,

Hutan Desa Sebadak Raya, Tegar Bertahan di Tengah Kepungan Kebun Sawit Perusahaan

Sebadak Raya. Nama ini merupakan nama desa yang berada di hulu barat Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.  Letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Penduduknya sekitar 600 kepala keluarga atau 2.000 jiwa.

Wilayah desa ini unik, dikelilingi bukit. Kawasan hutannya masih memiliki tajuk pohon yang rapat. Perkampungannya juga tertata. Hewan ternak, terutama babi tidak boleh dilepasliarkan. Alasannya, bisa mengotori kampung dan menjadi hama bagi tanaman pangan warga.

Dalam aturan tidak tertulis, jika hewan peliharaan lepas, diberi waktu tiga hari untuk mengandangkannya. Lebih dari itu, hewan boleh dibunuh dan si pemilik dikenai hukuman adat. “Itu aturan verbal turun temurun di Sebadak Raya,” tutur Mikael Edi Sairundi (42), Kepala Desa Sebadak Raya.

Sebadak Raya terdiri dari tiga dusun, Kebuai, Tanjung Beringin, dan Tanjung Bunga. Dusun Kebuai merupakan wilayah terluas dan paling padat penduduknya. Di Kebuai sendiri, tata kelola lahan cukup baik. Ada wilayah pertanian, adat, serta permukiman. Kawasan hutan adatnya ada di Bukit Kuyu dan Bukit Tinggi, Batu Suling Lubuk Sebadak, serta Pemogangan Silingan Begondang.

Begitu juga dengan Dusun Tanjung Beringin yang ada kawasan adatnya seperti Batu Betungkap, Batu Behujan, Sepayungan, dan Batu Putih. Sedangkan di Tanjung Bunga, terdapat kawasan adat yaitu Pelabuhan Boras, Sengkuang Landai, dan Rofus. Di daerah ini terdapat riam dan mata air bukit, yang menjadi sumber air bersih warga setempat.

“Saat sawit akan masuk ke daerah ini, sekitar 1998, warga kompak menolak. Walau saat itu baru wacana,” ujar Edi, sapaan sang kepala desa ini. Edi merupakan tokoh muda yang inovatif dan idealis. Sarjana Akuntansi Universitas Panca Bhakti Pontianak ini rela keluar dari bank plat merah untuk lebih memilih pulang kampung. Impiannya adalah warga Sebadak Raya dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi dan hidup lebih sejahtera.

Hingga 2004, beberapa perusahaan sawit yang coba masuk, tetap ditolak masyarakat. Karena, kebun karet yang dikelola warga, harganya bisa diandalkan. Karet mampu menjamin ekonomi masyarakat untuk menyekolahkan anak ke ibukota kabupaten, juga mencukupi kebutuhan keseharian. Bahkan, bisa beli sepeda motor atau antena parabola. “Tekad masyarakat untuk menjaga hutan ini mengundang perhatian masyarakat luas,” tuturnya.

Edi sendiri menjadi kepala desa sejak dua tahun silam. Menurutnya, kepala desa sebelum juga juga berkomitmen menolak sawit. Karena, hutan bagi masyarakat Dayak Kayong yang bermukim di Sebadak Raya merupakan sumber kehidupan. Bila hutan di perbukitan habis, bencana ekologis perlahan akan datang.

Mikael Edi Sairundi, Kepala Desa Sebadak Raya, menunjukkan kawasan hutan Sebadak Raya. Foto: Aseanty Pahlevi
Mikael Edi Sairundi, Kepala Desa Sebadak Raya, menunjukkan kawasan hutan Sebadak Raya. Foto: Aseanty Pahlevi

 

Potensi

Edi menjelaskan, pada 2011, masyarakat Sebadak Raya bersama Fauna & Flora International (FFI) telah melakukan pemetaan partisipatif dan menginventarisasi keragaman hayati yang ada di hutan mereka. Untuk satwa, tercatat ada orangutan, enggang, trenggiling, bekantan, klempiau, dan beruang madu. “Dalam satu transek atau sekitar dua kilometer titik pengamatan terdapat sekitar 500 sarang orangutan.”

Dari pemetaan tersebut, Edi mengajukan usulan ke Kementerian Kehutanan (saat itu) agar 14 ribu hektarnya dijadikan hutan desa. Namun, hanya sekitar 2.425 hektar yang disetujui. Sisanya, saat ini sedang kami perjuangkan sebagai hutan adat dan hutan konservasi. Ini penting dilakukan untuk mencegah masuknya perusahaan sawit.

Dua perusahaan sawit yakni PT. Permata Sawit Mandiri dan PT. Citra Sawit Cemerlang, serta satu perusahaan HPH, yakni PT. Alas Kusuma, telah kami ajak untuk melakukan pemetaan dan pemasangan patok batas. “Kami telah memasang 600 patok tapal batas dalam dua tahun terakhir yang dilakukan berdasarkan koordinat GPS (Global Positioning System).”

Untuk memantau itu semua, Lembaga Pengelola Hutan Desa dibentuk. Tugasnya adalah melakukan patroli. Seorang warga ditunjuk sebegai ketua, yang mengatur jadwal patroli, melakukan dokumentasi, serta penertiban administrasi.

Sebulan, dua kali patroli dilakukan. Tak hanya itu, empat warga ditempatkan di lokasi perbatasan, untuk menjaga batas kawasan. Sementara, empat orang lainnya melakukan patroli. Areal hutan yang luas dan patroli hanya dilakukan berjalan kaki membuat waktu yang dibutuhkan sekitar setengah bulan lamanya.

Dengan kelestarian hutan pula, Masyarakat Sebadak Raya dapat menggunakan mikro hidro dan potensi energi surya sebagai pembangkit listrik. Menurut Edi, semua ini mereka lakukan secara swadaya, selain ada bantuan pula dari pihak ketiga. Sebanyak 20 warga, dibantu dengan listrik tenaga surya sebesar 10 MV. Sementara, bagi yang mampu, membeli panel surya yang lebih besar dengan kapasitas 100 MV.

Sedangkan warga yang menikmati listrik dengan mikro hidro, sekitar 50 rumah dengan kapasitas listrik 10 ribu MV. “Hutan harus dijaga, agar debit air terus mengalir menggerakkan turbin,” ujar Edi.

Masyarakat Sebadak Raya memperlihatkan pohon ulin yang masih muda di kawasan hutan adat Bukit Kuyu. Bukit ini memiliki ketinggian sekitar 300 meter diatas permukaan laut. Foto: Aseanty Pahlevy
Masyarakat Sebadak Raya memperlihatkan pohon ulin yang masih muda di kawasan hutan adat Bukit Kuyu. Bukit ini memiliki ketinggian sekitar 300 meter diatas permukaan laut. Foto: Aseanty Pahlevi

Ancaman dari dalam

Perjuangan yang dilakukan Edi bersama warga, kini menghadapi cobaan berat. Dalam dua tahun terakhir, sejak harga karet melorot, banyak warga termakan bujuk rayu perusahaan sawit yang seolah datang sebagai penolong. “Demong desa (pemuka adat), bahkan sudah berpihak ke perusahaan. Tak hanya itu Kepala Dusun Kebuai juga sudah menjadi humas di salah satu perusahaan sawit. Karena ketahuan, ia mengundurkan diri,” ujar Ason Nelos (30), Kepala Urusan Desa Sebadak Raya.

Ason mengatakan, pihak perusahaan kerap menggunakan orang setempat untuk meluluskan keinginannya. Tak sedikit, warga yang sudah menanam sawit di ladangnya. Karet yang sudah tidak bisa diandalkan, ditebang. “Ada warga yang bertugas membawa uang tunai dan hanya minta tanda tangan masyarakat agar ladangnya dijual. Melihat uang banyak, banyak yang tergiur,” katanya.

Menurut Ason, daerah Batu Layang dan Licah, yang merupakan kawasan perbukitan sudah dijual warga setempat ke perusahaan.  Wilayah ini merupakan dataran tinggi sumber mata air bersih dan tempat tinggalnya satwa dilindungi.

Mengenai kondisi ini, Edi mengatakan bahwa masyarakat belum mengatahui manfaat besar dari menjaga ekosistem hutan. Ini dikarenakan, bencana ekologis belum menghantam. “Padahal, berdasarkan perhitungan, potensi karbon di Hutan Sebadak Raya ini mencapai 380 ton per hektar.”

Bongkahan batu yang dipercaya dulunya sebagai tempat para nenek moyang berburu. Dikenal masyarakat setempat dengan nama Batu Kuyu. Diatas batu dengan ketinggian sekitar 150 meter tersebut terdapat sebuah gua. Foto: Aseanty Pahlevy
Bongkahan batu yang dipercaya dulunya sebagai tempat para nenek moyang berburu. Dikenal masyarakat setempat dengan nama Batu Kuyu. Foto: Aseanty Pahlevi

Lorens Arang, Project Leader Fauna Flora Internasioanal Ketapang, menuturkan bahwa tanah yang ditempati warga Sebadak Raya berstatus hutan produksi konversi (HPK) dan hutan produksi (HP). “Untuk yang HPK, saat ini sedang diusulkan menjadi daerah konsesi sawit. Berita ini sungguh meresahkan masyarakat yang berakibat tergusurnya sumber kehidupan mereka.”

Padahal, masyarakat telah memperjuangkan sendiri legalitas wilayahnya melalui peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.49/MENHUT-II/2008 tentang Hutan Desa. Masyarakat mengirim surat usulan hutan desa kepada Menteri Kehutanan, didampingi oleh Fauna & Flora International. Namun, entah mengapa, hanya disetujui sekitar dua ribu lebih hektar saja.

Kebijakan penetapan tata guna ruang untuk hutan desa juga tidak jelas dasarnya. Kenapa hanya dua ribu hektar, letaknya jauh pula dari areal yang diajukan. “Padahal, masyarakat mempunyai alasan kuat, hutannya bernilai konservasi tinggi,” ujarnya.

Loren mengatakan, seharusnya pemerintah lebih jeli melihat Sebadak Raya. Pemutihan terhadap kawasan tersebut menjadi area peruntukan lain, juga dinilai tidak transparan. Untuk itu, pendekatan yang dilakukan adalah dengan mendekati pemilik konsesi. “Pemilik konsesi mempunyai keharusan agar produknya mendapat lebel pengelolaan lestari, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Maka, kita tekankan investor harus mematuhi hal-hal yang sudah menjadi kewajibannya,” tukasnya.

Menurut Lorens, FFI sudah memiliki kesepakatan dengan enam desa, yang hutan desanya menjadi pilot project. Setelah hak pengelolaan diberikan, masyarakat bisa mengambil manfaat dari hasil hutan non kayu dan tanaman di dalamnya. “Khusus untuk hutan lindung, bisa memanfaatkan jasa lingkungannya seperti air dan ekowisata,” tambahnya.

Masyarakat berjalan menuju hutan adat Bukit Kuyu, yang masih rimbun oleh pepohonan. Foto: Aseanty Pahlevy
Masyarakat berjalan menuju hutan adat Bukit Kuyu, yang masih rimbun oleh pepohonan. Foto: Aseanty Pahlevi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,