,

Sudah Saatnya Indonesia Fokus Bangun Sektor Perikanan Budidaya

Potensi Indonesia untuk menjadi negara maju dalam sektor perikanan terbuka lebar karena garis pantai yang ada mencapai panjang 95.181 ribu km atau terpanjang kedua di dunia setelah garis pantai di Kanada. Namun, untuk bisa mencapai itu dibutuhkan keseriusan Pemerintah dalam menjalankannya. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo, saat ini tinggal bagaimana Indonesia memfokuskan proyeksi sektor perikanannya.

“Dalam perikanan, ada dua yang menjadi fokus di dunia ini, yatu perikanan tangkap dan budi daya perikanan. Keduanya memiliki keunggulan dan kekurangan. Indonesia sudah menjalankan keduanya sejak lama,” demikian ungkap Indroyono di Jakarta, pada Sabtu (19/04/2015).

Untuk kondisi sekarang, Indroyono memaparkan, sektor yang berpeluang untuk bisa berkembang lebih baik adalah perikanan budidaya. Karena, sektor tersebut dalam sepuluh tahun terakhir terus menunjukkan grafik peningkatan dan itu kondisinya sama di seluruh dunia.

“Ini berbeda dengan perikanan tangkap. Di seluruh dunia, utamanya di negara-negara kelautan, perikanan tangkap perkembangannya off dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal, semua negara sudah melakukan berbagai upaya untuk bisa menaikkan produksi perikanan tangkapnya,” tuturnya.

Indroyono menyebutkan, tren perikanan tangkap di dunia saat ini mencapai produksi 85 juta ton per tahun atau mengalami penurunan hingga 43 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang bisa mencapai produksi 150 juta ton per tahun. Tren tersebut, ungkapnya, terus memperlihatkan penurunan dari waktu ke waktu.

Kondisi tersebut harus diwaspadai karena jika dibiarkan maka produksi perikanan nasional akan tenggelam. Padahal, dengan bentang garis pantai yang sangat panjang, potensinya sangat besar.”Satu-satunya cara agar bisa tetap bertahan, adalah dengan mengembangkan perikanan budi daya,” tandasnya.

Fokus Pengembangan Perikanan Budidaya

Indroyono menjelaskan, untuk bisa mengembangkan perikanan budidaya, maka diperlukan penataaan enam hal yang menjadi inti dari sektor tersebut. Keenamnya adalah, penataan lokasi atau zonasi sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah; ketersediaan benih perikanan; ketersediaan pakan perikanan; obat antivirus; teknologi perikanan budidaya seperti keramba apung atau keramba tancap; dan pemasaran.

“Kalau pakan perikanan saat ini 70 persen diketahui berasal dari impor, maka sudah saatnya Indonesia menggunakan pakan lokal yang kualitasnya juga tak kalah dengan produk impor seperti eceng gondok dan lain-lain,” papar Indroyono.

Setelah enam hal inti tersebut berhasil diinvetarisir dengan baik, maka langkah berikut yang harus dilakukan adalah dengan mencari fokus pengembangan jenis produk perikanan yang akan dibudidayakan. Kata Indroyono, produk yang bisa dibudidayakan di air laut dan air tawar berbeda.

Di air laut, kata dia, produk yang  bisa dibudidayakan adalah udang, ikan kerapu, rumput laut dan ikan hias. Sementara di air tawar, produk yang bisa dibudidayakan adalah ikan lele, ikan nila, ikan hias dan udang galah.

“Setelah itu semua diketahui, maka langkah berikut yang harus dilakukan adalah pencarian lokasi untuk budidaya. Ini tugas pemerintah untuk membagi wilayah zonasinya sesuai UU No 23 Tahun 2014,” urai Indroyono lagi.

ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler
ikan dimasukkan ke pick up untuk diolah jadi sardin. Foto : Rhett A. Butler

Kalau itu semua sudah bisa ditata, mantan pejabat di organisasi pangan dunia (FAO) tersebut mengungkapkan, langkah terakhir yang bisa ditempuh adalah dengan mencari pendanaan untuk budidayanya. Namun dia optimis, pendanaan akan lebih mudah karena perikanan budidaya memiliki lahan yang jelas di daratan dan bisa diukur oleh perbankan.

Pusat dan Provinsi Harus Bersinergi

Sementara itu menurut Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan Intitut Pertanian Bogor Rokhmin Dahuri, agar semua rencana pembangunan kelautan dan perikanan bisa bersinergi dengan baik, maka saat ini harus ada pembagian tugas yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia.

“Sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014, maka pengelolaan wilayah laut ada dua hirarki, yaitu dari pusat langsung ke daerah atau dari pusat langsung ke daerah. Karenanya, harus ada sinergi dan koordinasi jelas antara pusat dan provinsi,” ucap Rokhimin.

Dengan pembagian tugas tersebut, maka pengembangan sektor perikanan dan kelautan bisa terjadi lebih baik lagi dan diharapkan itu bisa menjadi langkah signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau pembudidaya perikanan di pesisir pantai.

“Kenyataannya saat ini kemiskinan masih menjadi masalah yang sulit diatasi di kehidupan nelayan. Pemerintah harus bisa memecahkan persoalan ini dan salah satunya melalui undang-undang sekarang ini,” tandas dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi IV DPR RI Herman Khaeron. Dia menyatakan, Pemerintah harus bisa menerapkan dengan bijak karena UU No 23 Tahun 2014 akan mengubah sektor perikanan dan kelautan secara fundamental. Melalui UU tersebut, maka yang berperan adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi saja.

Menurut Herman, dengan pemberlakuan UU tersebut, maka sektor perikanan dan kelautan akan bisa digenjot lebih baik lagi. Namun dengan syarat, sistem penganggaran segera dilakukan perubahan dan penyesuaian.”Kalau memang mau mengambangkan perikanan budidaya juga ini sangat mendukung, begitu juga dengan perikanan tangkap. Yang penting sistemnya harus dibenahi saja,” tegasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,