, ,

Hutan Rakyat yang Membanggakan Desa Rumbia

Tiba-tiba Ti Bunda kaget. Dua orang tak dikenal datang bertamu. Keduanya berkemeja putih dan celana hitam turun dari mobil merah. Tepat di depan kantor desa. Buku tamu yang sedianya wajib diisi oleh setiap pengunjung, mereka hiraukan. Ti Bunda bertanya dalam hati, siapakah kedua orang itu? 

Sudah delapan bulan ini Yerri Otoluwa dipanggil Ti Bunda oleh warganya. Panggilan itu melekat pada dirinya karena Yerri menjabat sebagai Kepala Desa Rumbia, di Kecamatan Botumoito, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Sapaan Ti Bunda merupakan panggilan orang Gorontalo bagi perempuan yang menjadi kepala desa. Jika yang menjabat sebagai kepala desa adalah seorang laki-laki, maka akan dipanggil Ti Aya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Yerri kepada dua orang tak dikenal itu.

“Maaf bu, kami dari kantor BPN Kabupaten,” kata salah seorang di antara mereka. BPN yang dimaksud adalah sebuah kantor bernama Badan Pertanahan Nasional.

“Kami berencana melakukan survei di desa ini. Karena Desa Rumbia masuk dalam peta kawasan sawit,” kata tamu itu.

“Maaf pak, jangan dulu lakukan survei. Kami warga di desa ini menolak sawit,” jawab perempuan berjilbab itu. Ia langsung mempertegas jawaban kepada dua orang tersebut karena mulai merasakan gelagat yang aneh.

“Kenapa? Sawit itu sangat bagus bagi masyarakat.”

“Menurut bapak-bapak bagus. Tapi menurut kami sawit itu tidak bagus.”

“Apa alasannya menolak sawit?”

“Pokoknya kami menolak. Titik!”

Suara Yerri mulai meninggi. Ia merasa kedatangan kedua orang yang mengaku dari pegawai BPN itu sedang mengintervensi dirinya.

“Apakah Pak Bupati sudah tahu kalau masyarakat di sini menolak sawit?” tanya kedua orang itu.

“Ya, paling Pak Bupati sudah tahu juga,” jawabnya dengan nada cuek.

Karena reaksi dari Ti Bunda seperti itu, kedua orang yang mengaku pegawai BPN tidak berhasil melakukan survei. Pada akhirnya mereka pulang dengan tangan hampa. Pertemuan itu hanya berlangsung selama 15 menit.

Yerri merasa aneh. Kenapa desa mereka tiba-tiba tanpa sepengetahuan masyarakat masuk dalam peta kawasan sawit. Ia juga bertanya-tanya kenapa yang datang justru pegawai pertanahan, bukanlah perusahan sawit.

“Dua orang pegawai BPN itu datang menemui saya belum lama, yakni Maret 2015, jam 10 pagi. Saya langsung menerima mereka di ruangan saya. Tapi langsung pulang dengan kecewa,” kata Yerri, kepala desa yang baru berusia 34 tahun itu, kepada Mongabay.

Suasana perkampungan di Desa Rumbia sore hari. Foto: Christopel Paino
Suasana perkampungan di Desa Rumbia sore hari. Foto: Christopel Paino

Sore pekan ketiga April 2015, Desa Rumbia tampak bersih. Warga kampung ada yang bekerja bakti. Desa ini berjarak 3-4 jam dari Kota Gorontalo. Tak jauh dari pesisir Teluk Tomini, juga punya wilayah hutan. Pemukiman penduduk di kampung ini tertata rapi. Pepohonan rindang tumbuh di depan rumah. Pagar terbuat dari bambu dicat putih dan merah. Di sebelah utara, hutan membentengi kampung. Masyarakat di sini masih mempraktikkan budaya huyula atau gotong-royong yang mulai pudar. Mereka saling membantu.

Menurut Yerri, di Desa Rumbia beberapa kali didatangi investor sawit. Mereka selalu dibujuk. Karena rayuan itu, warga dan juga aparat desa melakukan pertemuan dan merapatkannya. Alhasil, semua warga menolak sawit masuk ke wilayah mereka.

“Masyarakat sudah membentuk kelompok tani hutan. Banyak yang mereka dapatkan dari hutan yang ada di Desa Rumbia,” kata Yerri.

Luas Desa Rumbia sekitar 15.000 hektar. Hutan yang masuk di wilayah mereka adalah 325 hektar berstatus hutan produksi dan 305 hektar berstatus hutan lindung. Saat ini, yang sedang dikelola oleh masyarakat adalah hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 279 hektar, yang ditetapkan 2012 lalu. Wilayah kelola rakyat ini dimanfaatkan oleh dua kelompok untuk menanam pohon jabon merah dan jabon putih.

“Usia jabon kami yang ada di HTR masuk dua tahun. Sekarang, kami sudah dapat jaminan mengambil kayu. Pasar kami hanyalah lokal,” kata Hitler Bilatula, ketua kelompok tani hutan Harapan Jaya 1.

Namun menurutnya, jabon di kampung itu sudah lama ada, sejak 1980-an dan pohonnya banyak dibawa keluar dari kampung. Ketika itu lagi marak-maraknya perusahaan kayu seperti HPH, yang datang mengambil kayu. Hampir setiap minggunya, kayu yang keluar paling sedikit 150 kubik.

“Hanya saja saya dan warga di sini belum tahu kalau nama pohon itu adalah jabon. Kami hanya pakai istilah bahasa Gorontalo untuk menamai pohon itu, yaitu Tolite. Baru sekarang kami tahu kalau nama pohonnya adalah jabon,” ungkap Hitler.

Karena banyaknya kayu, masyarakat di kampung ini sering mendapat cap tukang penjarah kayu di hutan. Ini diakui oleh Hitler. Bahkan ia sendiri bekerja selama 21 tahun di perusahaan kayu dan sering mencatat kayu yang keluar dari Rumbia. Namun kehidupannya kini berbalik, Hitler mulai sadar dan menjaga hutan di kampungnya sendiri.

“Sekarang kami ingin menjaga hutan sendiri dan tak ingin orang luar mengambil kayu di hutan kami.”

Ismail Hasan, pendamping Japesda dalam program Agfor, menunjukan pohon jabon putih yang ditanam oleh warga Rumbia di Hutan Tanaman Rakyat. Foto: Christopel Paino
Ismail Hasan, pendamping Japesda dalam program Agfor, menunjukan pohon jabon putih yang ditanam oleh warga Rumbia di Hutan Tanaman Rakyat. Foto: Christopel Paino

Berkat upaya mereka menjaga hutan, tahun 2014 masyarakat desa ini mendapat penghargaan dalam lomba Wana Lestari dari Kementerian Kehutanan untuk dua ketegori sekaligus, desa yang peduli hutan dan kelompok tani hutan.

Yerri Otoluwa sebagai kepala desa mewakili kampungnya datang ke Istana Negara, Jakarta pada 17 Agustus 2014 bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu, untuk menerima penghargaan. Ia datang bersama Yance Djafar, ketua kelompok tani hutan mewakili anggota kelompok tani hutan Desa Rumbia.

“Kelompok tani hutan ini mendapatkan penghargaan karena memanfaatkan hasil hutan non kayu, yaitu gula aren. Gula aren dari Rumbia ini yang terbaik di Gorontalo sehingga dibawa ke Jakarta,” ujar Yerri.

Pohon aren banyak tumbuh dan tersebar di kawasan hutan yang ada di Desa Rumbia. Karena melimpah, masyarakat banyak yang membuat gula aren. Di sana ada dua kelompok perempuan dan satu kelompok laki-laki pembuat gula aren. Selain itu, juga ada beberapa yang memanfaatkan dengan membuatnya sebagai minuman beralkohol yang terkenal, yaitu cap tikus. Namun hal ini banyak yang menentang karena dianggap minuman haram, bahkan sering dirazia oleh polisi.

“Kalau masyarakat bikin cap tikus, dipanggil ke polsek, polres, atau polda. Tapi kalau bikin gula aren, dipanggil ke Jakarta,” kata Yance tertawa.

Sama halnya dengan pasar pohon Jabon, gula merah dari pohon aren ini pasarannya juga hanyalah lokal. Warga menjual gula merah aren ini perbiji, bukan perkilogram. Satu bijinya, dijual Rp 10.000. Itu dirasakan sangat membantu perekonomian masyarakat. Namun kadang jika harga sedang turun, warga harus gigit jari. Karena turunnya drastis, perkilogramnya hanya dihargai Rp 3.000 saja.

“Kami berharap harga gula merah ini tetap stabil dikisaran Rp 10.000,” kata Yasin Nusi, seorang anggota kelompok tani hutan.

Di Desa Rumbia, selain hutan yang luas dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, warga juga sedang didorong untuk melakukan imbal jasa lingkungan. Salah satunya karena wilayah hutan memiliki air yang berlimpah. Namun air ini kini diambil alih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Boalemo, dengan mendirikan sistem penyedia air minum (SPAM). Air dari Rumbia kemudian mengalir hingga ke pusat kecamatan dan beberapa desa tetangga, serta memenuhi kebutuhan air di daerah pariwisata seperti wahana permainan water park, dan pantai wisata Bolihutuo.

“Kami sedang mendorong agar PDAM juga memberikan fee kepada kas desa. Dan saat ini masyarakat juga ikut merasakan kebutuhan air dengan hanya membayar Rp 1.300 perkubik, dari sebelumnya sebesar Rp 2.350 perkubik,” kata Ismail Hasan, pendamping dari Japesda yang bermitra dalam Program Agfor (Agroforestry) di Desa Rumbia.

Menurut Ismail, program Agfor sudah jalan sejak pertengahan 2014. Saat ini Agfor telah menyediakan bibit pohon buah dan melakukan pendampingan kepada kelompok tani hutan di Desa Rumbia. Salah satu tujuannya adalah pelestarian hutan diharapkan bisa terjamin sehingga dapat terhindar dari gangguan keamanan hutan seperti pencurian kayu, penebangan liar, kebakaran, atau perladangan berpindah-pindah, serta terjaminnya keseimbangan lingkungan.

Pohon aren yang banyak tumbuh di hutan rumbia dimanfaatkan masyarakat untuk membuat gula merah. Foto: Christopel Paino
Pohon aren yang banyak tumbuh di hutan rumbia dimanfaatkan masyarakat untuk membuat gula merah. Foto: Christopel Paino

“Kalau hutan diserahkan ke perusahaan sawit, warga di sini hanya akan menjadi buruh.”

Penegasan itu diungkapkan oleh Yerri Otoluwa. Alasan ini kemudian yang dijadikan warga untuk menolak masuknya perusahaan sawit di Desa Rumbia. Warga juga banyak yang mendengar dan melihat langsung bagaimana perusahaan sawit hanya memberikan janji diawal saja, dan pada akhirnya hanya memberikan kesengsaraan kepada warga.

“Kami belajar dari daerah lain yang telah membiarkan perusahaan sawit masuk ke wilayah mereka. Misalkan di Kabupaten Pohuwato, bagaimana sawit hanya menciptakan konflik dan masyarakat setempat telah berubah menjadi buruh,” ungkap Yerri.

Ia merasa bersyukur di Desa Rumbia yang ia pimpin meski hanya sementara itu, memiliki sumber daya alam melimpah. Yerri sendiri hanya berstatus sebagai penjabat sementara kepala desa. Ia ditunjuk oleh bupati sembari menunggu pemilihan kepala desa yang baru. Waktu yang singkat itu ia manfaatkan sebaik-baiknya membantu masyarakat di kampung halamannya. Salah satunya dengan cara membentuk kelompok-kelompok masyarakat, seperti kelompok tani hutan agar bisa berdaya dan mandiri dalam mengelola wilayah hutan.

“Kami bersyukur di Desa Rumbia sudah ditetapkan statusnya HTR. Dengan begitu masyarakat bisa kelola hasil hutan maupun hasil hutan bukan kayu,” ujarnya.

Desa Rumbia dahulunya bernama Dusun Tumba, ketika masih berada dalam wilayah Desa Tapadaa, sebelum akhirnya memekarkan diri menjadi sebuah desa. Tumba adalah bahasa Gorontalo untuk menyebut Rumbia. Sejarah desa ini hingga dinamakan Tumba karena begitu banyaknya pohon rumbia yang berada pada satu hamparan, yang luasnya satu hektar lebih. Jumlah warga yang mendiami di desa ini sekarang sebanyak 1.928 jiwa, dengan 533 kepala keluarga.

“Dengan adanya status kawasan hutan yang jelas seperti HTR ini, tentu saja masyarakat berharap terjadi peningkatan ekonomi ke arah yang lebih baik lagi,” kata ti bunda Yerri.

Hari semakin sore, gelap mulai mengintip. Desa Rumbia tampak lengang. Warga kampung kembali ke rumah mereka masing-masing. Esok, aktivitas seperti biasa kembali menunggu.

Sistem penyedia air minum yang ada di Desa Rumbia. Air ini mampu memenuhi kebutuhan desa tetangga dan tempat wisata di Pantai Bolihutuo. Foto: Christopel Paino
Sistem penyedia air minum yang ada di Desa Rumbia. Air ini mampu memenuhi kebutuhan desa tetangga dan tempat wisata di Pantai Bolihutuo. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,