,

Kekayaan Laut Dunia Mencapai US$ 24 Triliun, Tetapi Cepat Terkuras Habis

Nilai aset kekayaan laut dunia diperkirakan secara konservatif  mencapai US$ 24 triliun. Jika dibandingkan dengan 10 negara dengan tingkat ekonomi tertinggi di dunia, sumber daya laut akan menempati peringkat ketujuh dengan nilai sumber daya dan jasa hingga US$ 2,5 triliun per tahunnya. Hal itu terungkap dari hasil laporan berjudul Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 yang diluncurkan WWF pada Kamis (23/04/2015).

Laporan yang disusun atas hasil kerjasama dengan The Global Change Institute di University of Queensland dan The Boston Consulting Group (BCG) ini merupakan kajian yang paling fokus tentang laut berdasarkan nilai asetnya. Reviving the Ocean Economy mengungkap kekayaan laut yang berlimpah melalui kajian terhadap nilai sumber daya dan jasa yang mencakup perikanan hingga perlindungan dari badai laut. Laporan itu juga menjelaskan tekanan terhadap sumber daya laut yang terus menerus karena eksploitasi yang berlebihan, penyalahgunaannya, dan perubahan iklim.

“Laut mampu menyaingi kekayaan negara-negara terkaya di dunia, namun dibiarkan tenggelam menuju kegagalan ekonomi. Sebagai pihak yang bertanggung jawab, kita tidak mungkin berharap untuk terus mengeruk aset berharga laut dengan tidak serius memikirkan dampaknya dan tanpa berinvestasi untuk masa depan,” ujar Marco Lambertini, Direktur Jenderal WWF Internasional dalam siaran pers yang diterima Mongabay.

Menurut laporan tersebut, lebih dari dua per tiga nilai ekonomi tahunan dari kelautan bergantung pada  kondisi kesehatan laut untuk menjaga nilai pendapatan ekonomi per tahun yang dapat dihasilkan. Melemahnya sektor perikanan, deforestasi mangrove serta hilangnya terumbu karang dan padang lamun merupakan ancaman bagi  roda penggerak ekonomi kelautan yang menjadi penopang kehidupan dan sumber kehidupan di seluruh dunia.

Nilai ekonomis laut global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional
Nilai ekonomis laut global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional

“Dengan menghitung nilai ekonomi tahunan dan nilai aset dari laut dunia menunjukkan kepada kita apa yang sebenarnya yang dipertaruhkan dalam angka perhitungan yang jelas – secara ekonomi dan lingkungan. Kami berharap laporan ini menjadi seruan bagi para pimpinan di dunia usaha dan pembuat kebijakan untuk membuat keputusan yang lebih bijak dan berdasarkan perhitungan matang dalam mewujudkan masa depan ekonomi dari laut kita bersama,” ucap Douglas Beal, Partner and Managing Director dari The Boston Consulting Group.

Penelitian yang dipaparkan dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa kondisi laut dewasa ini berubah lebih cepat dibanding pada masa-masa lain selama periode jutaan tahun. Pada saat yang sama, pertumbuhan populasi manusia dan ketergantungan akan laut membuat pemulihan ekonomi kelautan dan aset utamanya menjadi sebuah desakan global.

“Kini laut dihadapkan pada risiko yang lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya dalam catatan sejarah. Kita mengeruk terlalu banyak ikan, membuang terlalu banyak limbah, dan meningkatkan suhu serta keasaman laut sampai titik dimana sistem alami tidak lagi bisa berfungsi,” kata Ove Hoegh-Guldberg, penulis utama laporan tersebut dan Direktur Global Change Institute di University of Queensland yang berpusat di Australia.

Perubahan iklim merupakan penyebab utama menurunnya kondisi kesehatan laut. Penelitian dalam laporan ini juga menunjukkan dengan laju peningkatan suhu saat ini, pada tahun 2050, terumbu karang yang menyediakan makanan, pekerjaan dan melindungi  ratusan juta manusia dari badai akan punah. Bukan hanya meningkatnya suhu permukaan air laut, perubahan iklim juga meningkatkan keasaman air laut yang membutuhkan ratusan generasi untuk pulih.

 Eksploitasi berlebih merupakan penyebab utama lain dari penurunan kondisi kesehatan laut, dengan sekitar 90 persen dari ketersediaan perikanan dunia telah tereksploitasi berlebihan atau sepenuhnya tereksploitasi. Populasi Pacific Bluefin Tuna sendiri telah turun sebanyak 96 persen.

Belum terlambat untuk memutarbalikkan kecenderungan yang merusak ini dan memastikan kesehatan laut yang bermanfaat bagi manusia, bisnis dan alam. Reviving the Ocean Economy mendorong delapan butir rencana aksi untuk perbaikan sumber daya laut sesuai potensinya.

Kondisi ancaman laut secara global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional
Kondisi ancaman laut secara global. Sumber : Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action–2015 WWF Internasional

Salah satu solusi mendesak yang diusulkan adalah memasukkan upaya pemulihan laut dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) PBB, mendorong tindakan global terhadap perubahan iklim, dan memperkuat komitmen untuk melindungi kawasan pesisir dan laut.

“Laut memberi kita makan, penghidupan, dan menopang kesehatan serta kesejahteraan kita, namun kita membiarkan laut hancur di depan mata kita. Bila kisah buruknya kesehatan laut tidak menginspirasi para pemimpin kita, mungkin sebuah analisa ekonomi akan membuka mata mereka. Kita memiliki pekerjaan serius untuk melindungi laut, dimulai dengan komitmenglobal yang sungguh-sungguh untuk iklim dan pembangunan berkelanjutan,” tambah Dr. Lambertini.

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Nilai ekonomi maritim Indonesia menurut Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2013 berpotensi mencapai sebesar 171 miliar dollar AS per tahun. Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, mengatakan kehebatan bangsa bahari tidak tergantung pada seberapa banyak kekayaan lautnya, tetapi tergantung bagaimana mengelolanya. “Karena itu, laut harus dikelola dengan mengacu pada prinsip-prinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Prinsip-prinsip ini harus menjadi pegangan seluruh pemangku kepentingan kelautan, dan kemudian diterjemahkan ke dalam program aksi secara sistematis,” katanya.

Arif menegaskan kembali pentingnya peran laut dan perhatian pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan, “Laut harus berkontribusi terhadap ketahanan pangan. Karena itu agar ketersediaan ikan terjaga kesinambungannya, maka produksinya pun harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia adalah membuat Rencana Pengelolaan Perikanan dan Kawasan Konservasi Laut yang berfungsi secara efektif dan didukung oleh seluruh pemangku kepentingan. Karena itu, perlu melibatkan para pihak dalam proses perencanaan, implementasi, hingga evaluasinya,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan dirinya akan mengeluarkan berbagai kebijakan agar pengelolaan perikanan di Indonesia ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable fisheries).

Berbagai kebijakan tersebut antara lain adalah pemberlakuan penangkapan ikan berdasarkan zonasi kondisi dan jenis ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia. Dengan zonasi tersebut, jumlah kapal yang beroperasi akan dibatasi, diberlakukan kuota penangkapan ikan, pembatasan jenis ikan yang ditangkap sampai dengan pengaturan jenis alat tangkap.

“Saya bakal berlakukan zonasi penangkapan berdasarkan stok. Ada daerah yagn akan ditutup, dan ada tempat yang boleh dan bisa ditangkap. Akan ada kuota masa tangkap, bulan tangkap. Penangkapan tidak bisa sepanjang tahun,” kata Susi dalam jumpa pers di Kantor KKP di Jakarta, pada Senin (05/01/2014).

Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo mengatakan pemerintah akan fokus untuk mengembangkan perikanan budidaya karena sektor tersebut dalam sepuluh tahun terakhir terus menunjukkan grafik peningkatan dan itu kondisinya sama di seluruh dunia.

“Dalam perikanan, ada dua yang menjadi fokus di dunia ini, yatu perikanan tangkap dan budi daya perikanan. Keduanya memiliki keunggulan dan kekurangan. Indonesia sudah menjalankan keduanya sejak lama,” demikian ungkap Indroyono di Jakarta, pada Sabtu (19/04/2015).

“Ini berbeda dengan perikanan tangkap. Di seluruh dunia, utamanya di negara-negara kelautan, perikanan tangkap perkembangannya off dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal, semua negara sudah melakukan berbagai upaya untuk bisa menaikkan produksi perikanan tangkapnya,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,