, selain pembentukan komisi informasi daerah (KID) dan PPID, maka sebuah lembaga publik juga diwajibkan membuat standar operasional prosedur (SOP). Ini bertujuan memberikan petunjuk teknis dan tata cara publik dalam memperoleh informasi.

Faisal Riza dari Jari Indonesia Borneo Barat lebih detil memaknai UU No 14 Tahun 2008 yang menurutnya tidak hanya ditujukan bagi pemerintah semata. Melainkan juga kepada seluruh lembaga badan publik, termasuk di dalamnya lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Menurut Faisal, Jari Indonesia Borneo memandang pentingnya sebuah LSM menerapkan UU tersebut dan membentuk PPID sebagai amanat UU yang harus dilaksanakan. Sehingga, LSM tidak hanya mendorong pemerintah demi terwujudnya tata kelola yang baik, tetapi juga lembaga yang mendorong dan mengawasi pemerintah itu wajib memiliki PPID. “Jari mulai menerapkan UU No 14 2008 dengan mengadakan mini workshop internal dengan melakukan pembahasan SOP tahun 2014,” jelasnya.

Jari Indonesia Borneo merupakan lembaga yang mendorong transparansi, jadi sudah sepatutnya melaksanakan terlebih dahulu amanat UU tersebut. “Kami selalu mengembangkan akuntabilitas, sehingga kami mempersilakan kepada masyarakat yang ingin mengetahui keuangan, program kerja, hingga informasi yang dimiliki Jari untuk dilihat.”

Menurut Faisal, adanya beberapa daerah yang belum membentuk PPID disebabkan beberapa hal. Pertama, UU belum tersosialisasi dengan baik. Kedua, informasi belum menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat Kalimantan Barat sehingga informasi dianggap hanya dimiliki oleh orang yang memiliki akses saja. Dengan begitu, pemerintah daerah menganggap belum perlu membentuk PPID. Ketiga, pengetahuan dan kapasitas birokrasi yang terlalu birokratis, hanya berpikir pada anggaran dan pelaksanaannya saja.

Dengan adanya PPID, justru akan melindungi badan publik dan sangat membantu pemerintah daerah untuk mengkategorikan informasi. Misalkan, bila ada informasi tertutup yang tidak boleh dikeluarkan, maka akan ada mekanisme penyelesaiannya yang diatur oleh hukum. “Semoga Komisi Informasi Daerah (KID) yang telah terpilih segera dilantik Gubernur Cornelis,” tutur Faisal.

Daerah ini menjadi hamparan padang gersang setelah ditambang oleh perusahaan ekstraktif di Desa Mekar Utama, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Data Swandiri Institute menunjukkan, saat ini luasan konsesi pertambangan di Kalimantan Barat mencapai 5 juta hektar yang telah diberikan kepada 721 perusahaan. Konsesinya tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Barat yang jika dirinci tiga besar, Kabupaten Ketapang merupakan pemilik konsesi terluas yaitu sekitar 1,3 juta hektar untuk 156 perusahaan. Berikutnya adalah Kabupaten Landak (86 perusahaan) dan Kapuas Hulu (73 perusahaan).

Namun, berdasarkan data Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, jumlah izin pertambangan yang beredar justru sebanyak 813 dan berkurang menjadi 697 izin terhitung 31 Desember 2014. Jumlah ini defisit 116 setelah diadakannya koordinasi dan supervisi (korsup) mineral dan batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Mei 2014.

Korsup minerba yang dilakukan KPK itu menemukan sekitar 312 IUP bermasalah atau non CNC – non Clean and Clear. Urutan tiga besarnya adalah Ketapang (68 IUP), Melawi (50 IUP), dan Landak (37 IUP). Fakta lain yang ditemukan dari korsup itu adalah hampir keseluruhan pemegang IUP belum melakukan pembayaran izin usaha yang mengakibatkan dalam rentang waktu 2011-2013, negara mengalami kerugian 272 miliar rupiah.

Terkait korsup minerba, Johan Budi SP, saat menjabat Deputi Pencegahan KPK, sekarang Plt (Pelaksana tugas) Wakil Ketua KPK, menuturkan bahwa selama 2014, telah dilakukan korsup di 12 provinsi. Kalimantan Barat merupakan satu di antara provinsi tersebut: Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.

Sebagaimana temuan di Kalimantan Barat, secara keseluruhan perusahaan pemiliki izin banyak yang tidak bayar pajak dan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Akibatnya, negara dirugikan 13 triliun rupiah dari tunggakan ratusan perusahaan itu. “Korsup akan terus dilakukan. Masyarakat maupun pegiat lingkungan di Kalimantan Barat dan seluruh wilayah Indonesia, dipersilakan melaporkan ke KPK jika ada temuan baru mengenai pertambangan,” paparnya.

Kerugian yang diderita negara akibat tidak transparannya informasi perusahaan pertambangan. Grafis: Mongabay Indonesia
Kerugian yang diderita negara akibat tidak transparannya informasi pengelolaan sumber daya alam. Grafis: Mongabay Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,