,

Duyung, Mamalia Laut Yang Perlu Perhatian

*Agustinus Wijayanto, Kontributor Mongabay Indonessia.
**Akbar A. Digdo ,  Direktur Program Pesisir & Penelitian-YAPEKA.
Tulisan ini merupakan opini penulis.

Ada berbagai jenis satwa yang hidup di laut, salah satunya adalah duyung. Duyung (Dugong dugon Müller, 1776) merupakan mamalia laut herbivora yang menjelajah perairan tropis di kawasan Indo-Pasifik, yang terbentang antara 26° LU dan 26° LS, dari Afrika Timur hingga Vanuatu.

Dugong dilaporkan keberadaannya dari Sumatra hingga Papua, dan dari Sulawesi Utara hingga Bali Selatan. Namun demikian dugong dikabarkan menghilang dari observasi di beberapa negara di Samudera Hindia dan Pasifik.

Menurut sejumlah observasi, dugong umumnya berenang sendiri atau dalam kelompok kecil, sekitar 2-10 individu (Salm dan Halim, 1984; Marsh dkk., 1984; De Iongh dan Persoon, 1991; CRC Reef, 2002; De Iongh dkk., 2007).

Dugong dapat hidup hingga 70 tahun. Dugong betina diperkirakan dewasa sekitar 10 tahun dan telah mampu bereproduksi dengan periode buntingnya sekitar 13-15 bulan serta melahirkan seekor anak.  Anak dugong ini akan bersama induknya selama 14-18 bulan menyusui. Marsh et al., (1984) menyatakan bahwa mamalia ini memiliki reproduksi yang lambat dan rata-rata mortalitasnya 1-2% per tahun.

Kehidupan dugong

Sebagai herbivora, dugong sangat tergantung pada kehadiran lamun sebagai pakan alami dan kondisi laut yang sehat. Dugong mengkonsumsi sekitar 28-40 kg lamun tiap hari sebagai makanan utama secara normal, namun beberapa peneliti memiliki pandangan bahwa dugong secara tidak sengaja memakan invertebrate (Preen,1995). Hilangnya padang lamun merupakan ancaman utama bagi dugong.

Mardiastuti, dkk (2008) melaporkan dugong menempati habitat di perairan dangkal tropis dan sub-tropis antara lain di Indonesia yang dapat di jumpai di perairan Bangka, Belitung, dan perairan Kawasan Timur Indonesia.

Di alam liar, tidak semua jenis lamun menjadi makanan utama dugong. Pada umumnya memakan spesies lamun yang halus dan tidak terlalu rimbun, seperti lamun dari genus Halodule dan Halophila. Dugong beradaptasi dengan baik untuk memakan makanan yang berserat.

Dugong di perairan Sulawesi Utara. Foto : Toar Pantouw
Dugong di perairan Sulawesi Utara. Foto : Toar Pantouw
Dugong adalah hewan yang tergolong hindgut fermenter, atau hewan yang pencernaan anaerobik makanannya oleh mikroba terjadi di caecum atau bagian belakang usus besar. Makanan diproses dalam saluran pencernaan untuk waktu yang cukup lama. Lanyon dan Marsh (1995) menemukan bahwa waktu retensi dari mulut hingga anus dapat berkisar antara 146 hingga 166 jam, jauh lebih lama apabila dibandingkan dengan kebanyakan mamalia herbivor lainnya.

Mereka juga menemukan bahwa dugong adalah hindgut fermenter yang atipikal, karena dugong memakan sedikit makanan rendah serat, yang hampir seluruhnya tercerna sewaktu pencernaan berlangsung dalam waktu yang lama. Daun, rhizoma dan bagian-bagian akar lamun dikonsumsi, hingga meninggalkan jejak makan (grazing track) yang khas.

Dugong lebih menyukai spesies lamun dengan kadar nitrogen yang tinggi (Lanyon, 1991), rendah serat dan berkalori tinggi (De Iongh, 1996a). Ketika isi lambung seekor dugong betina dari Kepulauan Spermonde (Sulawesi Selatan) diinvestigasi, sekitar 99% isinya adalah lamun yang terdiri dari genera Halophila, Halodule dan Cymodocea (Erftemeijer dkk., 1993).

Analisis inframerah yang dilakukan pada perut dugong (Andre dan Lawler 2003) memperlihatkan bahwa pakan utama dugong adalah Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis, H. spinulosa, dan Halodule uninervis. Sementara itu Enhalus, Halodule, Halophila dan Thalassodendron hanya berjumlah tidak lebih dari 5% dari keseluruhan isi perut dugong.

Dimana saja tempat hidup dugong?

Padang lamun merupakan kawasan strategis bagi tempat hidup/habitat dugong, dan ditemukan di beberapa tempat di Indonesia Tengah dan Timur antara lain di Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, hingga Papua.  Beberapa tempat di Sulawesi Utara seperti di Mantehage, Nain, Blongko dan Bunaken memiliki beberapa jenis lamun.

Jenis lamun meliputi Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Cymodocea sp., Enhalus acoroides (Marsh et al., 2002). Observasi dan hasi interview terkini oleh penulis memperkuat indikasi bahwa dugong menggemari perairan sepanjang kepulauan di Bunaken, Minasa Utara, hingga Kepulauan Siau dan Kepulauan Sangihe.

Bisa jadi, rangkaian pulau-pulau di Nusa Utara ini berperan sebagai “koridor migrasi” antara Kawasan Wallacea dengan Kepulauan Filipina. Sehingga, keberadaan lamun di kepulauan ini menjadi bermakna signifikan bagi keberlangsungan hidup dugong dan proses migrasinya. Walaupun, asumsi ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Beberapa peneliti melaporkan adanya temuan dugong di wilayah Indonesia Tengah, seperti di Bali, dijumpai oleh surfer di wilayah pantai Uluwatu, serta Bukit Peninsular.

Sebaran dugong di Indo-Pasifik. Tingkat intensitas warna menunjukkan kerapatan rata-rata indivisu dugong di area tersebut. Sumber : NAILSMA 2006.
Sebaran dugong di Indo-Pasifik. Tingkat intensitas warna menunjukkan kerapatan rata-rata indivisu dugong di area tersebut. Sumber : NAILSMA 2006.

Marsh et al (2002) mengatakan keberadaan dugong didukung oleh ketersediaan pakan yaitu lamun. Jenis lamun yang dijumpai meliputi Enhalus acoroides dan Thalassodendron mengandung tanin, dan umumnya dihindari. Namun demikian jenis-jenis ini bisa berperan bagi pembentukan habitat bagi jenis-jenis yang disukai oleh dugong.

Selain itu, Marsh et al (2002) melaporkan keberadaan dugong di Nusa Tenggara Timur yaitu di Taman Nasional Komodo antara Selat Lintah dan, Flores, dan Sumbawa. Hal ini diperkuat oleh peneliti lainnya yaitu McKenzie et al., (2006) and De Iongh (1997)  wilayah yang penting di sekitar Taman Nasional Komodo adalah Pulau Seraya Kecil dan berdasarkan data dari The Seagrass Watch Organization, lamun yang mendomimasi  kawasan tersebut adalah Enhalus acoroides Thalassia hemprichii serta beberapa jenis lamun lain yaitu Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule sp dan Cymodocea sp.

Sedangkan daerah Maluku seperti yang dilaporkan oleh Marsh et al. (2002) dan De Iongh (1997; 1996) terdapat di Pulau Aru, Pulau Lease, serta Pulau Haraku. Dan di paling ujung Indonesia Timur yaitu di Papua, keberadaan dugong dilaporkan oleh Marsh dan De Iong di wilayah Pulau Biak-Pulau Padaido, Sorong, Fakfak, Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Taman Nasional Wasur. Sementara itu habitat dugong berupa padang lamun juga ditemukan di kawasan-kawasan tersebut.

Apa ancaman terhadap kehidupan dugong?

Walaupun pada umumnya dogong tidak diburu karena asosiasinya dengan legenda duyung, beberapa kasus perburuan telah dilaporkan atau diamati. Ada informasi bahwa dugong ditangkap dan di manfaatkan oleh masyarakat untuk di konsumsi (De Iongh dan Per­soon, 1991; Hendrokusumo dkk., 1976).

Saat ini dugong menghilang dari observasi di Mauritius, Taiwan, Sri Lanka bagian barat, Maldives, Japan’s Sakishima Shoto di Jepang, muara Pearl River (Hong Kong), beberapa pulau di Filipina dan beberapa bagian Kamboja dan Vietnam.

800px-Dugong_Marsa_Alam

Diperkirakan populasi dugong di sejumlah daerah di Indonesia seperti perairan Kepulauan Aru telah turun secara dramatis akibat hilangnya dan menyusutnya habitat padang lamun, tekanan akibat industri perikanan, perburuan, dan pencemaran perairan pesisir (De Iongh, 1996b; De Iongh, 1997).

Sejumlah indikasi juga menunjukkan bahwa populasi dugong di bagian lain Indonesia juga menurun, namun tidak ada dasar yang kuat untuk mendukung pernyataan tersebut, karena ketiadaan data mengenai distribusi dugong yang mendetail dari masa lalu hingga masa kini. Informasi yang didapatkan kebanyakan berdasarkan pernyataan dari masyarakat lokal (Hutomo dkk, 2011).

Penggunaan alat tangkap perikanan di habitat dugong agaknya juga berperan dalam kondisi ini. Dugong yang terperangkap oleh jaring atau sero (alat tangkap pasif yang biasa dipasang nelayan di daerah pasang surut berpasir / berlumpur) sebagai bycatch mungkin saja mati tenggelam akibat ketidaktahuan si nelayan pemasang alat tangkap.

Upaya Pelestarian

Populasi dugong di Indonesia diperkirakan sekitar 10.000 di tahun 1970-an; tahun 1994 turun menjadi sekitar 1.000 (de Ióngh 1996). Laporan terbaru pada distribusi dugong dan status mereka di Indonesia adalah dari de Lóngh et al. (2009a) dan Kiswara et al. (2011).

Dugong di Indonesia telah dimasukkan dalam status perlindungan dalam PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dugong juga telah masuk dalam daftar satwa rentan (vulnerable) oleh IUCN dan terdaftar dalam CITES Appendix I yang berarti jenis satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Untuk mengurangi tekanan terhadap dugong, beberapa ahli telah melakukan serangkaian pertemuan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi ancaman terhadap dugong ini. Kegiatan di lapangan langsung maupun lewat forum-forum diskusi/ lokakarya.  Beberapa waktu yang lalu, yaitu pada 2008 telah dilakukan Lokakarya untuk Strategi Konservasi dan Rencana Aksi Dugong Indonesia.  Lokakarya ini diselenggarakan bersama oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Lingkungan Hidup dari Universitas Leiden, Belanda.

Pertemuan ini adalah yang ketiga setelah sebelumnya di lakukan di Jakarta pada bulan April 2007 dan di Sanur Bali pada bulan November 2007. Pada pertemuan Rencana Aksi tersebut yang di bicarakan adalah Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Dugong di Indonesia, dan database dugong nasional.

Berdasarkan hasil pertemuan tersebut disepakati adanya lokasi contoh untuk pengembangan sebagai bagian untuk melakukan upaya lebih nyata dalam melindungi dugong ini dengan serius.  Saat ini sangat diperlukan untuk mendorong terjadinya peningkatan pengetahuan di kalangan nelayan di habitat-habitat dugong untuk menurunkan angka kejadian penangkapan yang tidak disengaja (bycatch).

Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Dugong di Indonesia. Sumber : Hutomo, dkk (2011)
Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Dugong di Indonesia. Sumber : Hutomo, dkk (2011)
Sayangnya, saat ini nampaknya sangat kurang upaya sistematis dan terkoordinasi untuk menangani masalah penyadartahuan dugong di masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Selain juga memerangi penangkapan dugong, diperlukan juga upaya melindungi habitatnya yaitu padang lamun.
Keberlangsungan hidup dugong tergantung dengan kondisi habitat dan laut yang sehat. Oleh karena selain melindungi kepunahan dugong perlu tetap memperhatikan kondisi habitat mereka agar tetap terjaga pula.  Menjadi penting bahwa strategi dan rencana aksi tersebut terimplementasi di lapangan sehingga dapat dikaji lebih lanjut tingkat efektifitas strategi dan rencana aksi yang dijalankan untuk melindungi dugong tersebut.
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,