,

Pengaturan Energi ala Burung: Dari Bentuk Formasi, Terbang Melayang hingga Gerak Meluncur

Cara burung terbang ternyata telah lama menjadi pengamatan sekaligus pertanyaan dari para peneliti hingga satu-persatu misteri di dalamnya dapat dipecahkan. Ternyata cara terbang burung berhubungan dengan bagaimana pengaturan energi yang digunakan oleh burung tersebut. Beberapa penelitian telah berhasil memecahkan misteri tersebut.

Pernahkan anda perhatikan baik di foto, gambar maupun lewat pengamatan langsung kelompok burung maupun unggas yang terbang berkelompok di udara. Meskipun jenis burungnya berbeda, namun ada satu hal yang sama yaitu kelompok tersebut terbang dengan formasi huruf V.

Ternyata hal ini berhubungan dengan cara terbang burung. Sesuai hukum fisika, ketika burung mengepakkan sayap terjadi gaya angkat (lift force) yang terjadi akibat burung menekan udara ke bawah lewat kepakan sayapnya, udara akan menekan balik dan mendorong burung untuk tidak jatuh. Pada saat burung mengepakkan sayap, muncullah pusaran udara dari tiap ujung sayapnya. Pusaran udara ini mengakibatkan udara yang berada tepat di belakang burung tersebut akan terdorong ke bawah. Sementara udara di sisi samping dan belakang akan terdorong ke atas.

Dengan memanfaatkan formasi huruf V dengan cara terbang tersebut, maka hanya burung yang terdepan alias pemimpin formasi yang mengeluarkan energi lebih. Sebaliknya, burung lain dalam kawanan yang terbang dalam formasi tersebut mendapatkan “keringanan” sehingga dapat menghemat energinya saat terbang. Uniknya, burung-burung tersebut memiliki mekanisme untuk menghindari “penumpang gelap”, dimana tiap anggota kelompok pada saatnya akan bergiliran untuk memimpin formasi V.

Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian dari Dr Bernhard Voelkl et al (2015) yang diterbitkan dalam Jurnal National Academy of Science. Para peneliti menemukan bahwa terbang dalam formasi V bagi kelompok angsa telah menghemat energi antara 10 hingga 14 persen. Menurut para peneliti perilaku kooperatif ini didorong oleh proses evolusi panjang, dimana dengan menghemat energi sebesar 10 persen secara komunal dapat membuat perbedaan antara hidup dan mati terutama pada saat melakukan migrasi rutin.

Strategi burung untuk menghemat energi terbang atau melayang tersebut rupanya juga menjadi inspirasi bagi manusia. Formasi terbang V dalam formasi pesawat temput, misalnya, digunakan untuk menghemat bahan bakar saat terbang.

Raptor dalam gerakan melayang di udara. Sumber: RAIN Indonesia

Jenis burung lain misalnya raptor atau jenis burung pemangsa seperti elang dan alap-alap menggunakan aliran udara panas untuk menghemat energi. Alih-alih terbang sambil mengepakkan sayap (flapping) maka terbang melayang (soaring) akan lebih menghemat energi. Namun cara ini memerlukan prasyarat, yaitu pemanfaatan arus udara panas (thermal soaring) yang terbentuk karena pemanasan udara oleh bumi.

Kolom udara panas bertekanan akan mampu mengangkat burung yang terbang dengan cara mengitarinya. Setelah sampai di puncak kolom, burung meluncur dan kembali mencari kolom termal lain, sebelum meluncur turun dan selanjutnya. Hal sama dapat dilakukan oleh burung raptor dengan pemanfaatan pantulan angin (slope soaring) dari lembah atau permukaan yang miring.

Sistem hemat energi lain dilakukan oleh burung albatros, burung laut yang paling efisien dalam memanfaatkan energi dalam teknik terbang. Dengan bentang sayap yang besar antara 1,75 – 3 m, albatros mengembangkan teknik terbang melayang dan membumbung dengan memanfaatkan aliran dan kecepatan angin.

Manuver terbang melayang ini memungkinkan burung mampu menjelajah hingga ribuan kilometer sehari tanpa perlu mengepakkan sayap sekalipun. Energi yang dibutuhkan burung adalah untuk “mengemudikan” tubuhnya untuk memutar ke kiri dan ke kanan. Burung menggunakan kecepatan angin untuk gerak vertikal naik dan turun, sedang dalam teknik membumbung burung memanfaatkan gerak gelombang angin yang bergerak naik.

Cara melayang seperti yang dipakai oleh burung telah menginspirasi manusia dalam bentuk pesawat paralayang.

Teknik lain dari burung adalah yang dikenal dengan nama meluncur (gliding). Teknik ini adalah gerak jatuh yang membentuk sudut dengan garis mendatar. Burung bergerak meluncur untuk memperkecil gaya hambat udara dan memanfaatkan gerak jatuh gravitasi. Beberapa gerak meluncur ekstrim telah dikembangkan oleh beberapa spesies burung untuk mengincar mangsanya, satu diantaranya adalah raja udang (cekakak).

Jenis raja udang, raja udang meninting (Alcedo meninting), memiliki paruh besar. Foto: Asep Ayat

Menurut Jihad, bird conservasionist specialist di Burung Indonesia, burung raja udang yang memiliki paruh yang besar, panjang dan runcing yang tampak kurang seimbang dengan ukuran tubuhnya yang relatif kecil, ternyata memiliki kemampuan teknik meluncur dan menyelam dengan kecepatan tinggi guna menangkap ikan, dengan hanya menimbulkan sedikit percikan air.

Hal ini tidak lain dari bentuk dan panjang paruh raja udang yang ternyata “didesain” untuk mampu berpindah dari satu medium (udara) ke medium lain (air) dengan super cepat dan nyaris tanpa gelombang.

Paruh raja udang inilah yang kemudian melegenda dalam rancangan Shinkansen 500 series, kereta cepat Jepang yang mampu bergerak hingga kecepatan 300 km/jam, yang memiliki “moncong” mengadopsi paruh raja undang. Insinyur perancang kereta ini, Eiji Nakatsu yang juga seorang pengamat burung, ternyata terinpirasi dari kemampuan raja udang saat menembus medium yang berbeda.

Dengan mengadopsi paruh raja udang, maka penggunaan energi listrik dalam Shinkansen 500 series berkurang 15 persen, kecepatan naik 10 persen dan menurunkan tekanan udara sebanyak 30 persen dari seri pendahulunya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,